Karakter Ksatria di Peradaban Kepengecutan
Kalau melihat cara berkuasa dan pola perilaku Pemerintah Orba, seharusnya pementasan KiaiKanjeng di Gontor 1994 itu akan disusul akibat-akibat politik yang serius. Tetapi tidak ada apapun yang menimpa KiaiKanjeng dan saya, malah justru peristiwa tabayyun dan pelaksanaan metode bil-hikmati di rumah Bu Halimah.
Fakta ini tidak ada kaitannya dengan kehebatan, kesaktian, kekebalan politik atau apapun yang seranah. Ini hanya produk riil dari resep Allah “Ud’u ila sabili Rabbika bilhikmati wal mau’idhatil hasanah” yang memproduksi kemashlahatan, pengertian, kedewasaan, kematangan dan kedamaian. Sebab Allah sendiri yang menciptakan manusia dan menuturkan panduan-panduan bagaimana menjalani hidup para ciptaan itu.
Kalau seorang pelawan kekuasaan tidak terkena efek dari kekuasaan, berarti kemungkinannya pemahaman kita tentang kekuasaan dan penguasa tidak tepat. Mungkin gambaran Soeharto personal tidak tepat seperti yang kita bayangkan. Kebanyakan orang mungkin terkontaminasi oleh stigma yang berupa identifikasi atau tingkat pemahaman tertentu tentang watak dan perilaku penguasa. Mungkin sekali kita salah memahami Soeharto dan kita biarkan kesalahpahaman itu berlangsung seumur hidup demi memuaskan kecemburuan dan kedengkian kita kepadanya.
Pak Harto sendiri mengatakan kepada Mbak Tutut: “Cak Nun itu kalau bicara A memang A, tidak karena ia punya ambisi untuk melawan atau sedang menempuh strategi supaya diikutkan berkuasa”. Kemudian ia berpesan kepada anak-anaknya semua: “Kelak kalau kalian mengalami sesuatu yang darurat atau yang kalian tidak mengerti bagaimana menghadapinya, datanglah ke Cak Nun. Karena nalar Cak Nun itu nalar lumrah orang hidup dan apa adanya sesuai dengan kenyataannya”.
Ketika kemudian mungkin pada suatu hari orang mendengar bahwa Cak Nun bertemu dengan Tommy Soeharto di LP Cipinang, juga Bambang Tri sehabis tafakkur, atau Mbak Mamik bertamu ke Kadipiro, atau utusan keluarga Cendana mengajukan hal-hal untuk dikonsultasikan — maka orang berpikir bahwa Emha itu anteknya Cendana.
Kelemahan kenyataan seperti ini adalah berlangsung di suatu zaman modern di mana orang memakai cara untuk membunuh orang dari jarak jauh, misalnya pakai pistol, bedil, bom atau rudal. Sejak abad 15 Masehi ummat manusia berhijrah dari era kejantanan memasuki era kepengecutan. Sekarang orang menyerang orang lain dari jarak jauh yang online sambil menyembunyikan diri di balik akun palsu. Tetapi Allah sendiri mengkategorikan orang-orang semacam ini bukan pengecut atau curang, melainkan “tidak berakal”. “Innalladzina yunadunaka min wara`il hujurati aktsaruhum la ya’qilun”.
Sejak kapal Portugis kemudian Belanda memasuki perairan Nusantara untuk merampok, mereka menggunakan senapan, bedil, dan meriam jarak jauh. Sejak itu berlangsung pergeseran watak bangsa Indonesia dari etos kekesatriaan menjadi kepengecutan dan kecurangan yang disebut kecanggihan modernisme.
Lenyap budaya Jawa “adu arep”, “dep-depan”, “ayo gabrus brèng, podo mangan segane”. Muwajjahah, bahasa Arabnya, meskipun kosakata itu tidak pernah dipakai untuk konteks semacam itu. Dan dengan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat membuka lebar ruang-ruang kepengecutan dan kecurangan sekarang ini, maka yang dihadapi oleh pejuang kebenaran dan mujahid kehidupan adalah hantu-hantu, thèthèkan, glundhung pringas-pringis yang bersembunyi “min wara`il hujurat”. Berlindung di balik subjek-subjek bertopeng, bikin-bikinan dan abal-abal.
Jauh sebelum era online sekarang, Pak Harto ketika saya rayu untuk “ora dadi Presiden ora pathèken”, mengatakan kepada saya bahwa justru kalangan partai politik yang dulu memfetakompli dan saya bantu untuk tampil di acara kampanye mereka di alun-alun — yang merayu Pak Harto agar tidak perlu turun jabatan dan jangan percaya kepada Emha.
Pengkhianatan dan kemunafikan seperti itu sesungguhnya berlangsung merata dan menyebar di semua level dan segmen kehidupan bangsa Indonesia ketika berurusan dengan negara, pemerintahan, dan kekuasaan. Sampai dunia budaya dan kontelasi kehidupan agama, juga kesenian, pun tertular virus hipokrisi dan betrayal ini. Sejak Dipowinatan, Dinasti, KiaiKanjeng hingga Maiyah, saya punya daftarnya berlapis-lapis halaman sedemikian rupa. Dari yang menyangkut kepentingan kecil hingga yang besar, semuanya berlangsung sepanjang menyangkut kekuasaan dan harta benda keduniaan.
Kanjeng Nabi Muhammad Saw sangat akademis dan cerdas memberi rumusan untuk mewanti-wanti ummatnya:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاث إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu ada tiga apabila ia berucap ia berbohong, jika membuat janji ia ingkar, dan jika dipercaya ia khianat.”
Saat ini bangsa Indonesia dikepung dan mengepungkan tiga kecenderungan perilaku itu. Itu melahirkan situasi saling tidak percaya satu sama lain yang membuat apapun saja konsep-konsep yang baik untuk memperbaiki keadaan menjadi busung atau mentah dan mandeg di tengah jalan. Sampai-sampai kalau Anda membawa bungkusan nasi ke tetangga atau sahabat Anda, muncul pertanyaan di hatinya: “Racun ya ini!”. Bahkan ketika kemudian ia memakannya, ia tidak bersedia mengakui siapa yang memberinya nasi itu. Indonesia adalah orang sakit yang tidak percaya kepada dokter dan membenci obat yang diberikannya. Bahkan ketika akhirnya ia diobati oleh dokter itu dengan cara tertentu dan sembuh, ia bertanya: “Siapa ya yang bisa menyembuhkan saya?”.
Itu contoh imaginatif tentang “la ya’qilun” yang difirmankan Allah Swt, sebagai produk dari kedengkian, harga diri yang tidak pada tempatnya, serta tradisi ketidakjujuran terhadap kehidupan.