Jibril Memasukkannya ke dalam Hatimu
Hanya sesekali saja dan tidak sengaja KiaiKanjeng berkumpul “pathing clebung” (bersahut-sahutan) mengingat-ingat kisah, proses, riwayat, metamorfosa kreativitas sejak hampir setengah abad silam sampai terbangunnya KiaiKanjeng lengkap. Embrio Dipowinatan, Karawitan Dinasti, Pak Kanjeng, Mini Kanjeng, Kanjeng Sepuh, hingga KiaiKanjeng yang sekarang.
Era demi era dengan pengalaman yang berbeda-beda, perjuangan yang bermacam-macam, kepuasan dan misteri yang berbagai-bagai. Mustahil rasanya saya membangunnya kembali dalam cerita, tulisan atau rumusan. Kehidupan dan manusia sedemikian kaya raya dimensi dan variabelnya. Kumpulan tulisan “Kebon” ini bukanlah riwayat hidup, melainkan sekadar tulisan-tulisan seingat saya saja.
Ada sangat banyak titik-titik romantis. Ada fragmen-fragmen nekad dan mengerikan. Ada aneh-aneh dan menakjubkan. Ada yang konyol-konyol dan kemurnian. Saya tidak tahu tetapi berharap bisa menuturkan yang terpenting dari adegan-adegan sejarah perjuangan KiaiKanjeng sejak awalnya. Bisa disebut pertengahan 1970-an secara embrional, bisa awal 1990-an kalau “administratif”. Yang terakhir itu toh sudah 30-an tahun. Ibarat orang, sudah nikah dan punya anak. Mungkin sampai cucu. Di Malang pernah diselenggarakan “Festival Musik KiaiKanjeng” yang pesertanya lebih dari 30 grup. Sampai hari ini di banyak daerah cukup banyak aktivitas kelompok-kelompok musik yang mengacu kepada jenis kreativitas KiaiKanjeng.
Tetapi sepanjang sejarah Indonesia, sesungguhnya, dengan sistem dan bentangan tata budaya dan kependidikannya, tidak cukup menyediakan wahana untuk pembelajaran dan pengembangan para seniman. Anak cucu KiaiKanjeng di banyak wilayah di Indonesia belajar secara alamiah melalui perhubungan kultural dengan aktivitas KiaiKanjeng.
Sebagaimana anak cucu Maiyah juga mengakses pendidikan kehidupan Islamnya hanya secara alamiah mengikuti forum-forum Maiyah serta dialektika perhubungan persaudaraan di antara mereka dengan para penggerak Maiyah. Tetapi Maiyah bukan lembaga pendidikan formal. Bukan ormas seperti NU atau Muhammadiyah yang punya ribuan lembaga pendidikan.
Sejak awal dulu, di era sebelum 1945, “Angrem”nya anak zaman yang bernama Republik Indonesia adalah karena ada sejumlah mahasiswa Indonesia belajar di Negeri Belanda. Diawali pelaksanaan politik etis Belanda yang membuka kesempatan lebih luas kepada putra-putra Indonesia untuk belajar ke negeri Belanda. Diantaranya Soetomo, Hatta, Ali Sastroamidjojo, Iwa Kusumasumantri, dan lain lain. Kelak di awal 2000-an KiaiKanjeng sempat pentas dan mengamèn di kota Deventer, yang nama kotanya diambil dari inisiator politik etis Belanda itu.
Sebagian besar mahasiswa-mahasiswa itu menjadi tokoh-tokoh politik nasionalisme Indonesia pada tahun 1920-an. Militansi mahasiswa Indonesia ini semakin tampak dengan berdirinya “Perhimpunan Indonesia” pada tahun 1924 dengan Hatta menjadi kekuatan pendorongnya. Perhimpunan Indonesia lebih tegas lagi visinya untuk mencapai Indonesia Merdeka. Akibat aktivitas politiknya, mahasiswa anggota PI mulai diawasi dan ditangkap oleh pemerintah Belanda khususnya setelah Pemberontak PKI di Jawa Barat tahun 1926. Di tahun 1984-1985 saya mengalami “Perhimpunan Indonesia” yang lain, yakni seri era para mahasiswa zaman Orde Baru di Belanda dan Jerman. Anak-anakku Maiyah pernah Maiyah dengan Pipit Kartawijaya asli Kediri yang penggerak utama PI seri-2 itu. Ada juga Komang, Kenny, Kokik, Ninik, Widodo, Titik dll. Saya sering bernostalgia dengan sebagian mereka ketika berkeliling dengan KiaiKanjeng, mampir di warung Soto Bangkong Semarang dan kota-kota lain, yang dulu dirintis oleh Bapaknya Ninik dan Titik mertuanya Widodo.
