CakNun.com

KiaiKanjeng dan JKKNNS Malaysia: Bagaimana Kesenian Meretas Konflik?

Rony K. Pratama
Waktu baca ± 5 menit

Kajian perbandingan ini menarik dibicarakan karena mendudukkan dua kelompok seni pertunjukan di Indonesia dan Malaysia. Sejauh mana kemiripan sekaligus perbedaan praktik berkesenian dalam berdakwah melalui seni pertunjukan, tak pelak membuka babak baru bagi dua negara yang bertetangga dekat tapi memiliki titik persinggungan genealogi budaya, sejarah, dan politiknya itu.

Penelitian kolaboratif karya Twediana Budi Hapsari dan Norhayati Rafida binti Abdul Halim berjudul A Framing Analysis of Negotiation of Interest in Islam via Dakwah Content between Indonesia and Malaysia: A Case Study on Traditional Arts Performance (2020) ini membincang peran KiaiKanjeng dan Jabatan Kebudayaan dan Kesenian Nasional Negeri Sembilan (JKKNNS).

Keduanya dianggap mengubah lanskap dakwah di dua negara yang tidak hanya memakai pendekatan verbal, tetapi juga kesenian tradisi sehingga kekhasan itulah yang dijadikan dasar mengapa peneliti tertarik mengeksplorasi lebih lanjut. Apalagi dakwah di sini bukan dalam pengertian agama semata, melainkan juga suatu dialog yang berkesadaran sosial, politik, dan budaya.

Twediana dan Norhayati menggarisbawahi meski KiaiKanjeng dan JKKNNS seperti berada di biduk dakwah yang seakan serupa, namun terdapat konteks yang berlainan, bahkan bertolak belakang lantaran pola negosiasinya ditentukan oleh wacana politik praktis di dua negara setempat.

Pertama, JKKNS sebagai bagian integral dari National Departement of Cultures and Arts Malaysia berhadapan dengan wacana etnisitas (Melayu, Tionghoa, dan India) yang merenggang dan karenanya orientasi keseniannya diharapkan mengharmonikan.

Kedua, KiaiKanjeng cenderung independen, bukan subordinat dari kekuasaan tertentu, sehingga wacana kritisisme terhadap penguasa-dominan lebih kuat, termasuk pula kritik kepada praktik keberislaman warga Indonesia. Menurut peneliti, tujuan kritik tersebut semata-mata untuk “as part of his advice for better Indonesian in the future” (hlm. 211).

Corak negosiasi dalam kajian ini dipahami sebagai upaya meretas konflik yang terjadi di antara individu atau kelompok yang bersitegang karena masalah tertentu. Negosiasi dimungkinkan ketika terdapat motif serta kebutuhan untuk menyelesaikan bersama oleh pihak yang bersangkutan.

PSHT di Malaysia.
Dok. Progress.

Paling tidak, lebih lanjut dikemukakan Twediana dan Norhayati, dapat mencapai “An outcome referes to the ability to minimize the differences in interests or needs, which may fall into a win-win or win-lose situation” (hlm. 213).

Peneliti membagi hasil temuannya ke dalam tiga subbagian: komunikator, isi pesan, dan audiens. Sebagai kajian ilmu komunikasi, riset ini berpatokan pada empat elemen komunikasi yang digagas Robert M. Entman (1993). Tiap pembabakan proses di dalamnya dinilai peneliti mampu menjawab bagaimana masalah peretasan konflik dipaparkan, sejuah mana mampu mendiagonsis masalah, menemukan “moral judgement”, sampai merekomendasikan solusi.

Semua langkah itu sebetulnya dibangun berdasarkan kepercayaan peneliti bahwa proses negosiasi menjembatani antara “nilai seni tradisional” dan “nilai islami” dalam seni pertunjukan di KiaiKanjeng maupun JKKNNS (hlm. 213). Dikotomi ini secara kritis dapat dipertanyakan lebih lanjut: atas dasar apa seni tradisional dibicarakan dalam pertautannya dengan nilai islami, adakah batas demakarsi antara seni tradisional dan nilai islami, tepatkah penyebutan nilai seni tradisional dan nilai islami itu.

Pelbagai pertanyaan di atas menginduk pada wacana seni modern dan seni tradisional yang belakangan serampangan dipakai sejumlah akademisi tanpa mengindahkan konteks sejarah yang melatarbelakanginya. Seolah ada keyakinan seni modern di samping seni tradisional. Bukankah seni tradisional adalah ciptaan wacana seni modern yang lahir dari konteks produksi pengetahuan kelompok orientalis?

Pertanyaan demikian sama dengan bias perbedaan wacana seni murni dan seni terapan yang lahir di abad ke-19. Demikian pula posisi pendidikan seni di tengah wacana seni dan karya seni yang biasanya kedua istilah terakhir tersebut dipakai secara anakronistik.

Mengapa pertanyaan ini penting? Saya kira signifikansinya, selain terhindar pada kebingungan semantik, istilah, dan penggunaan kata yang ahistoris, pertanyaan di atas sekaligus menggugat kategorisasi KiaiKanjeng sebagai seni tradisional hanya karena memakai instrumen gamelan.

