CakNun.com

Ketika Nabi Muhammad Menjadi Ancaman Bagi Kelompok yang Berkuasa

Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 4 menit
Image by Konevi from Pixabay

Beberapa waktu lalu usai menata persiapan Padhangmbulan bersama teman-teman Omah Padhangmbulan dan Paseban Mojokerto, kami melanjutkan obrolan tentang pengalaman mengikuti Maiyah. Jagongan saur manuk terasa gayeng. Tidak memakai moderator karena setiap orang memoderatori dirinya sendiri, kapan boleh berbicara kapan harus mendengarkan pendapat orang lain.

Dalam obrolan itu saya teringat penayangan video hamba kinasih Allah, Syaikh Nursamad Kamba, pada pengajian Padhangmbulan bulan Juli 2020. Syaikh Nursamad memaparkan kegelisahannya pada formalisme syariat dan ritual ibadah yang lebih diutamakan daripada akhlak.

Syaikh Nursamad menerangkan definisi syirik. Menurutnya, syirik adalah penindasan kemanusiaan yang mengatasnamakan Tuhan. Diungkapkan juga setting perjuangan Nabi melawan Abu Lahab, Abu Jahal beserta kroninya.

Perbuatan Abu Lahab bersama kelompoknya dikategorikan syirik tidak semata-mata karena mereka menyembah berhala. Mereka menjadikan Latta, Uzza, dan berhala lainnya sebagai perantara menuju Tuhan. Kampanye ritual untuk bisa sampai kepada Tuhan — Abu Jahal dan kelompoknya menjadi makelar — dilakukan dengan cara menindas anak yatim, orang miskin, dan kaum lemah.

Setting sejarah Nabi yang dikemukakan Syaikh Nursamad Kamba menarik untuk dilacak. Sirah Nabawi yang selama ini nyaris menggunakan sudut pandang aqidah dan syariah, oleh Syaikh Nursamad didekati melalui sudut pandang sosiologi kemanusiaan.

Tanah Makkah yang tandus, gersang, dan dikelilingi bukit batu sama sekali tidak menarik dua imperium besar waktu itu, yakni Persia dan Romawi, untuk menjadikannya wilayah bawahan. Satu-satunya keuntungan yang dimiliki Makkah adalah letak geografis yang menjadi jalur dagang bagi penduduk Yaman dan Syam.

Kondisi hidup yang serba minim, terisolir dari peradaban, hanya mengandalkan keuntungan dari jalur perdagangan, membuat masyarakat Quraisy merasa inferior. Tidak memiliki tradisi intelektual, tersisih dari sejarah kitab suci dan para nabi, bahkan merasa Tuhan telah mengabaikan keberadaan mereka adalah fakta sosio-psikologi suku Quraisy.

Pertentangan antar suku Quraisy, yang sejak semula terbelah menjadi dua kubu besar, Ahlaf dan Muthayyib, kian memanas sejak disepakati perjanjian Hilf al-Ahlaf (Shahifah Hilfu al-Ahlaf).

Perjanjian itu mengatur pembagian wilayah “ekonomi”. Kubu Ahlaf menjadi juru kunci Ka’bah; menerima pajak dan sewa lahan dari pedagang luar yang berdagang di sekitar Ka’bah dan wilayah Makkah; serta menjaga keamanan Makkah.

Sedangkan kubu Muthayyib — keluarga Nabi Muhammad adalah bagian dari kelompok ini — menjadi juru kunci sumur Zamzam dan menarik retribusi dari para peziarah haji. Kepala suku masih dipegang garis Muthayyib hingga sepeninggal Abdul Muthalib.

Pembagian tata kelola yang berat sebelah, apalagi pasca kematian Abdul Muthalib, menjadikan dominasi kubu Ahlaf di Makkah bertambah kuat. Mereka merampas dagangan orang-orang kecil, memainkan tenggat waktu utang-piutang, tidak mau membayar dagangan yang dibeli dan melakukan praktik rentenir (Sejarah Otentik Nabi Muhammad SAW, hal. 16).

Kekayaan kubu Ahlaf makin melimpah, hegemoni kekuasaan tidak terbendung lagi. Abu Jahal, Abu Lahab, dan kawan-kawan bahkan tidak segan melakukan komersialisasi patung Latta dan Uzza sebagai sarana untuk ritual pesugihan. Kelompok ini menjadikan tumbal anak manusia, budak, atau orang-orang miskin yang tidak mempunyai afiliasi suku. Mahar dari ritual pesugihan dijualbelikan dengan harga yang cukup mahal.

