Kesembuhan Hanya Atas Perkenan-Nya
Sore, mendung gelap dan sudah mulai gerimis, ketika ada panggilan telepon dari Mas Antok (dr. Hadianto Ismangoen SpA, sekarang beliau sudah meninggal).
“Le, aku nduwe pasien, mbok tulung ditiliki yo,” suara dari seberang telepon.
“Siap, Mas…,” jawab saya.
Dokter Antok adalah dokter spesialis anak, dan senior saya. Beliau adalah putra begawan dokter anak sekaligus the founding father Departemen Anak di Fakultas Kedokteran UGM yaitu profesor Ismangoen. Hubungan saya dengan Mas Antok sangat dekat. Beliau lebih merupakan kakak saya dibanding senior saya. Banyak hal dan masalah yang kami obrolkan di luar sakit, penyakit, dan hubungan hierarkhi di rumah sakit maupun di fakultas.
Oh ya, Mas Antok ini adalah orang sepakbola (sebagaimana hobi ayahnya). Kalau ada kata ‘PSIM’ (klub sepakbola dari Yogyakarta) pasti berhubungan dengan Mas Antok ini. Tidak tahu berapa periode beliau menjabat ketua klub ini, tetapi yang jelas beliau (dan keluarga besarnya) adalah sesepuh PSIM.
Banyak kawan saya yang sering menyebut kemiripan antara saya dengan Mas Antok. Baik dari gerak-geriknya, gaya bicaranya, sikap, dan bahasa tubuhnya.
Memang banyak kesamaan dalam cara pandang dan menyikapi suatu masalah. Namun, Allah ternyata lebih sayang kepada Mas Antok, dengan memanggilnya lebih cepat beberapa saat yang lalu. Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu’anhu, waj’alil jannata matsfaahu’.
Kembali ke pasien tadi. Saya mendapatkan informasi tentang kondisi pasien ini. Seorang anak berumur 4 tahun yang menderita demam berdarah (DB), dalam kondisi yang ‘tidak baik-baik saja’. Sambil berjalan menuju ke RS-nya Mas Antok di bilangan Patangpuluhan saya ditemani dua lagu yang baru saya dapatkan dari Mbak Via, yaitu ‘Cakrawala’-nya Cak Nun dan ‘Sayang Padaku’ yang dinyanyikan oleh Mbak Via sendiri. Ada satu nuansa yang ‘menguatkan’ kepada saya yang ditimbulkan oleh lagu-lagu itu. Saya putar berulang-ulang lagu itu menemani perjalanan menuju rumah sakit.
Sesampai di rumah sakit saya mendapati si pasien tadi dalam keadaan yang memang ‘tidak baik’. Tubuhnya lemas terbaring, kesadarannya berkabut, kadang nyambung kadang tidak tidak. Tekanan darahnya nyaris tak terukur, buang air besarnya bercampur darah.
“Ah ini tipe dengue atau DB yang klasik”, kata saya dalam hati.
“Sejak kapan demamnya, Bu?”
“Sejak lima hari yang lalu,” jawab si ibu lirih, serta meminta.
“Tolonglah anak saya Pak…”
Saya terdiam.
Yang ada dalam benak saya adalah bahwa kondisi ini berat. Peluangnya ya fifty-fifty. Astaghfirullah. Manusia yang selalu menghitung peluang. Matematis, dan kadang terlalu mendewakan akal pikirannya.
Penyakit (DB) ini disebabkan oleh virus DB yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Semua orang bisa kena. Terutama anak-anak, tetapi dewasa pun tak kalah banyaknya yang terkena penyakit ini. DB menyerang sistem peredaran darah. Ada tiga komponennya yang diserang sekaligus, yaitu: keping-keping darah (trombosit), pembuluh darahnya, dan faktor pembekuan.
Dalam hal pasien Mas Antok tadi, terdapat perdarahan di saluran cerna, akibat diserangnya tiga komponen tadi. Sampailah saya pada puncak pengetahuan saya atas upaya yang akan saya lakukan terhadap anak ini. Sudah mentok akal saya!
Kemudian saya mengamalkan pesan Cak Nun, sebelum saya berangkat ke RS ini. Memang saya sudah prediksi bahwa akan sampai pada kondisi seperti ini, makanya saya minta petuah Cak Nun, dan Cak Nun memberi beberapa ‘sangu’ kepada saya. Saya periksa tubuh anak ini, saya genggam kakinya seolah saya sedang menggenggam untuk memeriksa nadi kakinya, sambil saya baca surat Al-Fatihah. Saya berharap agar doa ini mengalir lewat nadinya, sambil memohon perkenan Allah untuk menyembuhkan anak ini. Kemudian saya dekati ibunya dan saya beri ‘sangu’ dari Cak Nun agar mengamalkan do’a Nabi Yunus semasa dalam perut ikan hiu.
“Ibu, tolong amalkan doa ini ya!”
“Laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadh dhalimin.”
“Injih, Pak,” jawab si ibu.
Kemudian saya baru melakukan ‘ritual medis’ terhadap kondisi fisik anak ini. Memperbaiki kondisi umumnya dengan berbagai upaya yang bisa saya lakukan. Memperbaiki sirkulasi, mengatasi perdarahan, dan mencoba ‘membangunkannya’. Saya sadar betul bahwa untuk penyakit ini belum ada ‘obat’ yang bisa mengatasinya. Karena itu, upaya yang kami lakukan adalah upaya maksimal dan tentu memohon izin-Nya.
Sambil menulis-nulis dan bincang-bincang dengan Mbak-mbak perawat di situ untuk melakukan upaya medis terhadap anak ini, saya call Mas Antok untuk melaporkan kondisi serta rencana terapi yang akan saya lakukan.
“Yoh wis… Nuwun,” begitu jawab mas Antok.
Beberapa hari sesudahnya saya coba mengubungi RS Mas Antok, dan menanyakan kodisi pasien tersebut.
Mbak Pur, Mbak perawat yang menerima telepon, melaporkan bahwa kondisi anak baik, dan sudah dibolehkan pulang. Saya spontan setengah berteriak, “Alhamdu lillahirabbil ‘alamin”. Ya Allah hanya dengan perkenan-Mu anak ini bisa sembuh!
Saya bersyukur seraya terus menancapkan kesadaran dalam diri saya bahwa hanya dengan perkenan-Nya anak itu bisa sembuh, sebab emangnya sebagai dokter apa saya bisa nyembuhin? Emangnya dokter ampuh? Pengetahuan kedokteran belum ada sekuku hitam untuk menjawab berbagai masalah kesehatan yang ada di dunia ini. ‘Tidaklah kalian aku beri pengetahuan, kecuali hanya sedikit’ (Q.S. Al-Isra: 85).