Kanjeng Nabi Muhammad dalam Potret Pengetahuan Modern
Sifat fathanah merupakan kecerdasan hidup. Dalam konsep Jawa disebut lantip. Fathanah inilah puncak dari Maiyah
“Di era modern itu yang disebut orang pintar itu apa saja kriterianya? Kanjeng Nabi Muhammad itu pribadi yang bagaimana kalau menurut terminologi atau konsepsi modern tersebut?”, pertanyaan dilontarkan kepada Jamaah. Jawaban demi jawaban terucap. Dari taktis-strategis, jenius, hingga futuristis. Menunjukkan betapa Kanjeng Nabi Muhammad adalah individu yang multidimensional. Penyebutan ini setidaknya menurut istilah orang sekarang.
Mocopat Syafaat (11/03) malam itu, sebagaimana diwedarkan Cak Nun, berupaya menapaktilasi rekam jejak Kanjeng Nabi. Sebelum jajak pendapat, beliau mengajak jamaah untuk menelusuri kedudukan orang pintar, apa kriterianya, istilah macam apa yang menandai sosok tersebut.
“Kalau di desa wong pinter itu cenderung pada nambani dan lain sebagainya. Kalau bagi orang modern, orang pintar itu seperti apa? Yang analitis atau bagimana?” ungkap Cak Nun. Salah seorang jamaah menanggapi. Orang pintar sekarang diasosiasikan pada literasi. Lalu dipersempit menjadi membaca buku.
“Tapi di pesantren ada ilmu laduni. Tanpa baca udah tahu,” katanya. Laduni ini sering disebut sebagai ilmu yang langsung bersumber dari Tuhan. Ia menjadi penanda keistimewaan bagi orang-orang tertentu. Tak mengherankan kalau bagi sebagian lain dianggap wilayah gaib.
Ilmu laduni itu memang berasal dari istilah bahasa Arab. Cak Nun menyebut “min laduni” yang menurut beliau artinya adalah “dari haribaan-Ku”—sesuatu dari Allah langsung, tapi ketika berkaitan dengan ilmu akhirnya sedikit bergeser menjadi ada istilah ‘ilmu laduni’ sebagaimana luas dikenal di dunia pesantren di Nusantara. Ada pergeseran istilah dan praktik budaya di sekitarnya.
Kasusnya mirip istilah tasbih. Belakangan malah menjadi bermakna bendawi: untaian butir manik-manik. Padahal, lanjut Cak Nun, tasbih itu artinya kegiatan memahasucikan Allah.
Bagi perspektif modern, Kanjeng Nabi itu begitu lengkap dan substansial. “Rasulullah itu sangat modern tanpa berpenampilan modern,” tandas Cak Nun. Bajunya sederhana. Hanya tiga potong. Namun, jangan dikira memakai baju koko. Seperti dipakai orang sekarang dan diklaim baju islami.
Akal Sehat, Sehat Akal
Pak Tanto Mendut yang hadir malam itu mengelaborasi berdasarkan periode tahun. Kata pintar sendiri diidentikkan sebagai intelektual. Seseorang yang memiliki common sense atau akal sehat. “Tapi itu zaman 70-an ketika era Cak Nun dan saya di media-media. Banyak istilah-istilah itu. Kalau sekarang intinya cuma Google,” ujarnya.
Paparan pimpinan Komunitas Lima Gunung itu bernada kritik kepada kecenderungan banyak orang sekarang. Ia bilang kalau literasi di era ini hanya urusan banyak-banyakan ngomong. “Dari urusan set, semut, trus pindah ke Gusti Allah. Tapi kan akhirnya di rumah aja,” imbuhnya.
Pihak yang mendaku diri sebagai intelektual di kampus dinilainya sekadar mengobral proposal. Turun ke dusun hanya untuk menawarkan program. Itu pun kalkulasinya hanya administratif. Saking berperangai begitu, orang intelektual juga gemar membuat dikotomi.
