CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (39)

Kampung-Kampung yang Ajaib, Tiga

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 14 menit

Sesampai di luar Keraton, waktu itu, Heryus kembali ke hotel, saya pulang ke Gedongkuning naik becak. Paginya, saya berpakaian rapi, dengan bersepatu membawa tustel sederhana dan ID Card meliput Jumenengan. Mewawancarai bekas mahasiswi UGM era Pagelaran yang sudah jadi orang media, ikut pesta makan enak, mengambil souvenir Jumenengan di Bangsal Trajumas, mengambil buku pelaksanaan Jumenengan. Saya pulang dengan tas penuh oleh-oleh, termasuk bahan berita yang akan saya tulis untuk mengisi ‘mingguan’ Masa Kini. Waktu itu, wartawan dan redaksi Masa Kini tidak digaji, mendapat fasilitas makan malam berupa nasi bungkus. Nasi bungkus ini, saya tambah dengan membeli nasi bungkus di warung angkringan saya bawa pulang untuk makan malam keluarga. Saat bulan puasa tiba kami berpuasa seadanya. Saya kadang minta bantuan ibu menjualkan baju batik bagus ke pasar Kotagede dan uangnya dibelikan beras dan tempe.

Untung ada redaksi yang punya ide menerbitkan Masa Kini edisi Lebaran. Dengan berbekal surat mencari iklan, kami bergerak mencari iklan kepada kolega dengan contoh terbitan mingguan kami dengan mengatakan bahwa kami masih hidup. Banyak pembaca Masa Kini yang setia terharu dan memasang iklan. Uang dari hasil iklan sebagian diberikan kepada pencari iklan dan sebagian dikumpulkan untuk membeli roti, sirup, gula, dan teh untuk diberikan kepada karyawan yang masih bertahan, sebagai Paket Lebaran. Pulang dari kantor redaksi darurat di rumah Mbak Heni Gedongkuning pinggir jalan membawa tas berisi Paket Lebaran sederhana itu saya bahagia sekali. Apalagi, PWI juga membagi Paket Lebaran untuk wartawan anggota PWI. Ditambah komisi iklan yang bisa mengisi dompet keluarga. Kami menikmati semua itu dengan penuh rasa syukur. Hari-hari Lebaran tidak sepi banget. Masih ada sesuatu yang bisa untuk hiburan. Bisa mengajak anak istri main dan berbelanja di Alun-alun Sewandanan Pakualaman, bersilaturahmi ke mertua Kauman Pakualaman, bude pakde Surengjuritan dan bersilaturahmi Mbah Keparakan.

Kami bisa bertahan menerbitkan mingguan sambil pimpinan mencari investor baru. Waktu itu ada teman redaksi yang selalu meneriakkan ayat dalam surat Alam Nasrah. Fainna ma’al ‘usri yusro, inna ma’al ‘usri yusro. Di balik kesulitan ini sungguh ada dan selalu bersama kemudahan. Kemudahan individual saya temukan dengan terpilihnya puisi tentang Pasar Sentul sebagai juara pertama dan hadiahnya lumayan sebagai penyambung hidup. Sebab selama berjibaku menerbitkan mingguan dengan imbalan nasi bungkus ini anehnya kalau saya menulis di koran lain jarang dimuat. Akhirnya saya nekad melakukan perjalanan ruhani dan jasmani, berjalan kaki dari Gedongkuning ke tempat kos Indra Tranggono di pinggir Selokan Mataram di utara sana. Waktu itu Indra belum menikah dan masih bertapa di sebuah rumah di pinggir Selokan Mataram bersama Lephen. Saudara Puntung Pujadi yang mulai berkibar sebagai sutradara film, mengontrak rumah di dekatnya. Saya nekad berjalan kaki karena memang tidak punya uang untuk ongkos naik bus kota. Saya ingat, di waktu muda saya adalah anggota grup pecinta alam dan biasa jalan kaki atau hiking menempuh jarak puluhan kilometer. Dan ketika berjalan kaki, muncul banyak puisi di kepala. Kalimat-kalimat itu terus saya ingat sambil berjalan kaki. Dan pulangnya dari pinggir Selokan Mataram ini saya dibantu uang ongkos naik bus, yang anehnya selama naik bus kota pulang ke rumah ini pak kondektur tidak mendekati saya dan tidak minta uang ongkos naik bus kota. Selamatlah uang itu sampai rumah. Kenakalan saya tidak membayar ongkos bus kota ini sebuah keberuntungan atau malah kutukan?

Zaman itu memang zaman penuh kelucuan. Saya mendapat undangan workshop wartawan di Surabaya, ketemu dengan Surya Aka wartawan Jawa Pos yang Berjaya, sebelumnya adalah teman wartawan di harian Masa Kini. Sehabis workshop, mendapat uang saku, saya menginap di rumah Surya Aka, diajak putar-putar Surabaya, membeli boneka Bebek Donald dan pistol mainan untuk anak, kemudian saya diantar pulang ke terminal bus Surabaya. Lucunya, uang saku workshop PWI di Surabaya ini saya bawa pulang, dan oleh istri direncanakan akan dipergunakan untuk melunasi utang ke Bude. Saya dan istri dan dua anak naik bus Kopata menuju rumah Bude. Waktu turun dari bus dan akan menuju rumah Bude, uangnya ternyata amblas dicopet orang. Waktu naik bus kota itu kami memang repot sakli. Saya menggenong anak kedua dan istri bersama anak pertama. Kami terlalu memperhatikan keselamatan anak sampai lupa keselamatan uang untuk melunasi utang. Ungkapan dalam Bahasa Jawa, belum rezekinya. Ada ayat Al-Qur’an yang bisa untuk memulihkan motivasi. Inna ma’al ‘usri yusro, bisik saya kepada istri. Kasus uang hilang dicopet ini terjadi sebelum saya memenangkan lomba penulisan puisi. Utang ke Bude pun kemudian bisa dilunasi dengan sebagian hadiah dari juara lomba itu.

Yogyakarta, 2 Oktober 2021.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Belajar Upaya Sehat dari Tetangga

Belajar Upaya Sehat dari Tetangga

Pada akhir September 2019, saya diundang ke Philipina untuk menghadiri pertemuan regional tentang kerjasama dokter ahli kanker anak.

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
dr. Eddot
“M” FRUSTRASI Setengah Abad Kemudian

“M” FRUSTRASI
Setengah Abad Kemudian

Ternyata judul “M Frustrasi” diam-diam merupakan ramalan atas nasib saya sendiri. Hari-hari sekarang ini adalah puncak frustrasi yang saya alami di senjahari usia 69 tahun saya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version