Klub Ghuroba`
Di kebon 159 saya berkisah tentang rancangan perkelahian melawan teman “Tapak Suci” kemudian dilerai oleh sahabat yang lain, Ketua I OSIS SMA “Muhi”. Saya juga menyebut teman saya itu dari tahun ke tahun, bahkan dari hari ke hari, sangat mencintai dan “care” kepada kesehatan saya. Dalam sebulan bisa dua tiga kali, ia memberikan banyak ragam suplemen herbal untuk kesehatan saya. Bahkan kemarin siang beliau mengantarkannya sendiri ke Kadipiro.
Apa yang berlangsung di jembatan Tamansari itu dari satu sisi merupakan implementasi perdamaian yang ideal. Tetapi dari sisi lain bisa merupakan kamuflase atas kepengecutan, tabir atas kemunafikan. Pada kasus perkelahian lain antar siswa “Muhi” yang digelar “resmi” di Lapangan Mancasan usai pelajaran terakhir, mungkin lebih polos dan bermartabat. Teman MI, asal Lamongan dan FNR asal Banyumas konflik karena sesuatu hal sampai hampir pukul-pukulan. Teman lain, MH dari Jember, spontan mempanitiai duel itu dan menggiring mereka berdua usai pelajaran ke lapangan Mancasan.
Kelas saya di “Muhi” memang didominasi oleh budaya Jawa Timur. Di sampung MH, ada MS, MY dll dari Jember juga yang mewarnai pola dan dinamika pergaulan khas arek etanan di kelas. Di lapangan, MI dan FNR berhadapan, kami sekitar 20 orang mengelilingi “Octagon”nya. MH berpidato: “Awas kalau tidak jadi berkelahi, berarti kalian berdua gaprekan lawan saya. Awas kalau ada yang coba-coba melerai, akan berhadapan juga dengan saya”.
Ultimatum MH ini mengandung semacam sikap hidup, ideologi dan kepribadian yang berbeda dengan yang berlangsung di jembatan Tamansari. Ini mirip-mirip dengan kakak saya di Menturo awal 1970-an. Ketika terjadi perkelahian sehabis pertandingan sepakbola, kakak saya melerai. Tetapi karena salah satu yang berantem tidak mau dilerai, maka kakak saya memukulinya.
Duel di Lapangan Mancasan itu berlangsung dengan lancar. Pada momentum sesudah FNR kedhisor dan MI tinggal melakukan “gound and pond”, MI melompat seperti wasit MMA untuk melindungi FNR yang sudah berstatus TKO. Kemudian MH memberdirikan yang taken down, dan merangkul kedua petarung “Muhi” ini dan diajak bersalaman. “Begitu laki-laki”, kata MH, “Kalau memang tidak berani berkelahi, jangan terseret oleh dorongan ide untuk bertengkar”.
Siapa tahu aspirasi MH ini merupakan anak turun makna dari peringatan Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ
كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Kelak sekitar 40 tahun kemudian, adegan itu saya tirukan di warung Cak Koting. Seorang manajer berlaku agak sewenang-wenang kepada karyawan-karyawan. Ketika sang manajer membentak salah seorang karyawan, tiba-tiba ada tubuh melayang ke arah sang manajer dan melakukan “ci kung” sehingga wajahnya terluka dan hidungnya bocor darah. Rupanya si penyerang ini adalah salah seorang tukang parkir yang bermaksud membela para karyawan, karena sudah lama tahu keadaan mereka dan manajernya.
Untungnya Mr. Ci Kung kebetulan tahu siapa saya, sehingga dia menghentikan serangannya kepada manajer. Saya bangunkan si manajer dari tergeletak, saya tuntun berjalan, mencari air untuk saya basuh wajahnya. Begitu sang manager sadar siapa yang menolongnya, ia berdesah “Allahumma shalli ‘ ala Sayyidina Muhammad”. Kemudian saya kumpulkan semua dengan pemilik warung dan saya upayakan tabayyun di antara mereka. Risikonya, setelah itu saya harus mencarikan pekerjaan bagi Mr. Ci Kung. Tetapi peristiwa itu sangat nyata bahwa seorang Muslim Identitas Formal Administratif bisa berposisi penindas. Sementara tukang parkir dan preman jalanan bisa berposisi “Pembela Kaum Tertindas”.
Adapun teman saya yang sukses menggagalkan perkelahian di jembatan Tamansari, adalah seorang Doktor Ilmu Nuklir, lulusan Jerman, lama mengajar di Malaysia, sekarang mengisi masa tuanya di Yogya menemani para Muallafin, orang-orang yang mengalami kegelisahan hidup dan akhirnya mengambil keputusan untuk memeluk Agama Islam. Beliau seusia dengan saya, tetapi dua tahun, 1984-1985, ketika saya ulang-alik Jerman-Belanda, tidak pernah sambung dengan beliau, padahal beliau sedang menempuh studi di Jerman, meskipun bukan di Berlin, tempat tinggal saya.