Tapi kalau kau aktivis kesenian Indonesia, belajarnya di mana? Di sekolah dan universitas, kurikulumnya bukan terutama belajar kesenian, melainkan Ilmu Kesenian. Memang dengan sendirinya bercampur dengan aktivitas kreatif bersastra, berteater, tari, senirupa dll, seperti di SMKI atau SMSR, di AMI, ASRI dan ISI. Tetapi aspirasi utamanya adalah menelusuri rute pengetahuan seni Barat.
Jijit KiaiKanjeng drummer Kiai Kanjeng belajarnya di Jurusan Tari. Arie Blotong yang memang Sarjana Musik modern. Novan memang resmi sekolah kesenian, tetapi kepiawaiannya meniup seruling tidak bersumber dari kurikulumnya. Juga Pak Ismarwanto almarhum pendahulunya. SP Joko, Bayu Kuncoro, lebih tepat disebut Lulusan “Sanggar” Tamansiswa atau Yogya lainnya. Sementara Giyanto, Sariyanto lulusan tepi kali di Pajangan Bantul. Nevi Budianto, pimpinan KiaiKanjeng, juga Joko Kamto sesepuhnya, hanya lulusan THR Dipowinatan. Islamiyanto lulusan Pesantren dan Imam Fatawi lulusan Institute Karaoke Dangdut.
Mungkin karena itu Dinasti maupun KiaiKanjeng bukanlah murid-murid “Persekolahan Barat” sebagaimana mahasiswa-mahasiswa Perhimpunan Indonesia. Sehingga jagat kreativitas dan DNA estetika mereka bukan Barat dan tidak masuk Globalisasi. Itu membuat mereka lebih otentik dan orisinal Jawa-Indonesia, tetapi sekaligus tidak punya tempat di panggung Indonesia Modern Global.
Bagaimana menilai dua jenis penyejarahan diri itu? Kesenian modern Indonesia yang mengingkari sejarah keIndonesiaan, ataukah KiaiKanjeng yang makar terhadap fakta pilihan modernisme Indonesia?
قُلۡ مَن كَانَ عَدُوّٗا لِّـجِبۡرِيلَ فَإِنَّهُۥ نَزَّلَهُۥ عَلَىٰ قَلۡبِكَ بِإِذۡنِ ٱللَّهِ
مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَهُدٗى وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُؤۡمِنِينَ
Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkan Al Quran ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa kitab-kitab yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman”.
Itulah husnudhdhon KiaiKanjeng. Tentu bukan untuk bertinggi hati atas siapapun. Melainkan agar memiliki sumber energi dan kekuatan bertindak dalam memproses kreativitasnya sampai detik ini. Benar-benar hingga detik sekarang ini. Tadi malam KiaiKanjeng latihan mempersiapkan persembahan untuk acara Isra` Mi’raj dengan Perusahaan Rokok Sukun di Kadipiro.
Kakek-kakek kita yang dulu mempersiapkan dan mendukuni kelahiran bayi Indonesia hingga mencapai Kemerdekaan 17 Agustuas 1945 adalah mereka yang bersekolah di Belanda. Mereka anak didik ilmu, pemahaman dan peradaban Barat. Bukan hasil pendidikan “la syarqiyah wala gharbiyah”. Sementara KiaiKanjeng memperjodohkan Barat dan Timur, mempertemukannya, mengharmonikannya, sehingga produk kreatifnya juga “la syarqiyah wala ghorbiyah”.
Sementara pertumbuhan Indonesia bukanlah manusia, Pemerintah dan bangsa dengan pengetahuan yang berspektrum dunia akhirat. Dengan pengetahuan yang tidak mengapresiasi sangkan-paran. Yang tidak punya pembelajaran yang menemukan sambungan antara sebiji padi dengan Malaikat Jibril. Antara aliran air liur dari mulutnya dengan “an yaqula lahu kun fayakun”.
