Jin Tidak Menakutkan Sekali
Keajaiban berikutnya adalah munculnya barisan anak muda bertubuh kekar yang menjadi koordinator parkir di beberapa jalur penting dalam kota. Mereka kenalan baik Pak Daliso dan ketika saya tanya secara intensif ternyata tokohnya adalah anak tentara pejuang angkatan ayah saya. Saya pernah mendengar nama itu berikut pangkatnya juga asal-usul desanya. Dia kaget mendengar saya tahu banyak tentang ayahnya dan saudara dia. Ketika saya katakan bahwa ayahnya adalah sahabat ayahku, anak muda kekar itu menyalami saya. Wow, tambah bala, seru saya dalam hati.
Kemudian muncul tokoh misterius yang melihat gaya omongannya yang suka berbisik-bisik ke telinga Pak Daliso saya menduga orang ini berasal dari kalangan shadow group atau kelompok bayangan. Saya tahu kalau dari keluarga istri Pak Daliso ada segudang perwira puncak militer. Pada tahun itu ada keponakan istrinya yang punya pangkat tinggi dan menjabat sebagai panglima. Wajar kalau sang panglima ini memberikan dukungan keamanan kepada Pak Daliso yang bergerak melintas-lintas wilayah teritorial militer tertentu.
Orang dari shadow group ini selalu naik motor dan membawa alat komunikasi canggih. Setiap kami kampanye di suatu daerah, siang atau malam, begitu kami tiba, dia langsung menghidupkan alat komunikasi dan berbicara dengan bahasa sandi yang tidak saya pahami. Justru karena orang itu berbicara dengan bahasa sandi dan saya pernah menguping, tahulah saya kalau orang ini sari shadow group yang bertugas memberi bantuan pengamanan kepada Pak Daliso dan rombongan. Sebagai wartawan yang anak tentara saya bisa mencium gelagat positif ini. Sebab secara keamanan Pak Daliso tidak ada masalah. Punya cangkang pelindung berlapis-lapis.
Sayangnya, Pak Daliso tidak punya pelindung politik yang berlapis lapis. Di kemudian hari ketika suara pendukung Pak Daliso beterbangan dan hilang tidak tentu rimbanya tahulah saya kalau terlalu banyak pihak yang tidak suka Pak Daliso menjadi anggota DPD. Bahkan ternyata banyak yang memusuhi Pak Daliso baik diam-diam maupun terbuka. Yang terbuka, ini kurang kami sadari. Dengan mempergunakan berita kampanye Pak Daliso dan dari pess release yang dimuat di koran justru dimanfaatkan untuk menghapus jejak kampanye kami.
Begini, setelah kami suatu hari bergerak kampanye di suatu tempat, kami merasa sudah bisa mengamankan basis massa, pendukung sampai, eee hari berikutnya datang calon lain menghapus jejak kampanye sama sekali. Paling tidak menggerogoti suara sampai separo lebih.
Saya tahu itu dengan cara saya sendiri melakukan studi khusus tentang metode curang-mencurangi dalam proses pemilu setelah pemilu tahun 1955, pemilu selama Orde Baru, selama pasca suksesi Orde Baru yang dimitoskan sebagai era Reformasi.
Saya lacak sampai ke hulunya hulu untuk mengetahui bagaimana kuota suara untuk partai Islam harus selalu minoritas. Nah kuota suara untuk Pak Daliso harus dibuat minoritas sehingga tidak bisa muncul menjadi anggota DPD definitif. Sebagai wartawan yang hampir sepuluh kali meliput jalannya pemilu saya berusaha melakukan studi bagaimana setiap tahapan pemilu ada kelemahannya sehingga jurus curang yang jurdil dan bebas rahasia dapat dilakukan.
Misalnya tahapan penghitungan suara. Tahun 2004 adalah tahun ketika penghitungan suara mulai menggunakan teknologi jarak jauh dengan tukang entri data di tingkat kecamatan. Tim saya waktu itu, dibantu teman yang menghitung suara di tingkat TPS. Ini kami operasikan di daerah basis pendukung dengan tujuan untuk menyelamatkan suara. Kemudian suara kami kumpulkan sampai tingkat kecamatan, lalu kami kumpulkan sampai tingkat di atasnya. Nah muncul selisih suara. Karena hasil suara sebelum direkap resmi diumumkan di koran secara mencicil maka terasa ada suara yang hilang sampai akhirnya muncul pengumuman resmi yang intinya Pak Daliso gagal menjadi anggota DPD definitif yang mewakili DIY.
Sebenarnya malam hari sebelum pencoblosan sudah ada regu anak muda yang siap berpatroli di ujung gang-gang desa basis pendukung Pak Daliso dan Pak Daliso sudah menganggarkan dana operasional untuk beli bensin, rokok, dan kopi. Tetapi sampai siang hari sehari sebelum pencoblosan, ikhtiar beliau untuk menagih piutang di banyak pihak kurang berhasil. Juga bantuan dari sahabat beliau tidak jadi datang. Akhirnya regu pemantau yang nongkrong di depan gang semalam suntuk kami nonaktifkan.
Gejala kekalahan pemilu sudah kami rasakan. Apalagi, pagi hari sekali menjelang jam pencoblosan ada calon kuat lain yang bersilaturahmi ke tempat basis katanya untuk memberi semangat kepada petugas. Tidak ada yang memprotes ini karena yang bersangkutan tidak kampanye dan tidak mempengaruhi orang yang dia datangi, silaturahmi biasa yang tidak melanggar hukum.
