CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (38)

Kampung-Kampung yang Ajaib, Dua

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 8 menit

Saya betul-betul masih bisa merasakan aura dan hawa desa hadir di kampung ini. Meski letaknya di dalam kota. Pergaulan warga terasa komunal sekali. Saya bisa merasakan itu. Mereka saling bergaul akrab. Ketika saya membantu istri belanja ini itu di warung kelontong, atau di warung nasi, atau di warung bumbu, atau belanja bersama isteri di pasar Gedongkuning lama. Tutur bahasanya njawani sekali, riang dan penuh canda. Lebih-lebih ketika anak saya masuk Taman Kanak-kanak dan pada hari Sabtu biasanya ada kegiatan semacam kirab, berjalan keliling kampung sampai agak jauh. Saya kadang sempat mengikuti kegiatan ini dan menjadi lebih mengenal kampung yang rumahnya belum begitu padat, pekarangan rumah masih ada pohon besarnya, lorong kampung masih berpagar pepohonan.

Kalau pagi saya tidak ada acara mendesak, saya ajak anak sulung saya berjalan-jalan mengelilingi kampung, lewat lorong dengan pagar tanaman subur dan saya mulai mengenalkan nama pohon yang menjadi pagar rumah penduduk. Ada tanaman bunga sepatu, anak saya tanya kok tidak ada bunga sandal ya? Pertanyaan musykil itu tidak bisa saya jawab. Lalu ada pohon jaranan, mlandingan, pohon wregu yang ditakuti ular, pohon kelor, pohon teh-tehan yang ada benalu kuning mirip bakmi, pohon bambu apus, dadap srep, pohon awar-awar, dan sebagainya. Waktu dalam perjalanan pulang, saya uji anak saya dengan menanyakan nama pohon-pohon itu. Akhirnya dia hafal. Ketika melewati lorong yang lain, dia pun bisa menyebutkan pohon-pohon yang dijadikan pagar rumah. Kebiasaan meneliti seperti ini ternyata berkelanjutan pada diri anak saya. Ketika sekolah menengah dan kuliah dia menjadi suka meneliti dan jago membuat laporan penelitian sampai sekarang saat dia bekerja di Museum Nasional Jakarta.

Di halaman sebuah rumah sering ada anak-anak muda berkumpul. Ternyata mereka latihan tenaga dalam. Mereka memasang kuda-kudaa bergerak dengan pola tertentu sambil menarik dan menghembuskan nafas tertentu. Tangan mengembang juga bergerak dengan pola jurus tertentu. Mirip dengan gerakan anak-anak perguruan Pranasakti tetapi bukan. Ini adalah embrio perguruan beladiri tenaga dalam Satria Nusantara yang kemudian membesar dan sempat punya gedung megah di kampung, menyebar ke seluruh Indonesia sebelum kemudian berubah menjadi lembaga seni pernafasan. Jadi selain ada pendekar pencak silat sungguhan yang pernah mengusir pemabuk dari gardu ronda yang kemudian pergi ke luar negeri, ke Jerman mengembangkan pencak silatnya menikah dengan perempuan Jerman, ada pendekar lain yang mengembangkan beladiri tenaga dalam. Saya hanya melihat sekilas-sekilas dan tidak tertarik untuk ikut karena tuntutan pekerjaan membuat saya tdiak sempat memikirkan hal-hal lain di luar berita dan seni budaya.

Dan di kampung ini ada tiga masjid, kemudian menjadi empat masjid. Di selatan jauh, di barat dekat Gembira Loka, di dalam kampung sendiri dan masjid di dekat jalan raya timur kampung yang kemudian menjadi Masjid NU. Kalau pas ada kesempatan shalat Jum’at saya suka bereksperimen shalat di masjid-masjid itu yang suasana keagamaannya memang berbeda-beda. Yang jelas ada suaana mendekati baldatun tyayyibatun wa robbun ghofuur seperti dikabarkan dalam ayat Al-Qur’an. Tentu kalau kegiatan main kartu itu dikurangi, menjadi lebih warobbun ghofur lagi. Meski afiliasi agamanya ada yang cenderung ke Muhammadiyah, karena takmirnya lulusan sekolah Muhammadiyah, ada yang afiliasinya ke NU Krapyak Yogyakarta karena orangnya kalau menentukan tanggal satu Ramadhan dan 1 Syawal menunggu berita dari Pondok Pesantren Krpayak, semua baik-baik saja dan damai-damai saja.

Saya beruntung sempat tinggal dengan mengontrak rumah atau bagian dari rumah di Gedongkuning sampai dua kali. Suasana keislaman makin kental. Lebih-lebih masjid di dekat Gembira Loka diasuh oleh Yayasan Yasmin, warga akrab dengan KH. Sunardi Syahuri, dan kadang ada khatib dari Kotagede menyemarakkan hari Jum’at di sini. Waktu saya ngontrak rumah di Gedongkuning, anak kedua saya lahir dan menjadi akrab dengan lingkungan. Bahkan kadang agak kreatif, dia suka minum kopi milik ibu tetangga yang sama-sama ngontrak di rumah ini. Nah gara-gara sering menikmati kopi di waktu anak-anak, ketika besar dia menjadi penggemar kopi kelas berat. Dalam kesempatan saya atau anak sulung saya tugas ke luar daerah dia suka sekali kalau diberi oleh-oleh kopi.

“Ini kopi Flores,” kata saya waktu pulang dari pertemuan sastrawan nasional di Kupang.

“Ini kopi Toraja,” kata saya waktu pulang dari mengikuti Sidang Tanwir di Makassar.

Anak sulung saya yang perempuan pun kalau pulang dari penelitian di suatu rempat di Indonesia juga selalu mengoleh-olehi kopi khas daerah itu.

Di Gedongkuning yang punya kenalan orang Kudus yang bekerja di BPN Payakumbuh menikah dengan orang Minang. Waktu itu dia tugas belajar di Yogyakarta. Setelah tugas belajar selesai dia kembali ke Payakumbuh. Waktu ada pertemuan sastrawan ASEAN di INS Kayutanam saya sempat mencari waktu naik bus menuju Bukittinggi, lalu ganti bus jurusan Pekanbaru, turun di Payakumbuh dan bertemu dia. Menginap di rumahnya semalam. Menikmati alam Minangkabau dan masakan Minang yang asli, sate Padang, dan sate telur yang lezat.

Yogyakarta, 2 September 2021.

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM

Topik