Kampung-Kampung yang Ajaib, Dua
Orang-orang kampung lega. Mereka sebenarnya siap mengeroyok warrior tadi kalau berani berulah membela adiknya yang salah, mencemari sebuah gardu ronda, lambang kehormatan dan keamanan kampung.
Sejak itu, gardu ronda selalu gayeng oleh regu peronda kampung tiap malam. Secara bergiliran warga kampung menyediakan minuman dan makanan untuk para peronda. Ketika saya mendapat giliran setor minuman, saya dan istri menyiapkan satu termos wedang sekoteng panas dan snack yang dibeli di pasar Kotagede sorenya. Rupanya sajian sekoteng ini digemari peronda. Juga makanan khas Kotagede sepeti gompa, wajik kletik, legamara, dan pastil. Setiap malam giliran keluarga saya yang menyiapkan makanan dan minuman, yang datang ke gardu selalu lengkap. Bahkan ada orang yang giliran ronda bukan malam itu ikut nimbrung datang. Ikut menikmati sekoteng dan makanan lezat. Ia membawa cangkir kaleng untuk diisi sekoteng.
Ini betul-netul kampung ajaib. Sebab senakal-nakalnya anak pinggir Kali Code, walau mereka kadang menggunakan gardu ronda untuk mabuk, mereka tidak pernah berani meresmikan penggunaan gardu ronda baru untuk mabuk. Walau mereka punya kakak atau saudara yang warrior juga. Karena pinggir kali Code, sebagaimana Gedongkuning dikenal sebagai negeri warrior.
Keajaiban berikut datang menjelang bulan Agustus yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Suatu malam pengurus kampung dan sebagian warga kampung berkumpul di sebuah rumah untuk rapat pitulasan dan rapat menyongsong datangnya bulan suci Ramadhan.
Sebagai warga baru yang baik dan kebetulan malam itu saya tidak piket di kantor, dan tempat rapat ada di dekat rumah kontrakan saya, saya pun hadir. Dengan menyalami yang hadir sambil memperkenalkan diri, satu persatu tetangga satu lingkungan RW bisa saya kenali. Termasuk pendekar yang bisa mengusir anak-anak mabuk di gardu ronda itu.
Pertemuan diawali dengan membahas persiapan dan agenda kegiatan pitulasan. Termasuk acara tirakatan di malam tanggal tujuh belas dan lomba-lomba serta kegiatan lain. Rapat berjalan lancar. Dilanjut dengan rapat menyongsong bulan Ramadhan. Membahas takjilan untuk anak-anak, Jamaah Tarawih, ceramah Ramadhan, peringatan Nuzulul Qur’an. Sebagaimana ketika membahas acara pitulasan tadi, maka waktu membahas kegiatan Ramadhan masalah anggaran biaya juga dibahas. Termasuk bagaimana pencarian dana. Rapat selesai beberapa orang pamit pulang. Karena rumah saya dekat, saya belum ingin pulang. Ternyata masih ada kegiatan lanjutan. Orang duduk dalam lingkaran-lingkaran dan mulai bermain kartu. Lho? Saya tidak tahu apakah waktu bermain kartu ada taruhan judi atau tidak karena saya buru-buru pamit pulang. Bukan karena saya tidak punya uang dan tidak bisa bermain kartu, cuma saya ingin menjaga suasana batin saya yang tadi ikut rapat pitulasan dan ikut rapat Ramadhan. Suasana batin ini menjadi rusak gara-gara adegan bermain kartu. Mungkin bagi orang lain ini biasa. Tetapi bagi saya lumayan terkejut juga. Saya jadi ingat kalau di sebuah kampung lain yang menyatukan acara rapat pitulasan, rapat Ramadhan dilanjut dengan main kartu. Ini pernah saya lihat. Bahkan di kampung itu sangat jelas main judinya, karena yang dimainkan adalah kartu kongking atau kartu putih atau kartu ceki yang ditemani dengan kartu labas, dengkek, dan bedor. Di kampung itu, anak-anak kampung kalau ronda hamper tengah malam, sambil berkeliling memukul kentongan dengan irama tertentu meneriakkan yel-yel yang sangat saya hafal karena waktu kecil itu ikut meneriakkan,” Labas, dengkek, ceki, bedor! Labas dengkek ceki bedor! Labas dengkek ceki bedor!”
Sampai di rumah kontrakan Gedongkuni, istri heran melihat wajah saya tegang, lalu tertawa setelah saya ceritakan kejadiannya.
“Mas, kehidupan di kampung-kampung Yogya ini macam-macam. Ada yang warganya cenderung alim, ada yang kadang nakal dengan mencari hiburan bermain kartu. Saya pernah mendengar ibu-ibu itu berbincang-bincang waktu rewangan. Ada ibu yang melaporkan bahwa suami ibu anu suka main kartu, suka berjudi. Apa jawab ibu yang dilapori? Dia menjawab biarkan saja suami main kartu sepuasnya, asal tidak main perempuan,” kata istri saya.
Karena pintu gerbang Kebun Binatang diubah dari menghadap ke barat menjadi menghadap ke timur maka warga kampung ini seperti mendapat durian runtuh atau berkah kemakmuran. Warga menjadi bersemangat menjadi pedagang untuk melayani wisatawan yang berkunjung ke kebun binatang. Biasannya kalau Lebaran mereka panen. Apalagi kalau di bagian timur kebun binatang diadakan pertunjukan musik dangdut. Penonton berjubel. Pihak kebun binatang panen uang, demikian juga pedagang buah, makanan kecil dan oleh-oleh. Termasuk penjual es keliling.
Mungkin karena merasa mudah mencari uang banyak yang mencoba iseng kalau malam menghibur diri dengan bermain kartu itu. Seharian capek cari uang di kebun binatang, malam membalas dendam dengan mencari hiburan main kartu. Judi dikit-dikit tidak apa, pikir pelakunya.
Di kampung ini arisan keliling juga jalan. Dan upacara adat slametan siklus hidup juga jalan. Mulai dari slametan atau kenduren. Ketika ada mantenan, ada bayi lahir, menyambut upacara khitan anak-anak laki-laki dan tetesan anak perempuan, slametan orang meninggal berjalan rutin. Ini yang menyebabkan warga kampung bisa menyelamatkan imannya meski kadang muncul godaan dari luar. Pak Kaum atau pemimpin upacara slametan bilang dia ikhlas nderekke sedulur-sedulur sekampung masuk surga asal mereka masih Islam. Warga pun mematuhi anjuran Pak Kaum.
Di kampung ini ada priayi atau bangsawan yang penduduk memanggilnya Romo Sukar, punya rumah besar dan halaman rumah luas. Kalau pas shalat Id, halaman rumahnya dipergunakan untuk shalat Id. Romo ini mahir memimpin slametan, bahkan bisa menjelaskan tentang makna dan hikmah pernik-pernik uba rampe benda-benda yang disuguhkan dan dibawa pulang oleh hadirin peserta slametan. Saya tidak selalu bisa mengikuti kegiatan slametan atau kenduren ini karena biasanya diadakan setelah maghrib sampai isya’, waktu itu biasanya saya masih ada di kantor koran tempat saya bekerja.