Kepemimpinan Rahman Rahim
Berdasarkan QS Al-Hasyr: 22-23, Mbah Nun pernah menulis tulisan berjudul “Pemimpin Yang Takabur”. Ada satu hal tentang kepemimpinan yang selama ini saya dapatkan dari berbagai forum Maiyahan dan interaksi saya sebagai Jamaah Maiyah yang terasa bedanya dengan teori-teori dan literatur tentang kepemimpinan.
Kepemimpinan layaknya anggota tubuh. Ada anggota tubuh yang lunak, ada yang keras, ada yang di tengah-tengahnya. Demikianlah, Mbah Nun tidak memisahkan atau membedakan. Ada saatnya bertindak radikal, ada saat berkompromi, ada pula aktunya mendelegasikan, tetapi semuanya terbalut dalam konsep kasih sayang, Rahman Rahim.
Ada waktu dan situasi yang tepat untuk bertindak katakanlah seperti Hitler, misalnya. Namun, ada pula karakter Mahatma Gandhi yang muncul jika memang situasi membutuhkan karakter pemimpin yang demikian. Hitler tentu contoh pemimpin yang buruk, tetapi satu hal dalam konteks kepemimpinan yang dapat dipetik intinya adalah seperti yang Mbah Nun pernah sampaikan bahwa tidak ada yang buruk kecuali sesuatu itu berada pada waktu, tempat, dan atmosfer yang tidak pas atau tidak tepat.
Teori kepemimpinan yang diangkat Mbah Nun dari QS. Al-Hasyr 22-23 menurut saya cocok diterapkan di manapun, meskipun saya belum menganalisis lebih lanjut tentang hal ini dengan wawancara atau brainstorming dengan katakanlah pemimpin di suatu organisasi.
Untuk mengimplementasikan konsep kepemimpinan berdasarkan QS. Al-Hasyr 22-23 itu pun menurut saya ya tinggal dilakukan atau diterapkan sambil terus-menerus melakukan persambungan ke langit biar tidak keluar jalur.
Berikut sedikit yang saya pahami tentang konsep kepemimpinan Mbah Nun berdasarkan QS. Al-Hasyr 22-23. Yang paling adalah kesadaran bahwa semua yang dilakukan pemimpin hendaknya berada dalam bingkai Rahman Rahim. Tindakan apapun yang dilakukan seorang pemimpin harus dalam bingkai Rahman Rahim.
Kemudian, pemimpin harus mengetahui apapun yang terjadi di organisasinya. Dia harus update mengenai kondisi internal dan eksternal organisasi, sehingga tidak ada yang ghaib baginya. Dua hal ini saja menurut Mbah Nun sudah cukup memadai untuk menjadikan seseorang sebagai pemimpin atau Malik.
Lebih dalam lagi, berikutnya yaitu Al-Quddus. Pemimpin harus suci terutama dari yang mendasar, niatnya, sehingga tindakan apapun yang dilakukannya murni karena memang itu yang seharusnya dilakukan, bukan karena ada kepentingan pribadi, misalnya.
Kemudian As-Salam. Dengan bekal Al-Quddus itu, pemimpin berfungsi sebagai As-Salam, yang menyelamatkan. Ya menyelamatkan dirinya pribadi, ya individu dalam organisasinya, ya organisasinya.
Ini agak sefrekuensi dengan al-Mukmin yg mengamankan. Namun, penafsiran saya atas tulisannya Mbah Nun, yang mengamankan itu tampaknya lebih ke lingkungan eksternal organisasinya. Dari yang lingkup kecil pada keluarganya, keluarga karyawannya, masyarakat sekitar perusahaan, sampai pada lingkup yang lebih besar seperti negara.
Lantas Al-Muhaimin, pemelihara, oleh Mbah Nun berada atau dikumpulkan dalam kesatuan dengan As-Salam dan Al-Mukmin.
Menurut pemahaman saya, pemimpin dengan niat yang suci akan memelihara keselamatan dan keamanan apapun yang berada dalam lingkup organisasinya. Dia tidak tercederai oleh keinginan sesaat pribadinya atau golongannya, yang justru akan merusak tatanan organisasi yang dalam kadar tertentu akan merusak tatanan lebih luas seperti masyarakat dan negara. Yang berarti pula batal efeknya sebagai pemberi keselamatan dan keamanan.
Ketiga atau yang terakhir adalah Al-Aziz, Al-Jabbar, dan Al-Mutakabbir. Sebenarnya ketiganya adalah satu rangkaian karena ada kesamaan sifat. Dengan kualitas atau karakter seperti disebutkan sebelumnya, tentu saja seorang pemimpin akan menjadi perkasa kekuasaannya, tak tergoyahkan oleh apapun, mendapat dukungan organisasi dan semua elemen di dalamnya, termasuk pula restu dari langit, dengan demikian ia akan mudah saja mengatasi dan membesari semua permasalahan yang muncul, yang bersumber dari internal maupun eksternal organisasinya.
Jadi, yang mendasar dari teorinya Mbah Nun ini kalau saya simpulkan ada dua. Alimul ghoibi wasyahadah dan Al-Quddus, yang ada dalam gelembung Rahman Rahim. Yang pertama terkait dengan kompetensi karena ia harus mengetahui yang tidak diketahuinya, dan harus terus-menerus menyesuaikan dengan dinamika organisasi dan lingkungan eksternalnya. Ia bukan pemimpin yang abai dan buta pada apa yang terjadi dalam lingkungan internal dan eksternal organisasi. Sehingga, ia harus terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya.
Kalau menurut saya hal ini sangat luas dimensinya. Ia harus mempunyai relationship yang bagus dangan bawahannya, knowledge yang mumpuni untuk terus dapat mengikuti dinamika zaman, komunikasi yang bagus juga. Semua tindakan pemimpin dilandasi oleh apa yang seharusnya dilakukan, bukan kepentingan sesaat stakeholders misalnya.
Bingkai Rahman Rahim membuat pemimpin dalam apapun tindakannya didasarkan pada rasa kasih sayang, bukan menindas orang yang berada di luar organisasi maupun pesaing, misalnya. Ia akan mengayomi siapa pun, dan memberikan perhatian lebih kepada bawahannya yang berprestasi dan mengembangkan diri.