Kampung-Kampung yang Ajaib, Tiga
Gunungketur adalah nama kampung sekaligus nama Kelurahan di Kecamatan Pakualaman. Saya pernah mengontrak rumah beberapa lama di kampung ini. Saya betul-betul tidak menyangka kalau di pedalaman kota Yogyakarta ini ada kampung yang suasana budayanya lebih kuno dari Kotagede tahun 1960-an dan 1970-an. Banyak yang ajaib di sini. Waktu malam Pitulasan, kegiatan tirakat dilengkapi dengan kirab keliling kampung, diikuti warga dengan khusyuk. Lorong kampung tidak sepenuhnya terang. Banyak yang remang-remang. Bangunan rumah lama, sebuah Ndalem yang kurang terpelihara, lorong sempit tempat bersembunyi hantu, kebun kosong, makam kuno yang jin penghuninya pernah menggoda penjual bakmi, dan cara orang ngomong serta membuat narasi kampungnya begitu Jawa. Lokasi yang dilewati rombongan kirab ini sering saya lewati waktu meronda mengambil jimpitan. Warga asli kampung yang menemani saya tidak memberi tahu banyak tempat yang wingit, saya hanya merasa saja. Dengan menggunakan ilmu deteksi dari Ayah saya bisa merasakan di mana spot berhantu, lokasi mengandung energi atau aura magis kuat dan sebagainya. Ketika ini saya tanyakan kepada warga asli yang menemani saya, mereka tertawa, mengiyakan dan bilang kalau sebenarnya mereka menguji saya. Asem kecut kok. Saya kok diuji hal semacam ini, ya tidak takut. Cuma kadang gemetar juga karena saya memang tidak bisa melihat makhluk halus, hanya merasakan keberadaan mereka.
Saya kemudian tahu, rumah yang saya kontrak, dekat dengan makam kuno di tengah kampung ternyata ada penghuninya. Saya tidak tahu siapa mereka. Kadang kehadiran mereka menggangu, misalnya mengunci pintu yang kalau sudah mereka kunci tidak bisa dibuka dari luar. Klek. Berbunyi pada jam tertentu. Lalu ada yang suka tidur di depan televisi, atau jin ini malah nonton televisi. Siapa pun tidak boleh duduk atau tiduran di depan televisi. Ketika ada saudara datang menginap dan lupa diberitahu hal ini, dia tertidur di depan televisi, dan lokasi tidurnya dipindah. Kadang mereka, makhluk tidak kelihatan ini, lucu menggemaskan juga. Suka menggoyang-goyang tempat tidur kalau dipakai tidur, suka nongkrong di atas almari dan bercanda dengan anak-anak. Kalau malam hari saya menimba air, suka nggandul di timba, terasa berat sekali. Baru setelah ditegur mereka atau dia meloncat dari timba, menceburkan diri ke air dengan bunyi keras.
Di depan rumah ada pohon belimbing yang berbuah lebat, rimbun daunnya. Adik isteri saya kalau ada waktu suka mengumpulkan anak-anak kampung untuk diajar mengaji dan bernyanyi-nyanti di bawah pohon belimbing. Semacam TPA. Meriah, mereka juga didongengkan kisah Nabi-nabi. Kegiatan iseng ini ternyata dipandang serius oleh pihak lain. Tiba-tiba suatu sore melintas seorang pastur berkulit putih naik sepeda keliling kampung. Mungkin ada yang melapor ke dia bahwa ada kegiatan semacam TPA ini dan menarik minat banyak anak kampung. Setelah orang kulit putih bersepeda itu lewat, anak-anak kampung dilarang oleh orangtuanya datang ke bawah pohon belimbing tempat lagu Ilir-ilir itu, karena akan dimasukkan ke sekolah Minggu. Sebagai orang yang pernah kuliah di fakultas Ilmu Agama jurusan Dakwah, tahulah apa yang terjadi di kampung ini. Saya jadi ingat tulisan Snouck Hurgronje yang menjelaskan kalau wilayah Pakualaman merupakan lahan yang lebih empuk dan subur kalau mereka pengaruhi. Dari hari ke hari, saya mengamati dan menemukan bukti kalau di kampung ini terjadi banyak warga yang pindah agama. Ada yang lewat perkawinan dengan risiko agama si perempuan yang kalah, ada yang lewat pemberian pekerjaan, ada yang karena adanya konflik politik yang membuat jatuhnya korban. Saya juga ingat ada teman wartawan yang mewawancarai kepala kantor agama yang temannya di organisasi pemuda tahu tentang gejala ini. Kepala kantor itu memberikan data penduduk. Dan sang wartawan dengan lugunya menulis berita yang sempat membut heboh sebentar dengan ending pejabat di kantor agama itu dipindahtugaskan, kalau tidak salah.
Jadi, di tengah suasana damai kampung ternyata ada bara sosial. Untung organisasi wanita Islam kemudian bergerak cepat, menyelenggarakan acara pengajian dan pembinaan umat dan warga. Untuk menyelamatkan iman mereka. Mereka juga bergerak di lingkungan para bangsawan. Kemudian hari banyak keturunan bangsawan malah mewakafkan tanah dan rumah kunonya untuk organisasi dakwah di tempat ini. Satu lokasi dipergunakan untuk sekolah daasr, lokasi yang satunya lagi dipergunakan untuk sekolah menengah pertama. Juga taman kanak-kanak Islam dikembangkan di sini.
Sebagaimana di tempat lain, tahun-tahun itu memang sudah menjadi mode kalau ada warga yang suka main kartu, untuk berjudi atau sekadar mengusir kantuk di malam hari. Saya ingat adegan dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramudya Ananta Toer. Dalam novel itu digambarkan bagaimana tokoh ayah menggerakkan judi kartu di masyarakat sekitarnya sebagai pelarian atas tekanan politik Belanda dan sebagai pilihan mengumpulkan massa diam-diam. Saya juga ingat bagaimana situasi politik yang mencekam dan gaduh di tahun-tahun enam puluhan menjelang tahun 1965, di masyarakat kampung sekitar rumah saya orang-orang Komunis juga menggerakkan judi kartu sebagai cara untuk mengumpulkan massa dan membelah masyarakat. Dalam acara midodareni atau malam hari menjelang ijab kabul sepasang pengantin warga seluruh kampung, bahkan beberapa kampung datang ke sebuah rumah orang kaya. Setelah acara makan-makan dan berdoa selesai, jagoan dari kelompok merah itu memerintahkan anak buahnya untuk mengeluarkan meja-meja bundar ke tengah hadirin. Kartu-kartu kongking dilemparkan ke tengah meja bundar tu. Sanga Jagoan merah itu berteriak kasar dengan nada menantang,” Wis, sing santri mulih! Rasah melu main kertu ndak dosa!”