Saat beliau dinyatakan kalah, kami berkumpul dan menghibur diri dengan mengingat-ingat peristiwa lucu selama kampanye. Juga peristiwa jenaka pada hari hari berikutnya. Misalnya, demikian diberitakan oleh Pak Daliso, datang orang menangis minta maaf kepada Pak Daliso karena dia mendapat order serius untuk mengganjal pak Daliso. Pak Daliso ketawa saja menganggap itu sebagai humor politik pahit.
Demikian juga ketika banyak pihak yang memohon ampun kepada Pak Daliso karena pada jam atau hari terakhir sebelum pemilu terpaksa membatalkan dukungannya kepada Pak Daliso karena mendapat arahan dari pihak yang lebih atas. Pak Daliso seperti biasa, tersenyum kecut mendengar itu, yang ia anggap sebagai humor politik yang kecut. Humor politik pedas juga dirasakan oleh Pak Daliso ketika ada orang tua yang tergopoh-gopoh minta diberi maaf sambil menyerahkan uang banyak yang katanya itu dana kampanye Pak Daliso yang diterima anaknya tetapi belum sempat atau tidak sempat digunakan.
Pak Daliso cuma tertawa dan beberapa saat ketika saya datang ke kantornya dia mengajak saya jajan ke warung Ijo di bawah jembatan Krasak untuk pesta nasi brongkos. Kami, atas kekalahan politik ini membalas dendam kepada nasi brongkos yang dihiasi daging lezat empuk bertumpuk. Bumbu brongkos yang harum membuat kami lahap menyantap hidangan ini. Apalagi ada lombok rebus yang bisa menjadi sasaran balas dendam atas kekalahan politik kami.
Pulang dari warung Ijo, pak Daliso menyelipkan beberapa lembar uang ke saku baju. Uang balas dendam politik, katanya sambil tertawa ngakak. Jadi uang yang dikembalikan oleh orang yang tidak jadi menggelapkan, takut kena sanksi hukum itu sepertinya digunakan untuk jajan makanan yang enak-enak yang dinikmati sambil tertawa-tawa.
Ada pengalaman lucu yang kami alami waktu tengah malam di tahun 2004 itu. Waktu itu kami pulang dari kampanye di daerah Ngawen Gunungkidul. Mobil yang disopiri sendiri oleh Pak Daliso berjalan dengan kecepatan sedang. Lampu mobil menyala terang, menerangi jalan dan pepohonan rimbun hutan. Tiba tiba kami lihat ada perempuan cantik berjalan dengan pinggul bergoyang, mengenakan rok span di atas lutut, membawa tas kulit, rambut dipotong pendek model Marilyn Monroe yang pernah menjadi kekasih John F. Kennedy.
Perempuan cantik ini berjalan searah dengan mobil kami yang menyebabkan kantuk kami hilang.
“Kang, kasihan itu Mbak Marilyn Monroe, disuruh naik mobil wae, bisa menjadi teman ngobrol yang asyik,” kata saya menggoda Pak Daliso.
“Sst. Itu bukan manusia lho Mus,” jawab Pak Daliso dengan suara lirih.
“Tenane Kang?”
Pak Daliso tertawa lirih dan memelankan mobil sampai menjajari perempuan itu. Perempuan itu melambaikan tangan. Hah! Wajahnya tidak jelas. Pak Daliso menginjak gas mobil dan keponakan Pak Daliso yang duduk di belakang melaporkan kalau perempuan itu hilang dari pandangan mata.
Kami keluar dari hutan. Mulai masuk jalan raya menuju arah Patuk.
“Ya kalau akal kita bekerja, sungguh tidak masuk akal pada jam begini ada perempuan berdandan artis berjalan sendiri di tengah hutan. Dia pasti jin.”
Pak Daliso mengatakan itu disusul pengalaman dalam perjalanan malam di pulau Jawa ketemu godaan yang mirip tadi. Tahu-tahu mobil telah berjalan menuruni jalan Yogya Wonosari mendekati Piyungan.
“Yuk cari warung bakmi. Saya lapar,” ajak pak Daliso.
“Yes. Tapi cari warung bakmi beneran. Bukan warung bakmi jadi-jadian yang ditunggu jin,” kataku.
“Ini dijamin warung bakmi asli yang ditunggu manusia beneran.”
Kami berhenti di depan warung bakmi. Memesan bakmi. Saya pesan bakmi rebus panas banyak merica. Yang lain memesan bakmi goreng atau magelangan. Kami juga memesan wedang jeruk panas. Ketika pembantu penjual bakmi mengantar wedang jeruk, saya amati kakinya yang menapak tanah. Demikian juga ketika saya melirik pemilik warung yang tengah memasak bakmi. Kakinya menapak tanah.
“Kang, bener. Menungsa bener Kang. Sikile napak lemah,” bisikku.
Sambil menunggu bakmi siap, kami pun ngobrol tentang pengalaman bertemu jin. Pak Daliso malahan kemudian menguraikan isi dari makna 28 ayat dalam surat Jin. Yang intinya, jin itu tidak menakutkan banget. Khususnya bagi yang tahu ilmu untuk memahami hakikat dan kehadiran jin.
“Mereka itu ada yang baik sekali dan ada yang brengsek kayak sebagian politikus.”
Saya terpingkal-pingkal mendengar ucapan kalau jin brengsek mirip politikus brengsek.
“Lho, dalam surat An-Naas kan disebutkan kalau tukang goda manusia yang suka meniupkan kebimbangan hati ini adalah setan. Dan setan, pendukungnya adalah jin dan manusia.”
“Kalau setan politik?” Tanyaku memancing.
“Ya terdiri dari golongan jin dan manusia.”
Obrolan tentang ini kami ungkit kembali sebagai upaya untuk menyeimbangkan jiwa agar tidak frustrasi karena mengalami kekalahan politik.
Yogyakarta, 10-12 Juli 2021.