Bukan hanya itu. Ahlaf juga menyediakan uborampe bagi segala jenis ritual pesugihan. Ka’bah menjadi situs yang sakral sehingga eman kalau tidak ditransaksikan. Para petinggi dan pemimpin suku dari luar bangsa Quraisy dipersilakan memasang arca pesugihan di sekitar Ka’bah. Semuanya berbayar, harganya pun sangat mahal.

Ahlaf menjadi penguasa yang ditakuti. Mereka menggenggam pundi-pundi kekayaan dan menguasai tali-tali kekuasaan. Propaganda yang didengungkan adalah demi menjaga kemuliaan martabat suku Quraisy. Tidak ada perlawanan berarti dari kaum oposisi, kecuali insiden kecil yang melibatkan orang miskin. Perlawanan itu lenyap diinjak kaki kekuasaan.

Setting psiko sosiologi seperti itu melatari kehidupan sosial budaya suku Quraisy ketika Nabi Muhammad menerima wahyu pertama. Nabi membuka mata kaum Quraisy. Praktik penindasan kemanusiaan harus dihentikan. Nabi pun melakukan perlawanan.

Tauhid, aqidah, dan syariah tidak bisa dilepaskan dari bingkai sosial, budaya, ekonomi dan hegemoni kekuasaan waktu itu. Melalui sudut pandang ini kita pun memahami bahwa syirik bukan sekadar pelanggaran aqidah, bukan hanya iman yang dicederai, bukan pula semata-mata praktik menyembah berhala.

Syirik memiliki dimensi kemanusiaan: pelecehan, penistaan, penindasan terhadap martabat dan harga diri manusia. Pada konteks kemanusiaan yang tertindas itu perjuangan Nabi Muhammad ditegakkan.

Perlawanan pun datang dari para petinggi Ahlaf karena Nabi mengusik tatanan kekuasaan mereka. Perjuangan Nabi Muhammad mengancam kekayaan dan kekuasaan Ahlaf.

Opini pembenaran untuk melanggengkan kekayaan dan kekuasaan digencarkan oleh kubu Ahlaf. Tak kurang para pemimpin ritual pesugihan (autsan) mengaku bahwa mereka mendapat bisikan gaib dari arca-arca. Menurut bisikan gaib, arca-arca diperintah agar menjadi penghubung antara manusia dan Allah.

Kebodohan jenis apa lagi yang menghalalkan penyembelihan manusia agar dapat berhubungan dengan Tuhan? Tuhan menciptakan manusia, tapi mengapa untuk menyembah-Nya manusia harus membunuh manusia lain? Kontradiksi ini memuncaki masa jahiliah yang terjadi bukan hanya pada zaman Nabi melainkan tengah berlangsung hingga hari ini.

Manusia yang mengaku beriman, yang menggunakan aksesori keimanan, yang memasang simbol-simbol keimanan, “menyembelih” harga diri, martabat, kehormatan orang lain untuk memuaskan nafsu ke-Ahlaf-an pribadi dan kelompoknya.

Kemarahan Ahlaf tidak terutama karena Nabi Muhammad membawa agama baru. Bukan disebabkan kok yang jadi nabi justru Muhammad. Tidak karena Nabi Muhammad berasal dari kubu Muthayyib. Kubu Ahlaf cukup toleran dengan diangkatnya Muhammad menjadi Nabi sepanjang dakwah dan pengaruhnya tidak mengancam kekayaan dan kuasaan mereka.

Demi menjaga gudang kekayaan dan kursi kekuasaan para Ahlaf, Muhammad harus dilenyapkan melalui pengucilan, pemboikotan, perundungan (bullying), pengusiran hingga pembunuhan. Tekanan bertubi-tubi yang mengancam nyawa diterima Nabi dan pengikutnya. Beberapa keluarga memutuskan hijrah ke Habsyah. Misi utamanya menyelamatkan diri dari penindasan Ahlaf dan mencari kehidupan baru yang tenang.

Harapan baru itu pun masih spekulatif. Mereka akan menemui raja Negus, seorang Kristen, yang menurut Nabi Muhammad adalah raja yang tidak menzalimi rakyatnya (Tarikh Bidayah, juz III, hal. 311).

Jelas sudah, perjuangan Nabi Muhammad menegakkan tauhid tidak bisa dilepaskan dari pembelaannya terhadap manusia yang dilemahkan (mustadl’afun). Itulah mengapa ketika di Thaif Nabi berdoa: “Anta rabbul mustadl’afin. Anta rabbi.” Engkau Tuhan orang-orang yang dilemahkan. Engkau Tuhan pelindungku.

Kalian akan ditolong oleh Allah, dianugerahi kemenangan, dan dilimpahi rezeki, jika kalian berperang semata-mata untuk membela kaum lemah (mustadl’afun). Tidak ada keimanan dan kesalehan yang ditegakkan dengan menindas martabat kemanusiaan.

Exit mobile version