Kemaritiman Ekosofi Nusantara
Moyangku seorang pelaut gemar mengarung luas samudra. Betapa benar tembang anak besutan Ibu Sud. Ia merangkum paripurna jati diri bangsa Nusantara. Jati diri petualang di negeri zamrud khatulistiwa. Sebuah wilayah tropis yang konon kata Yok Koeswoyo tongkat, kayu, dan batu pun menjadi tanaman. Capaian dan potensi adiluhung ini Kamis malam (14/10) dibabar Cak Nun dan KiaiKanjeng pada helatan Sinau Bareng di Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya (PPNS).
Tak tanggung-tanggung, tema besar yang diangkat Berguru pada Kejayaan Maritim Majapahit & Sriwijaya untuk Menyongsong Kejayaan Laut Masa Depan Kita. Di depan civitas akademika “kampus maritim” Cak Nun mengingatkan kehancuran bagi mereka yang menutup mata pada sangkan Nusantara. Kata Nusantara sendiri memuat lema “nusa” dan “antara” yang berarti “pulau” serta “jarak”. Etimologi Jawa kuna dan Sansekerta ini memperlihatkan khazanah geografis yang dikelilingi samudra luas.
“Kalau kita buah maka jangan melupakan daunnya. Kalau bunga maka jangan melupakan ranting, batang, dan akarnya. Kalau menjadi akar jangan melupakan tanah, alam, kosmos, dan maha pencipta,” terang Cak Nun dalam bahasa Jawa. Persambungan satu sama lain inilah yang disebutnya sebagai kesadaran ekosofis. Ekosofi adalah cara berpikir holistik. “Kalau Anda melihat pohon lalu teringat asal-usul sejatinya. Ekosofi itu satu lingkup kesadaran hati dan pikiran manusia menemukan peristiwa apa pun dengan hulu dan hilirnya Allah,” imbuhnya.
Sebelum menggali perihal ekosofi, Cak Nun mengajak tiga mahasiswa naik panggung. Tiap mahasiswa mendapatkan pertanyaan serupa. Apa itu ekologi, ekosistem, dan ekosofi. Semua dapat menjawab dua hal kecuali poin terakhir. “Ekologi itu terdiri dari dua kata, yaitu eko yang artinya alam dan logos yang artinya ilmu. Jadi, ekologi adalah ilmu tentang alam sekitar. Sedangkan ekosistem itu sistem yang ada pada lingkungan yang meliputi segala sesuatu di dalamnya. Tapi kalau ekosofi saya baru dengar ini,” ucap Odi, Presiden BEM PPNS.
Pertanyaan ini sebetulnya memancing pertanyaan berikutnya. “Di zaman sebelum Indonesia prosentase laut dan sungai itu berapa-berapa,” Cak Nun menambahkan. Salah seorang pemuda di samping Odi segera menyahut. Dia bilang kisaran 80 dan 20 persen. Porsi terbesar menunjukkan keluasan laut. Kendati, lanjut Cak Nun, sebelum mempelajari laut maka wajib memahami sungai. Sungai dan laut adalah peradaban bagi Nusantara.
“Sungai dan laut ini sangat jelas bahwa kita sebagai kawasan maritim perlu memprioritaskan keduanya. Anda sebagai generasi masa depan bertanggung jawab atas keduanya. Kan Anda belajar kemaritiman dan perkapalan. Betul tidak, Pak Direktur?” tanya Cak Nun. Eko Julianto, Direktur Politeknik, tampak mengangguk di samping kanan Cak Nun. Memprimerkan sungai dan laut sama dengan meneladani bagaimana Sriwijaya, Majapahit, dan peradaban silam lain dalam memaksimalkan mobilitas domestik maupun mancanegara.
Prioritas pembangunan kawasan maritim juga hendaknya jangan terlalu materialistik. Keuntungan tak boleh mengalahkan nilai ekosofis. Cak Nun berpendapat adanya lalu-lintas sungai dan laut di masa silam yang kemudian menghasilkan peradaban maritim tersebut semestinya mengindahkan dua hal. Pertama, mengutamakan tatanan sosial daripada individu sebagaimana pola pembangunan masa lalu yang mendahulukan jalan sebelum tempat tinggal. Kedua, keseimbangan diri, lingkungan, dan alam dihasilkan bukan dengan relasi destruktif, melainkan menumbuhkan dan saling memberikan manfaat.
“Jadi, peradaban maritim harus ekosofis. Yakni menyadari bahwa semua ini ada amr-nya (perintah) dan iradah-nya (kehendak). Juga menyadari dialektika antara seluruh yang terlibat di dalam pengetahuan ekologi dengan asal-usul dan sifatnya,” tegas Cak Nun. Paparan ini kemudian dilanjutkan dengan gayung refleksi, pertanyaan, dan jawaban yang dipandu Suko Widodo kepada sejumlah mahasiswa lain. Dosen UNAIR tersebut lebih banyak menanyakan seputar opini mahasiswa terhadap kemaritiman, kebijakan laut, dan gambaran Indonesia Emas tahun 2045 (seabad Indonesia).
Sinau Bareng tadi malam sesungguhnya antara lain dipicu oleh kegelisahan Direktur Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya. Menurut Pak Direktur, Indonesia Emas 2045 di satu pihak menjadi tuntutan agar proses pembelajaran terus meningkat kualitasnya. Namun, di pihak lain keprihatinan itu harus dibarengi dengan kerja keras segenap pihak. “Kita ini potensinya luar biasa. Sumber daya alam, bonus demografi, dan lain sebagainya. Kalau tidak kita persiapkan sejak sekarang maka peluang itu akan jadi malapetaka,” ujar Eko Julianto.
Menurut dosen program studi Teknik Perpipaan ini potensi kekayaan Indonesia akan bergeser dari darat ke laut. Pergeseran tersebut juga beralih dari kawasan barat ke timur Indonesia. “Di daerah timur ini sangat dalam dan besar potensinya. Masalahnya, selama ini kita mengeksploitasi tanpa pertimbangan lingkungan. Anda jangan meneruskan kesalahan generasi silam. Jadi, bagaimana kita belajar menikmati alam tapi tidak merusak alam. Kita harus belajar mulai dari sekarang,” gadangnya.