Karakter Baik yang Bertemu Nasib yang Buruk
Ini adalah kisah tentang seorang filsuf muda dari Kota Knalpot. Jangan dulu menghakimi hidupnya gagal. Saya menerka ia hanya terlahir terlambat era. Kemampuannya mentransformasi gagasan pemikiran ke dalam metodologi pengorganisasian sosial jelas akan memukau pendana lembaga swadaya masyarakat nasional bahkan global jika ia berkiprah setidaknya pada periode-periode akhir Orde Baru.
Atau sebetulnya di era-era ini keahlian mentransformasi nilai-nilai menjadi kerangka-kerangka strategi gerakan tersebut sebetulnya masih relate dan amat dibutuhkan. Hanya saja si filsuf muda ini kalah rebutan panggung popularitas, inefektif sebab terjebak pada guilty feeling akibat merasa minim prestasi.
Lepas dari semua itu, kita tidak elok menghakimi orang dari kondisi apa adanya dirinya hari ini. Terlebih orang seperti filsuf muda yang satu ini yang ia memiliki ‘growth mindset’. Tidak seperti kebanyakan kalangan mainstream yang terjebak pada ‘fixed mindset’.
Febri Patmoko, salah seorang penggiat Maiyah, pada Juguran Syafaat edisi ke-101 di Sabtu malam (14/8) yang lalu menanggapi fenomena filsuf muda ini dengan mengurai tiga tipologi manusia, sebagai berikut:
“Si A sebenarnya nggak jelas manusia apa, perannya apa, tetapi dia tertolong oleh nasib baik, jadi seolah-olah masyarakat mempersepsikan dia orang yang berhasil,” ujar Febri.
“Padahal objektifnya, dia manusia yang belum jelas kontribusinya,” terangnya.
“Lalu ada orang yang karakternya kuat. Akan tetapi nasibnya buruk. Sehingga dipersepsikan masyarakat sebagai orang yang gagal,” lanjutnya.
Tetapi ada juga tipologi ketiga menurutnya, “Orang yang karakternya bagus, passion-nya jelas, fadhilah yang Allah berikan padanya jelas dan dia berhasil mengatasi pertarungan yang keras di dunia atas nasib. Nasib ada di bawahnya.”
Autokritik, Sebuah Proses yang Looping Terus-Menerus
Pada Majelis Ilmu Juguran Syafaat malam hari itu yang mengangkat tema “Pil Pahit Autokritik” diskusi berlangsung gayeng dan renyah. Melalui Zoom Forum, masing-masing penggiat berbagi sudut pandang dari proses menstrukturkan pengalaman masing-masing. Kak Kasito amat bersemangat menyampaikan perkembangan komunitas Jagad Bocah yang ia asuh. Kini yang terbaru ada derivasi kegiatan yakni Jagad Rahayu yang berkegiatan di dunia UMKM, dan ada juga Jagad Tani.
Mengambil dari Mukadimah, Saya ikut urun pantikan diskusi dengan menyampaikan bahwasanya kalau mendengar autokritik itu jangan langsung pikirannya adalah penghakiman diri sendiri, menyayat-nyayat jiwa dengan silet rasa bersalah. Bagaimana kalau kita mencoba membuka kemungkinan pemahaman bahwa autokritik adalah sebuah proses appreciative learning.
Ya, appreciative learning tidak melulu artinya kita memberikan self-reward. Itu lazim-lazim saja pada usia kanak-kanak. Pada orang yang jiwanya mendewasa, meneliti hal-hal yang perlu evaluasi di dalam diri, dan mendapatkan poin-poin evaluasi diri, bukankah itu sebuah reward juga? Tidak saya sampaikan di forum kemaren, tetapi saya ungkapkan di tulisan ini analogi mengorek mulut sesudah makan dengan tusuk gigi, ketika mendapatkan kotoran sisa makanan di gigi, bukankah kita feeling good? Bukankah itu juga bentuk appreciative inquiry?
Supaya terlihat berdinamika, Bung Febri merespons pantikan saya dengan memberikan sebuah disclaimer untuk autokritik. Iya, autokritik adalah hal yang bagus dilakukan, katanya. Akan tetapi, proses autokritik baru bisa efektif ketika dikerjakan oleh orang yang sudah bertemu dengan passion atau fadhilah dirinya. Ia sudah menemukan koordinat diri yang tepat pada peran hidupnya. Kalau koordinat yang tepat belum didapatkan, ya kemungkinannya hanya dua, dia akan menyalahkan orang lain atau mengalami guilty feeling.