Padahal, kalau ditengok lebih jauh, penamaan KiaiKanjeng yang salah satunya merujuk pada gamelan yang digubah Nevi Budianto itu bukanlah satu-satunya instrumen. Terdapat instrumen lain yang mencirikan “modern” lantaran berformat elektronik. Menempatkan seni tradisional untuk menyebut KiaiKanjeng, selain problematis, juga malah terjebak pada wacana dominan yang melegitimasi adanya dikotomi seni tradisional dan seni modern.

Sayangnya penelitian Twediana dan Norhayati tidak menyinggung persoalan istilah lebih kritis. Akan tetapi, kecenderungan demikian tidak mengurangi temuan yang dihasilkan sebagai bentuk riset perbandingan karena membuka lembaran baru perihal aktivisme KiaiKanjeng dan JKKNNS di seni pertunjukan yang berkesadaran sosial.

Keunikan Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam seni pertunjukan, sekalipun jamak membicarakan tema-tema keislaman, adalah tak berafiliasi dengan organisasi Islam di Indonesia seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (hlm. 214). Keistimewaan posisi itulah yang membuat kajian Islam dan seni pertunjukan islami di Indonesia bukan melulu seputar Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama, melainkan juga Maiyah sebagai majelis ilmu di tengah besutan Cak Nun.

Meskipun begitu, Maiyah tidak muncul untuk menegasikan organisasi sebelumnya. Ia justru melengkapi. Bahkan saling berupaya membangun harmoni dengan kelompok yang sudah eksis sebelumnya. Banyak jamaah Maiyah yang berlatar belakang Muhammadiyah atau NU, di samping mereka yang tak memiliki naungan organisasi formal lainnya. Maiyah menampung semua orang tanpa prasyarat. Bilapun ada mereka harus saling menyelamatkan di antara sesama.

Sanggau, Kalbar, 2001 (Dok. Progress.)

Preferensi KiaiKanjeng yang independen semacam itu berbeda kontras dengan JKKNNS. Ia sudah barang tentu dependen dengan agenda lembaga otoritatif di Malaysia yang salah satunya Jabatan Hal Ehwal Agama Islam Negri Sembilan (JAHEINS). Pihaknya memastikan agar JKKNNS mempromosikan kesatuan yang diterima oleh masyarakat. Perbedaan etnis menjadi penting dipertimbangkan.

Di Malaysia JKKNNS akhirnya harus mengikuti aturan yang berlaku seperti pakaian apa yang dikenakan, lirik lagu, musik, tarian, sampai asesoris lainnya. Prosedur itu disepakati supaya tak terjadi disharmoni etnis yang kerap terjadi.

Langgam pertunjukan pun juga berbeda, walau sama-sama bersumber dari nilai Islam. KiaiKanjeng banyak membawakan shalawat bukan sebatas latar musik, melainkan juga iringan sekaligus bagian dari helatan forum Maiyah, dan di sana partisipasi menjadi kunci bersama. Sementara itu, JKKNS lebih banyak didominasi pertunjukan yang diadaptasi dari tradisi Sumatra dan Adat Pepatih. Bentuk pertunjukan islaminya tak sekadar tarian tapi juga kostum yang dipakai.

Konten dakwah yang dibawa tiap kelompok di dua negara ini kontras bertolak belakang. Format panggung yang pendek bertujuan untuk tidak memberikan jarak menganga antara KiaiKanjeng dan masyarakat. Acap kali tuan rumah yang mengundang juga dilibatkan selama dialog sinau bareng berlangsung.

Demikian pula perwakilan masyarakat. Jarak dekat menegaskan posisi Cak Nun dan KiaiKanjeng sebagai bagian akrab dari masyarakat. Semacam kesetaraan yang ditandai oleh bentuk panggung, manajemen dialog, dan bahasa serta lagu yang diperformakan.

Sebaliknya, JKKNNS merupakan seni pertunjukan yang mengundang banyak penonton. Tujuannya untuk menghasilkan pendapatan, hiburan, dan menarik atensi turis. Pun konten dakwah yang diungkapkan. Ia tak boleh melanggar ketentuan pemerintah. “Like not violate Government’s law, in accordance with the religion’s values and no harm for everybody,” tulis peneliti (hlm. 214).

Audiens Cak Nun KiaiKanjeng beragam latar belakang dan bahkan simpul Maiyah memiliki cabang di tiap dusun maupun kota. Sedangkan JKKNNS tak memiliki privilese semacam itu. Ia hanya punya penonton selama pertunjukan digelar, sehingga sifatnya hilir-mudik serta datang sekadar menikmati hiburan (hlm. 214). JKKNNS tak memiliki seperti “Jamaah Maiyah” di wilayahnya.

Meretas konflik yang seyogianya lebih mendapatkan porsi lebih di penelitian ini tampaknya sekadar diulas secara posivistik. Tak ada eksplorasi lebih mendetail bagaimana upaya strategis peretasan konflik, terutama apa yang dilakukan Cak Nun dan KiaiKanjeng, selama menengahi ketegangan di akar rumput seperti kasus di Sampit, Lampung, Ambon, dan lain sebagainya.

Jika kajian ini sedepa lebih “etnografis” niscaya akan ditemukan banyak contoh empiris yang dihadapi Cak Nun dan KiaiKanjeng selama meretas konflik. Di luar ekspektasi demikian, penelitian Twediana dan Norhayati tetap perlu dicatat dan ditempatkan ke dalam produksi pengetahuan tentang Cak Nun, KiaiKanjeng, dan Maiyah.

Exit mobile version