Keyakinan terhadap Rahmat Allah
Intisari pembahasan yang disampaikan Cak Nun dalam Mocopat Syafaat malam ini meliputi meneguhkan kembali keyakinan terhadap rahmat Allah.
Mocopat Syafaat medio tahun ini kembali digelar usai bulan lalu ditiadakan karena berdekatan dengan perayaan Idul Fitri. Momentum hari raya umat Islam itu juga sekaligus bersinggungan dengan nonton bareng film Terima Kasih Emak Terima Kasih Abah (TeTa). Pada hari tersebut Cak Nun lebih banyak di Jakarta karena turut serta dalam acara peluncuran film besutan sutradara Dedi Setiadi itu.
Malam ini Mocopat Syafaat sengaja tak mengundang audiens. Semata-mata agar protokol kesehatan terpenuhi, sehingga rantai penularan maupun penyebaran Covid-19 dapat dihindari semaksimal mungkin. Beberapa wilayah di Jawa kembali berstatus “merah” dan Yogyakarta per 16 Juni terdapat tambahan sebanyak 534 kasus anyar dalam sehari (DetikNews, 2021).
Intisari pembahasan yang disampaikan Cak Nun meliputi keyakinan terhadap rahmat Allah. Beliau merinci tiga poin seperti harapan, keyakinan, dan kepastian. Menurutnya, seseorang yang berdoa kepada Allah hendaknya dilandasi oleh rasa yakin seratus persen. Tapi jangan sampai keyakinan itu membersitkan perasaan pasti. Kepastian atau pemastian merupakan hak prerogatif Allah semata. Manusia tak berkuasa atas pasti atau tidaknya terkabulnya doa.
“Memang tipis bedanya. Meyakini itu ketika Anda berdoa kepada Allah. Dan pasti itu hak Allah. Manusia jangan sampai pada pemastian,” ucap Cak Nun. Itulah sebabnya, tatkala berdoa, mengharap, atau berkeinginan dalam sehari-hari Cak Nun memandang pentingnya kesadaran Insya Allah. Ucapan ini bukanlah spontanitas yang acap diekspresikan basa-basi, namun sesungguhnya mengandung kuasa yang berpusat kepada Allah.
Esensi Insya Allah, lanjut Cak Nun, berposisi sebagai, “Kalau Allah menghendaki. Di Al-Qur’an sendiri ada juga beberapa posisi seperti Allah membiarkan, Allah mengizinkan, dan Allah memerintahkan.” Posisi itu karenanya memerlukan pedoman iman. Beliau menerangkan bahwa iman adalah keyakinan terhadap kehendak Allah untuk memastikan kebijaksanaan dan kesejahteraan.
Di samping itu, posisi manusia dan Tuhan sebetulnya cenderung “berbagi tugas” — hamba bekerja keras, beramal saleh, sedangkan Allah memberikan rahmat. “Jadi, intinya adalah kalau kita ngomong mudah-mudahan itu insya Allah dan yakin.” Rahmat Allah, imbuh Cak Nun, mutlak adanya tapi tetap perlu dilambari bahwa semoga Dia merahmati. “Kita tidak perlu mengajukan proposal.”
Pendalaman pokok bahasan pun direspons bapak maupun pakde KiaiKanjeng. Mas Jijit menceritakan pengalaman sehari-hari dan bagaimana rahmat Allah tercurah tanpa disangka sebelumnya. Suatu ketika pernah menghadapi situasi sempit tapi pertolongan Allah datang secara min haitsu la yahtasib. Entah lewat anaknya, kerabat, ataupun orang terdekat lain. Ia meyakini, “Wong mlaku bakal tinemu. Dan saya percaya kalau rezeki Allah datang saat kita nggak menyangka,” ujarnya.
Mas Jijit percaya betapa mlaku di situ merupakan sebuah doa sekaligus keyakinan. Bila ia sudah melakukan sesuatu, berusaha, serta bertawakal, maka Insya Allah tinemu. Pengalaman demi pengalaman yang selama ini ia rasakan tak jauh dari kondisi “gaib” semacam itu. Cerita Mas Jijit, kendati berbeda variasi, tapi memiliki pertautan inti yang serupa dengan Mas Doni dan Mas Imam.
Cak Nun membubuhkan keterangan tambahan. Menurut beliau, “Keyakinan itu menjadi salah satu mediator menuju ke Allah. Berarti sebetulnya saya berdoa berharap atau berdoa itu dengan berkendaraan keyakinan dan tujuannya ke Allah.” Keadaan belakangan, sebagaimana dihadapi setiap orang sekarang, menurut Cak Nun memang berada pada puncak membutuhkan rahmat Allah.
Helatan Mocopat Syafaat malam ini jamak menegaskan dan mempertanyakan ulang apa yang dipahami sebagai bentuk refleksi ke dalam diri masing-masing. Praktis apa yang diwedarkan Cak Nun seperti memberikan cambukan bagi jamaah agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi.