Kolonialisme dan Imperialisme Medsos
Embrio atau janin pengenalan, pemahaman, kesadaran dan pengalaman berteater saya adalah Teater Dipowinatan. Bayi yang kemudian lahir adalah Teater Dinasti. Kelak ada sanak familinya bernama Teater Gandrik, Teater Salahuddin, Teater Jiwa dan cucu bungsunya bernama Perdikan Teater. Bukan Teater Perdikan, karena niat perkumpulan mereka adalah menjadi semacam tanah perdikan budaya dan kreativitas dari para aktor teater di akhir zaman, yang “meeting point”-nya adalah Markas Maiyah Kadipiro.
Teater akhir zaman? Ialah suatu keadaan zaman di mana kesenian, termasuk teater masih ada, tetapi tidak lagi diperlukan oleh khalayak ramai, terutama oleh mainstream, sebagai salah satu tulang punggung proses nilai bermasyarakat dan bernegara. Dunia teater di akhir zaman, di mana manusia dan masyarakat sudah menjadi makhluk yang semakin aneh, dunianya dunia maya, silaturahminya lewat jaringan signal sehingga yang hadir hanya huruf-huruf dan gambar atau foto, sangat kurang mengenal silaturahmi “adu arep” atau “muwajjahah”.
Di zaman sebelum akhir, kesenian, puisi, cerpen, teater itu munculannya di media massa, termasuk pengamat dan kritikusnya. Media massa cetak kemudian dilindas oleh media online. Orang tidak perlu berlangganan koran dan baca tiap pagi kresek-kresek sambil ngopi. Melainkan cukup pegang gadget, handphone atau telepon genggam, mereka bisa mengakses dunia. Berarti bisa juga melakukan sangat banyak hal lain di lalu lintas pergaulan dunia. Bisa bersilaturahmi personal dan kekeluargaan. Bisa bikin grup kelompok-kelompok interest. Bisa kelompok pembelajaran bersama. Bisa kelompok kepentingan politik. Bisa kelompok subversi.
Bahkan bisa diskusi sengawur-ngawurnya, jauh lebih dari yang dulu disebut “debat kusir”: sebab sekarang para kusir andong jauh lebih sopan, lebih berbudaya, beradab dan lebih manusia dibanding pengguna medsos dunia maya yang “dhol” tanpa kontrol nilai apapun dalam berinteraksi atau bermusuhan. Dunia maya dan media sosial adalah rumah tanpa dinding, apalagi pintu dan jendela. Bahkan tanpa tiang, tanpa tatanan apapun. Terbuka seluas cakrawala dan semesta, bebas melampiaskan nafsu, merdeka untuk tidak jujur, untuk dengki, iri, benci atau jenis ekspresi sebrutal dan sehina apapun.
Medsos adalah praktik kolonialisme dan imperialisme ekstrem dan maniak, aplikasi dari egosentrisme dan subjektivisme untuk apapun saja, perwujudan dari dimensi yang paling rendah, hina dan busuk dari hati dan pikiran manusia. Medsos adalah produk kreativitas manusia yang akhirnya mengancam kemanusiaannya sendiri. Medsos adalah peluntur segala nilai hakiki manusia yang diinstal oleh Tuhan, bahkan penghancur segala substansi kenapa manusia diciptakan sesudah alam dan hewan. Multiefek penghancuran yang diakibatkan oleh medsos tak bisa dikendalikan oleh kreatornya sendiri, tidak bisa diatasi, tidak bisa direm merajalela kekuatannya untuk menghancurkan segala yang diperlukan oleh manusia untuk menjadi manusia.
Kehancuran nilai, moral, mental, akal, hati dan rohani yang diwabahkan oleh medsos tidak bisa diatasi atau disembuhkan oleh himpunan seluruh ilmu manusia, meskipun dikumpulkan dari segala zaman. Masa depan ummat manusia dan bangsa-bangsa adalah bahwa mereka akan pada akhirnya harus diangkut kembali ke pabriknya.
Dalam naskah teater pendek yang dipentaskan oleh cucu Dipo-Dinasti, yakni Perdikan Teater, terdapat dialog:
CANTRIK-5
Orang Saleh. Semua itu pancernya adalah Saleh. Saya berguru ke sini supaya jadi orang Saleh.
SUNAN SABLENG
Santri-santri. Coba, Saleh itu apa?
SANTRI-1
Orang yang selalu siap memperbaiki keadaan.
SANTRI-2
Kalau retak, diutuhkan. Kalau pecah, dipersatukan.
SANTRI-3
Kalau kurang, dilengkapkan. Kalau berlebihan, dipaskan.
SANTRI-4
Kalau rusak didandani. Kalau hancur, dibangun kembali.
SANTRI-5
Kalau buntu, dibikinkan pintu. Kalau hilang, ya dibantu mencari sampai ketemu.
Diandaikan bahwa proses penyelesaian masalah, penyatuan atas perpecahan, perbaikan atas kerusakan, penyembuhan atas kondisi sakit, pemashlahatan atas segala keadaan mudlarat, disebut proses “ishlah”. Pelakunya “Muslih”. Substansinya bernama “Saleh”. Pengertian Saleh dan Kesalehan digambarkan di atas oleh para Santri Sunan Sableng.
Tetapi di akhir zaman ini, dengan mesin perusak yang bernama medsos, kesalehan bukan hanya tidak dipahami, diterangkan dan disosialisasikan, bahkan oleh para ulama dan petinggi-petinggi agama, melainkan idiom Saleh dan Kesalehan sudah sedemikian diremehkan, dikonyolkan, direndahkan dan ditertawakan.