Kalau Aku Sakit, Jangan Menjenguk
Tuhan menginformasikan suatu ketegasan salah satu bagian dari ketentuan ciptaannya:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu.”
Maka saya tidak bisa melihat hantu, Jin atau Setan. Apalagi Malaikat. Kalau bersama KiaiKanjeng sering diminta mengusir hantu misalnya di Canberra Australia, Roma Italia atau London Inggris dll, itu tidak berarti saya tahu hantu, bisa melihatnya, bisa berkomunikasi dengan mereka, bahkan bisa bernegosiasi atau mengusir mereka dari suatu tempat.
Juga saya tidak punya kemampuan untuk melihat serangan rudal santet atau sebaran tenung, seperti yang KiaiKanjeng alami di Mandar menjelang Pilgub, di Tuban sesudah Pilgub, atau di Karanganyar dan Sukohardjo meskipun tak ada kaitannya dengan pemilihan pejabat apapun. Atau yang terparah yang membuat saya divonnis oleh teman-teman Dokter di RS Sardjito UGM Yogya bahwa umur saya paling lama tinggal 3,5 bulan karena hyperteroid parah dan onderdil-onderdil pengolah makanan di tubuh saya sudah hancur hitam legam dihajar dengan uranium.
Saya bukan ustadz ruqyah, bukan dukun pengusir hantu, mistikus penyembuh orang kerasukan. Bukan pula ahli kebatinan atau pakar roh, meskipun banyak dikeluhi dan didesak untuk kegiatan semacam itu. Sesungguhnya saya tidak mengerti apa-apa. Saya hanya menjalankan kewajiban silaturahmi, mempersambungkan terselenggaranya dialektika kasih sayang dan keselamatan di antara sesama manusia.
Seorang perwira militer sakit parah dan sudah sekarat di RS Sardjito tapi tidak kunjung meninggal. Menurut kabar burung orang yang punya simpanan ilmu sakti di badannya, itu bisa menjadi penghalang atau menunda momentum kematiannya. Mana saya tahu. Saya diminta menangani keadaan itu, dan saya datang dengan niat menolong sesama manusia. Saya berkonsentrasi dan berdoa sebisa-bisa saya, kemudian setelah 15-20 menit yang bersangkutan dicabut nyawanya.
Istri almarhum berterima kasih kepada saya dan bertanya: “Berapa biayanya, Pak?”. Saya tidak bisa menjawab, kecuali langsung ngacir pergi. Rupanya pengalaman masyarakat membuat mereka berkesimpulan bahwa hal-hal seperti itu adalah masalah profesional. Dan beliau meminta tolong saya dalam konsep bahwa saya adalah dukun profesional.
Berikutnya saya terbang khusus dari Yogya ke Jakarta karena keluarga seorang penyanyi yang sedang koma di RS Pondok Indah minta tolong kepada saya. Saya datang, tanpa pengetahuan dan kemampuan batin apa-apa, ternyata yang bersangkutan lantas meninggal sekitar 20 puluh menit sesudah saya datang. Mereka berteriak-teriak menangisi almarhumah, pihak Rumah Sakit segera memindahkan tubuhnya ke ruang jenazah, diikuti oleh semua keluarganya, sehingg mereka terlupa bahwa di ruangan itu ada saya.
Saya pun ngeloyor pergi. Pindah ke RS Persahabatan di Rawamangun untuk melakukan pekerjaan yang sama. Berikutnya pindah ke RSAD, seorang Ibu berproses sampai meninggal, dan kemudian saya menitipkan seadanya uang di dompet saya kepada sang suami. Besok lusanya saya mengantarkan istri saya Novia Kolopaking tugas nyanyi di sebuah Gedung, bersama panyanyi Krisdayanti. Sebelum naik panggung, Kris membisiki saya: “Cak, kapan kalau saya sakit tolong Cak Nun tidak usah datang menjenguk”.
“Lho kenapa?” saya bertanya. Kris menjawab: “Saya mendengar dari teman-teman bahwa kalau ada orang sakit dijenguk Cak Nun lantas meninggal dunia”.
Pada kesempatan lain seorang wanita muda dalam keadaan hamil sekitar 5 bulan datang ke Patangpuluhan, mengeluhkan keadaannya dan pasrah bongkokan kepada saya. Seorang teman yang berprofesi pengacara saya mintai tolong menyiapkan kamar untuk tempat tinggal wanita hamil itu. Kan tidak mungkin dia tinggal di kamar saya di Patangpuluhan. Saya support biaya bulanannya sampai saat nanti dia melahirkan.
Banyak orang berpikir bahwa sayalah pasti yang menghamili wanita itu. Sebab kalau tidak, kenapa mau mengurusinya dan membiayainya. Tiba saatnya kelahiran saya bawa ke RS Panti Rapih. Ternyata bayinya sungsang. Saya mengajak Pathing atau Fatih, anggota Sanggar dan Teater Salahudin yang menemani saya di Patangpuluhan ke Panti Rapih. Kami berdoa bersama memohon kepada Allah agar posisi bayi dinormalkan sehingga kelahirannya pun lancar. Sebab kalau harus pakai operasi cesar, saya harus menandatangani surat pernyataan kesediaan atas nama keluarga si pasien. Dan itu tidak mungkin saya lakukan. Alhamdulillah Tuhan tidak tega kepada saya, sehingga posisi bayi diubah oleh Malaikat dan kemudian kelahiran berlangsung normal.
Tapi ternyata setelah bayi lahir sampai beberapa lama, Ibunya tetap tidak mau pergi. Tetap “nggandhol nasib” kepada saya. Akhirnya saya minta Imam Syuhada adik ipar saya untuk melacak latar belakang anak ini. Imam pergi sampai menemukan kampung wanita ini di sebuat desa Kabupaten Pati. Imam bisa menemukan keluarganya, dan info bahwa anak ini ternyata dihamili oleh Pak Lurah. Keluarganya saya ultimatum untuk datang menjemput anak itu dan diajak kembali ke kampungnya. Puji Tuhan yang memudahkan semua proses pamungkas urusan wanita hamil ini.
Saya tidak mungkin mencatat semua, mendokumentasikan peristiwa-peristiwa semacam ini, termasuk ribuan orang terutama Jamaah Maiyah yang bermimpi saya temui. Bahkan saya ajari kalimat-kalimat wirid, yang ketika ketemu darat, dikonformasikan untaian wirid yang saya sendiri belum tentu mengetahuinya.