Kampung-Kampung yang Ajaib, Tiga
Yang ajaib banget, ketika saya kontrak di kampung Gunungketur ini saya kedatangan tamu yang unik. Pertama, Mas Darmanto Jatman dan istrinya yang minta tolong kepada saya untuk mengurusi tulisan lepas dia agar layak dijadikan buku lewat editing ketat. Istri Mas Drmanto dulu kos di sini dan masih kenal dengan warga kampung. Waktu itu masih calon istri, dan Mas Darmanto saya bayangkan penuh semangat mengapeli pacarnya di kampung ini. Ketika saya desak tentang hal ini, Mas Darmanto cuma mesam-mesem saja. “Yang penting naskah ini segera jadi buku dan diterbitkan Bentang,” katanya.
Tamu kedua yang datang ke rumah kontrakan saya di Gunungketur adalah seorang sarjana sastra atau peneliti sastra dari Swedia yang ingin menerjemahkan cerpen saya ke dalam Bahasa Swedia dan diterbtikan di sana. Tentu saja saya mempersilakan cepen berjudul Api Meliuk di Batu Apung itu dia terjemahkan. Ternyata beberapa tahun kemudian, agak lama, setelah saya bekerja di Suara Muhammadiyah orang Swedia ini muncul kembali dan memberikan uang honor atau royalti penerbitan naskah cerpen ini, dengan menandatangani perjanjian tertentu.
Tamu ketiga adalah Mas Uki Bayu Sejati. Teman lama, ketika saya aktif di Kelompok Poci Bulungan dan di Gelanggng Remaja Jakarta Selatan Bulungan ini masih terus nyambung silaturahminya. Saya dengan mudah minta tolong ke dia kalau ada kebutuhan liputan. Misalnya waktu penerbit Bentang Budaya mau menerbitkan kisah pengalaman naik haji para tokoh. Mas Uki saya mintai tolong untuk mewawancarai para tokoh Jakakarta seperti Mas Taufiq Ismail dan lainnya, dengan standar honor per narasumber berapa gitu. Saya sendiri mewancarai narasumber di Bandung, Dr. Ahmad Nukman dan KH. Miftah Faridl, dan ketua umum PERSIS. Honor dan uang transport cukup untuk membiayai keluarga liburan di Bandung. Ketika anak istri tinggal dan menginap di rumah Bulik dilanjut jalan-jalan di kota Bandung, saya sendiri mengelilingi Bandung untuk bertemu dengan beliau-beliau.
Wawancara dengan narasumbr para tokoh nasional tentang pengalaman yang unik naik haji berhasil. Hasilnya diterbitkan menjadi buku berjudul, Haji Sebuah Perjalanan Air Mata, mengambil dari judul wawancara dengan Mas Taufiq Ismail. Saya mengucapkan terima kasih kepada Mas Uki dan mengirim honornya. Kemudian hari, suatu waktu, Mas Uki Bayu Sejati muncul di Yogyakarta, dia bekerja sebagai wartawan Majalah Amanah. Dia datang ke Gunungketur, rumah kontrakan saya dan minta dihubungkan dengan narasumber yang ahli dalam hal ilmu beladiri tenaga dalam. Karena Ketua Umum IBETADO (Ikatan Beladiri Tenaga Dalam Indonesia) adalah Pak Daliso Rudianto, maka Mas Uki saya ajak mengunjungi rumah Pak Daliso, waktu itu di Beji. Kami berdua diterima di teras rumahnya, dan Mas Uki bisa wawancara dengan tuntas tentang tenaga dalam. Malah kami diberi bonus pengetahuan tentang hal yang gaib-gaib yang berlangsung di Yogyakarta. Atas rekomendasi Pak Daliso, Mas Uki dan saya pun meluncur ke Warungboto, menemui Mbah Sis, pendekar sepuh dari perguruan Walisanga. Sebenarnya yang dulu terkenal di Warungnboto, setahu saya adalah perguruan Garuda Sakti yang menghasilkan anak-anak Kokam tahun 1960-an.
Mbah Sis menjelaskan panjang lebar tentang tenaga dalam. Dan untuk menunjukkan kalau tenaga dalam itu ada dan bisa berfungsi melindungi tubuh, Mbah Sis mendemontrasikan kesaktiannya dengan meletakkan rokok menyala ke tangannya. Dia gerak-gerakkan rokok menyala di lengannya, dan tangan Mbah Sis tidak terbakar. Mas Uki dan saya kagum melihat adegan itu. Di kemudian hari ketika saya kontrak rumah di Warungboto, saya ketemu lagi dengan Mbah Sis di kantor DPC PPP Kota Yogyakarta yang malamnya diserbu oleh tigapuluh satgas bersenjata dari sebuah kelompok politik. Serbuan satgas ini dihadapi Mbah Sis sendirian. Dengan tangan kosong dia menangkis sabetan senjata tajam dari berbagai penjuru dan Mbah Sis tidak terluka. Ketika saya tanya kenapa Mbah Sis tidak membalas mereka? Jawabnya, dia merasa kasihan kepada penyeranganya. Sebab mereka dia saksikan dengan mata batinnya, semua kajiman atau dirasuki jin. Mungkin penyerbu itu memakai jimat atau ilmu hitam dan tidak percaya diri kalau hanya mengandalkan senjata tajam di genggamannya. Setelah dihujani bacokan dan tusukan, Mbah Sis tidak roboh, semua serangan mental, maka perusuh itu kemudian meninggalkan Mbah Sis yang masih tetap waspada. Mereka memecahkan kaca merusak benda-benda yang bisa mereka rusak.
Saya berada di kantor PPP itu bersama istri karena mendengar kabar kalau kantor itu diserang oleh gerombolan. Kang Abdul Muhaimin yang waktu itu masih aktivis PPP juga datang, dan mewawancarai Mbah Sis. Ini merupakan penyerbuan ke kantor PPP yang kedua. Pada penyerbuan yang pertama, yang diserbu adalah kantor DPW yang berada di Badran. Seorang aktivis PPP, Agung Syahida, yang waktu itu berada di dalam kantor dikeroyok dan dianiaya sampai meninggal dengan luka arang kranjang. Seorang wanita bisa menyelamatkan diri karena sembunyi di tempat tandon air. Dalam kasus gugurnya Agung Syahida ini Yogyakarta kontan bergolak, massa dan stagas PPP mengamuk merusak gambar golongan politik itu. Tentara kabarnya meredam aksi satgas ini dengan menembakkan peluru tajam ke arah Satgas, tetapi kena batunya. Semua satgas yang mengamuk ini kebal peluru sehingga tentara pun kemudan hanya mengawasi ungkapan kemarahan satgas. Sedang dalam kasus perusakan kantor PPP Kota Yogya di Warungboto, pihak PPP melancarkan protes sambil menahan diri agar massa dan satgas bersabar tidak melakukan balas dendam. Sebagai wartawan, saya membuat berita tentang ini tetapi saya lupa apakah berita itu dimuat di koran.