CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (39)

Kampung-Kampung yang Ajaib, Tiga

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 14 menit

Kembali ke Gunungketur yang jaraknya dekat dengan rumah mertua di kauman Pakualaman, dengan saudara istri di utara Kauman Pakualaman, dengan kantor Harian Masa Kini di Jl. Kolonel Sugiyono Tungkak relatif dekat. Dengan Kotagede, tempat ibu dan saudara saya tinggal juga tidak begitu jauh. Apalagi dengan Pasar Sentul, tidak lebih dari tiga ratus meter. Kalau dengan gudeg Permata, sama dekatnya dengan rumah mertua yang berada di belakang bioskop itu. Ketika tinggal di Gunungketur ini saya sering melakukan pengamatan atau survei kecil-kecilan di Pasar Sentul. Ditambah data yang saya kumpulkan di tahun-tahun sebelumnya, saya pun bisa menulis puisi yang monumental bagi saya, berjudul Kesaksian Pasar Sentul yang mendapat penghargaan sebagai juara pertama Lomba Penulisan Puisi yang diadakan oleh Taman Budaya Purna Budaya Yogyakarta. Jadi tinggal di dekat Pasar Sentul ada gunanya. Saya juga sering ingat, di belakang pasar ini, dulu saya sering menemui Mas Suwarno Pragolapati, sebelum dia pindah di Suryaputran dan menetap di Minggiran.

Boleh dikata Gunungketur adalah surga kuliner. Dari rumah saya bisa menjangkau empat penjual gudeg lengkap dengan sambal kreceknya. Pertama, penjual gudeg di seberang percetakan Asco yang lezat dan tidak begitu mahal. Di barat Asco, juga ada penjual nasi rames, termasuk gudeg yang populer dan mendatangkan pembeli yang sangat banyak. Tempatnya, sekarang di depan sebuah ruko yang agak besar dan panjang. Di seberang Pasar Sentul juga ada penjual gudeg yang buka malam hari. Kalau pagi, di barat pasar Sentul ada penjual gudeg rasa Yogya. Jadi kalau ditambah dengan gudeg Yu Mul Permata di sekitar pasar Sentul ada lima penjual gudeg. Semua sudah pernah kami cicipi lezatnya.

Selain itu kampung Gunungketur juga merupakan wilayah edar soto ayam kuning yang harum karena rempah kunyit. Untuk soto kuning ini lentuk dan sate ayamnya juga berwarna kuning. Soto ini dipikul, belum musim soto didorong pakai gerobag dorong. Saya sekeluarga sering sering membeli soto ayam kuning yang sekarang langka atau malah punah sama sekali. Dan lagi, di jalan dari arah Pasar Sentul ke utara, di timur jalan ada penjual makanan kuno. Yaitu getuk pisang yang disebut tetel, lengkap dengan otek, cantel, dan ketan hitam dan ketan putih juruh. Makanan antik ini baru puluhan tahun kemudian saya temukan lagi di Pasar Patangpuluhan, di bagian dalam. Dari penjual makanan klasik ini, terus ke utara, di dekat pengkolan dulu ada toko serba ada barang bekas tapi masih bagus bernama toko M Dauri. Demikian bunyi iklan di koran yang selalu dicari anak-anak dan dihafalkan oleh anak-anak. Iklan unik seperti ini juga disukai anak-anak, seperti iklan stensil Sahabat di belakang timur kantor PP Muhammadiyah, milik orang tua Joni anggota Tetaer KaHaAa yang didirikan oleh Adil Amrullah dan teman-temannya sesama aktivis IPM Yogyakarta. Lucunya, di dekat M Dauri toko serba ada barang bekas ini ada papan nama Insani, dan di dekatnya ada tempat praktik dokter yang memahami seluk-beluk pengobatan alternatif. Iklan unik lain zaman itu, iklan yang disukai anak-anak adalah iklan rumh makan Padang tertua di kota Yogyakarta, berada di kompleks pertokoan selatan Pasar Beringharjo. Nama masakan Padang yang unik-unik seperti kalio ati dipajang di iklan itu.

Ketika masa kontrak rumah di Gunungketur habis, saya kembali ke Gedongkuning. Masa kontrak kedua. Waktu itu kantor harian Masa Kini pindah dari Jl. Kolonel Sugiyono ke Kotabaru, Jalan Suroto. Harian ini berjaya karena ada pasokan modal dari Jember. Mirip dengan obor blarak, nyala terang harian ini hanya sebentar. Sebab mirip dengan roket yang sudah melejit menerjang garis atmosfer, tiba-tiba kehabisan bahan bakar, lalu terjun bebas ke lautan nasib. Pesangon diberikan kepada karyawan dan dikirim serta tercatat di rekening Bank Duta, uangnya cepat-cepat diambil mendekati habis begitu ada kabar kalau Bank ini juga akan tutup. Dengan uang pesangon itu kami hidup.

Untuk menjaga nafas SIUPP agar tidak dibekukan, karyawan berjibaku menerbitkan koran ini setiap minggu. Pada saat itu ada Jumenengan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Walau korannya pingsan, saya masih berani meliput dan bertemu teman lama sesama aktivis Kelompok Poci Bulungan dan GRJS Bulungan, seorang wartawan foto Femina, Heryus Saputra. Saya dengan dia masuk wilayah dalam Keraton untuk mencari bahan liputan. Di dalam Keraton ketemu dengan Bu Suliantoro Sulaiman. Kami membujuk abdi dalam Keraton untuk menjelajahi pedalaman Keraton, termasuk ke depan Gedung Pusaka yang wingit dan ruang-ruang berbau mistis lainnya. Yang tidak kami masuki hanya Ndalem Kaputren. Kami tidak berani. Yang kami berani masuki adalah Ndalem Ksatrian, di situ kami temukan bedug Masjid Besar Kauman yang konon dulu dikembalikan oleh orang Kauman. Malam hari. Bayangkan. Hampir tengah malam saya dan Heryus pamit dengan Bu Suliantoro Sulaiman untuk pulang. Dikawal abdi dalem yang mengetahui lika-liku jalan serta password di dalam Keraton, kami pun selamat sampai ke luar Keraton. O ya, waktu menjelang Jumenengan ini saya bertemu dengan Pak Atmakusumah, penulis buku Tahta untuk Rakyat. Beliau sempat saya antar ke Kantor PWI Cabang Yogyakarta yang letaknya di selatan Gedung Kesenian Senisono, bersebelahaan dengan Kantor Departemen Penerangan Yogyakara. Setelah itu saya lebih banyak ubyang- ubyung dengan wartawan foto Femina itu.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Aldi dan Keluarganya yang Tangguh (1)

Aldi dan Keluarganya yang Tangguh (1)

Di antara para pasien yang akan saya tulis dalam seri Belajar Kepada Pasien, kok ternyata nama Aldi paling dominan muncul di benak saya.

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
dr. Eddot
Exit mobile version