“Tetapi sepemahaman saya, orang yang menemukan koordinat dirinya itu tidak banyak,” ujarnya. “Berpikir tentang Corona saja gagal, apalagi berpikir tentang Allah dan bagaimana menemukan maksud Allah dan peran yang dititipkan di dalam diri,” tandasnya.
“Tetapi Bung Febri,” kali ini Bang Fikry giliran unmute untuk ikut memberikan perspektif, “Sesuatu yang saya rasa amat wagu jika mengatakan ‘saya sudah menemuaan koordinat diri’. Namun, yang ada adalah orang lain yang memberikan apresiasi, ‘dia sudah menemukan kordinat dirinya’. Misalnya, kita melihat Mbah Nun sudah selesai menemukan dirinya. Tetapi Mbah Nun melihat diri sendiri pasti mempunyai ukuran-ukuran sendiri yang sangat mungkin berbeda dengan ukuran pandang orang lain. Kalau Mbah Nun merasa sudah selesai, berarti Beliau berhenti belajar. Sementara hal itu tidak terjadi, justru Beliau yang paling sungguh-sungguh belajarnya dibandingkan kita semua.”
Bang Fikry mengurai bahwa autokritik adalah sebuah proses yang looping. Muter terus itu dan di dalam putaran itu ada dua roda gigi, yakni mengapresiasi diri dan guilty feeling. Dua hal yang berkebalikan itu silih berganti saat mengamati hal-hal yang harus dikritisi di dalam diri. Dari proses looping terus itulah kemudian perbaikan diri memungkinkan untuk terjadi.
Jadi, tahap-tahapnya adalah seseorang mulai dari menemukan koordinat peran diri, lalu mengerjakan apresiasi diri, lalu melakukan evaluasi perbaikan diri. Begitu bukan? Uncle Hirdan mencoba mengkonfirmasi.
Membuat Target Pendek yang Terukur
Saya dan Bang Fikry sependapat bahwa penemuan atas koordinat diri yang tepat adalah sebuah peran yang dinamis. Bisa saja tahun ini kita berdiri pada sebuah koordinat, tahun mendatang berpindah atau bertumbuh. Jadi, tidak usah berdebat sudah atau belum menemukan koordinat peran diri yang paling tepat. Sedangkan Uncle Hirdan dan Bung Febri berpendapat berbeda, pastikan menemukan alamat identitas dan personalitas diri dengan tepat baru kemudian mengerjakan autokritik yang memberdayakan.
Yang kemudian menjadi PR bersama, mengapa proses mengenali diri sendiri, merumuskan personalitas dan identitas, passion atau fadhilah begitu menjadi tantangan yang berat. Sudah dari beberapa tahun yang lalu Maiyahan menggulirkan tema menemukan fadhilah diri, tetapi kita belum lulus pada proses menemukannya.
Maka tips operatif yang saya tawarkan adalah, bagaimana kalau yang penting sekarang ini kita terus melaju ke depan sebagai seorang pembelajar. Daripada kita pusing dengan klaim sudah menemukan atau belum menemukan koordinat paling tepat bagi diri, tetapi kita bergerak sambil membuat target-target jangka pendek yang lebih mudah diukur.
Jangan-jangan dengan mengerjakan itu, membuat ukuran-ukuran ketercapaian yang sederhana, eh, tahu-tahu kita sudah tergolong jadi orang yang sudah menemukan fadhilah diri. Atau sudah berada pada koordinat peran diri yang paling tepat.
Di Juguran Syafaat kita tidak sedang mencari rumusan yang paling presisi. Meskipun digelar dalam format online, bukan juga sedang membuat podcast inspirasi. Semata-mata ini adalah ruang silaturahmi dan berbagi peran dalam rangka membangkitkan swarm intelegent alias kecerdasan kolektif.
Manifestasi kecerdasan kolektif tentu saja bermacam-macam. Yang paling sederhana adalah, dengan kesediaan menuangkan pengalaman keseharian yang dilalui ke dalam diskusi maka akan terhimpun perspektif-perspektif dari titik pandang berdiri yang berbeda satu sama lain. Dari ragam perspektif tersebut maka ruang yang luas dan lega yang dibutuhkan bagi lahirnya insight-insight yang relate dengan kebutuhan masing-masing dari yang terlibat pun kemudian tercipta.