Indonesia modern yang menemukan alam, mengapresiasi dan mengolahnya tidak sebagai makhluk, melainkan dipahami sebagai pangkal kejadian sehingga disebut “mother nature” atau “mother land”. Era-era ilmu, pengetahuan dan peradaban yang defacto memutuskan tali hubungannya dengan Allah Swt. Allah tidak dituhankan. Tuhan digantikan dengan batas pengetahuan. Tuhan tidak dicari dan “disapa” (berdoa) untuk menjadi bahan utama pertimbangan atas setiap keputusan. Padahal:
يَسۡتَخۡفُونَ مِنَ ٱلنَّاسِ وَلَا يَسۡتَخۡفُونَ مِنَ ٱللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمۡ
إِذۡ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرۡضَىٰ مِنَ ٱلۡقَوۡلِۚ
وَكَانَ ٱللَّهُ بِمَا يَعۡمَلُونَ مُحِيطًا
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridlai. Dan adalah Allah Maha Meliputi ilmu-Nya terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Maka seluruh bangsa Indonesia diajak untuk “merdeka dari Allah”. Untuk buta terhadap “tayangan” Allah di jagat raya dan tuli terhadap “suara Allah yang meliputi segala zaman”. Bangsa Indonesia menjadi pengikut buta dari orang buta yang tidak mengakui sesuatu hanya karena tidak mampu melihatnya. Serta menganggap tidak ada suara hanya karena tuli telinganya. Itulah manusia modern dengan peradaban yang dibangunnya.
Maka Indonesia lahir tidak membawa dirinya. Dari landasan aspirasi dan ilmunya, Indonesia lahir tidak lagi sebagai dirinya. Bentuk Negara NKRI bukan menggali dari sejarahnya. Prinsip politik dan kenegaraannya “ngebon” dari penjajahnya. Bahkan tata hukumnya “copy-paste” dari kolonial yang “ngempongi” sejarahnya selama berabad-abad.
Indonesia tidak cukup matang mempersiapkan kemerdekaannya. Tidak dengan kelengkapan pengetahuan dan ilmu. Tidak memiliki landasan kawruh langit bumi untuk menentukan eksistensinya. Sehingga sampai hari ini pada substansinya Indonesia belum pernah benar-benar merdeka. Indonesia hidup sebagai pelengkap penderita dari dinamika internasional. Indonesia masih menjadi objek dari penguasa-penguasa dunia. Indonesia tidak mencari karakternya sendiri. Indonesia menjadi ekor, buntut dan membebek fenomena-fenomena dari luar dirinya.
Kita menjadi bangsa yang tidak percaya diri, tidak benar-benar berdaulat. Tidak punya karakter kebangsaannya sendiri sehingga tidak pernah memperjelas bangunan dan substansi konsep nasionalismenya. Kita bahkan sering berperilaku yang mencerminkan betapa kita tidak benar-benar tahu siapa diri kita di tengah ragam bangsa-bangsa dunia. Sehingga kita tidak punya determinasi sejarah, bahkan tidak mengerti apa-apa yang mestinya bisa dibanggakan dan apa-apa yang semestinya membuat kita merasa malu kepada bangsa lain.
هَٰذَا ذِكۡرٞۚ وَإِنَّ لِلۡمُتَّقِينَ لَحُسۡنَ مََٔابٖ
“Ini adalah kehormatan (bagi mereka). Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa benar-benar (disediakan) tempat kembali yang baik”.
Bangsa Indonesia tidak pernah punya pemimpin yang sungguh-sungguh mengerti apa itu kehormatan. Kehormatan wanita. Kehormatan manusia. Kehormatan masyarakat. Kehormatan bangsa. Kehormatan Negara. Kehormatan Pemerintah. Kehormatan Kepala Negara. Bahkan kehormatan ditawar-tawarkan ke pusat-pusat keuangan dunia:
“Kehormataan…kehormataan…”. Seperti sedang menjajakan “Peceeel…peceeel…”.
Apalagi hubungan kehormatan dengan taqwa. Terlebih lagi sebab akibatnya terhadap “tempat kembali yang baik”. Kembali ke mana? Wong kita sedang pergi kok. Maka “inna lillahi wa inna ilaihi roji’un” dengan penuh kemantapan diterapkan untuk urusan orang mati. Kehidupan dibunuh oleh akal pikiran Indonesia menjadi kematian.