Di dunia musik kasus itu terlihat gamblang. Ada musik modern dan tradisional. “Baru dua hari lalu ada peringatan hari musik. Para akademisi itu mosok bilang saung bambu, gamelan, dan lain-lain itu tradisionil. Yang dianggap modern musik yang pokoknya menurut Jakarta. Lalu hari musik dianggap berkait sama presiden. Dan musik akhirnya jadi bisnis digital,” paparnya.
Orang intelek memang dianggap Pak Tanto pintar. Tapi ada satu catatan. Sejauh keseniannya dipakai untuk mencari untung atau keuntungan, maka menurutnya akan membuat kualitas karyanya rendah.
Ketika Pak Tanto menyenggol masalah intelektualitas dan akal sehat, Cak Nun memberikan satu umpan pertanyaan kritis. “Apakah akal itu menentukan jiwa atau tidak? Sakit akal dan sakit jiwa itu apakah berbeda?”
Bagi Cak Nun, akal merupakan infrastruktur kejiwaan seseorang. Pandangan ini segera mendapatkan gayung bersambut dari Pakde Herman. Menurut sesepuh Maiyah yang berdomisili di Solo ini jika jiwanya sakit maka seseorang tak dapat berpikir secara akal. Jadi, akal dan jiwa harus berjalan seimbang.
Kelengkapan akal dan jiwa Kanjeng Nabi sendiri dicitrakan lewat sejumlah sifat. Cak Nun menyebut shiddiq yang diartikannya bermakna sungguh-sungguh. Bukan kejujuran seperti halnya dipahami sebagian besar orang. “Padahal itu output dari kesungguhan. Baru berikutnya amanah. Jelas, kalau tidak shiddiq ya tidak amanah.”
Jika sudah melakoni shiddiq dan amanah sudah otomatis memilih yang baik sehingga tabligh dan fathanah. Sifat fathanah merupakan kecerdasan hidup atau dalam konsep Jawa disebut lantip. “Fathanah inilah puncak dari Maiyah,” ujarnya.
Menimbang Sebelum Bertindak
Berbagai sifat Kanjeng Nabi itu merupakan bekal besar untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Sayangnya kenyataan di lapangan jauh panggang dari api. Orang jarang memakai pertimbangan akal sehat dan kedewasaan. Tanpa itu perilaku cenderung serampangan. Pada aras tertentu mengakibatkan kehancuran.
Mas Ghofur, penggiat Mafaza, menyodorkan analogi menarik. Orang sekarang tak lagi melakukan sesuatu berdasarkan pertimbangan matang. Membedakan antara butuh dan ingin saja acap kabur. Sebagai contoh, terlihat kontras di ranah pertanian, terutama kedudukan pestisida dan pupuk.
Meskipun tak dibutuhkan petani karena cenderung merusak, industri pertanian tetap mengkampanyekan produk tertentu. Semata-mata karena peluang pasar, bukan ekosistem pertanian yang sehat dan prima.
Di masyarakat desa sendiri bahkan ada eksperimentasi menarik. Pak Tanto menceritakan kalau penduduk di desanya malah menggunakan autan. “Konsep sendirinya orang desa itu lalu dipakai untuk penyemprotan. Eksperimen biar agak ilmiah,” tuturnya seraya terkekeh.
Menutup diskusi Mocopat Syafaat, Cak Nun berpendapat bahwa pertimbangan matang akan melahirkan tindakan dewasa. Keputusan melakukan sesuatu seyogianya tak didasarkan atas pertimbangan parsial tapi universal. Selain belajar bersikap serta berpikir jangkep dengan meneladani sifat Kanjeng Nabi, diperlukan pula mempelajari dimensi ummi yang selama ini dipahami jamak orang.
Namun, bukan dalam pengertian umum.“Bukan nabi yang buta huruf tapi nabi yang bersikap awam atau biasa,” pungas Cak Nun.