Baru ketika bersama KiaiKanjeng untuk kesekian kalinya diundang pentas di Malaysia, kami alhamdulillah berjumpa dengan beliau di rumah makan seusai pementasan KiaiKanjeng. Beberapa tahun kemudian ternyata beliau balik ke Yogya. Menjadi aktivis perkumpulan alumni SMA Muhammadiyah I terutama lulusan 1971, yang saya ada di tengah-tengah mereka.
Tatkala di SMA “Muhi” dulu pada tahun 1970 beliau dicalonkan menjadi Ketua OSIS mewakili Pelajar Islam Indonesia. Calon lainnya adalah teman juga, Muhammad Busyro Muqaddas, yang mewakili Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Saya calon ketiga, tidak mewakili kelompok apapun, alias calon independen.
Entah kekhilafan macam apa yang dialami oleh para siswa-siswi “Muhi” ketika itu, sehingga menyebabkan saya akhirnya menjadi Ketua Umum, sahabat saya itu Ketua I, dan Busyro Sekretaris Umum. Sebenarnya dari sudut pertimbangan apapun, beliau dan Busyro yang lebih layak memimpin OSIS “Muhi”. Kelihatannya memang bangsa Indonesia, termasuk kelompok kecil siswa-siswi SMA Muhammadiyah, seperti mendapat “kutukan sejarah” untuk hampir selalu salah memilih pemimpin.
Busyro kelak menjadi Ketua Komisi Yudisial kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi, kemudian menjadi salah satu Ketua PP Muhammadiyah dan dikenal sangat istiqamah akhlak politiknya sampai hari ini. Sahabat saya itu menjadi Guru Besar Ilmu Nuklir, juga seorang Muballigh yang sangat mengandalkan tafsir dan “Ilmu Titèn” terhadap rangkaian, perjodohan dan harmoni antar ayat-ayat Al-Qur`an. Seorang Da’i sepuh yang sangat fokus terhadap hikmah Al-Qur`an dan sama sekali tidak punya naluri atau kemampuan profesional untuk “memasarkan” dirinya untuk menjadi pendakwah populer. Prestasi kedua sahabat saya itu sangat menjelaskan betapa beliau berdua jauh lebih memenuhi syarat untuk menjadi Ketua OSIS sekolahan Muhammadiyah.
Beliau ini berasal dari keluarga seorang Ulama Kiai yang unik di Suronatan Yogya. Ulama dari komunitas kampung Muhammadiyah tapi menguasai Kitab Kuning, Bahasa Arab dan keluasan pandangan sosial. Kakak perempuannya sahabat saya ini sejak saya mengenalnya ketika awal masuk “Muhi” adalah satu-satunya siswa yang sudah pakai jilbab dan jarit serta pakaian tradisional. Sementara hampir semua siswi “Muhi” pakai rok mini minilam 10 cm di atas lutut, sehingga secara budaya kami para siswa merasakan semacam “musytabihat” setiap di Sekolahan.
Tetapi keluarga sahabat saya ini bukan keluarga kuno atau tradisional. Sebab baik kakak perempuannya maupun dia adalah siswa utama “Muhi” yang jagoan di bidang Fisika, Kimia, Matematika, Stereometri, Goniometri, sampaipun Bahasa Inggris, Arab dan Jerman. Jangan tanya lagi kelanyahan mereka terhadap Al-Qur`an. Teman saya ini secara akademis adalah “elite” di “Muhi”, sementara nilai Kimia saya 3,5, Fisika saya 4,5, bahkan saya baru mengerti apa itu “Valensi” sesudah keluar dari “Muhi”. Dengan kondisi akademis seperti itu, saya adalah alumnus SMA Muhammadiyah I Yogya yang paling memalukan. Ebiet G Ade saja, adik kelas kami dua tahun, yang seorang penyanyi kondang, nilai Rapornya jauh lebih bagus dibanding saya.
Kalau di“zoom-out”, perhatikan beliau sahabat saya ini dalam pemilihan ketua OSIS mewakili Pelajar Islam Indonesia. Dalam peta psiko-politik negeri ini, PII dianggap adiknya HMI, HMI dikesankan sebagai keponakannya Masyumi yang dulu dibubarkan oleh Bung Karno yang menjadi infrastruktur kekuasaan PDIP sampai hari ini. Juga rekannya Muhammadiyah. Berarti sahabat saya ini berasal dari “belantara” yang sama dengan saya. Namun saya belum pernah menceritakan atau menulis tentang “belantara” ini. Dan mungkin memang tidak akan pernah. Kecuali Indonesia akan berkembang dewasa.
Berdua dengan sahabat ini, kami berdua dianugerahi Allah tidak punya ambisi politik, nafsu eksistensialisme atau libido kekuasaan, apalagi ammaroh bi pencitraan. Sebab seandainya pun kami memiliki itu pun, karena setting kami adalah “belantara” itu, maka tak akan bertumbuh juga tanaman kami. Kami berdua yakin sangat dirahmati oleh Allah. Apalagi Kanjeng Nabi menyatakan bahwa
بداء الإسلام غريبا فسيعود غريبا كما بداء فطوبى للغرباء
“Badaal islamu ghoriban wasaya’udu ghoriba kama bada’a fatuuba lil ghoroba”. Islam itu dimulai dengan keterasingan dan akan kembali mengalami keterasingan sebagaimana ia dimulai. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing….