Jerigen Air Bunda Cammana
Ini meneruskan wanti-wanti bahwa kita jangan sok tahu, sok kreatif, dan sok hebat. Mengingatkan kembali tentang “siapa pelaku yang sebenarnya dari seluruh keajaiban hidup ini”. Di akhir hampir setiap Maiyahan saya tidak berani tidak mengucapkan firman Allah Swt ini:
قُلْ إِن ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَىٰ نَفْسِي
وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِي إِلَيَّ رَبِّي
إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ
Katakanlah: “Jika aku sesat maka sesungguhnya aku sesat atas kemudharatan diriku sendiri; dan jika aku mendapat petunjuk maka itu adalah disebabkan apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.”
Istri seorang dosen senior Unair menemui saya untuk menyatakan terima kasih kepada saya karena suaminya yang abangan sejak kecil sekarang mulai mau melakukan shalat lima waktu. “Lho, apa hubungannya dengan saya?”, saya bertanya. Ia menjawab, “Sejak ikut Maiyahan suami saya berkali-kali bermimpi ketemu Cak Nun dan efeknya kemudian ia mulai melsakukan sembahyang. Padahal saya tidak pernah memprotes atau menyuruhnya”.
Ada ratusan kisah seperti itu meskipun bermacam-macam kasus dan wilayah temanya. Sampai beberapa jam sebelum saya menulis Kebon yang ini masih ada yang menyodorkan botol air untuk minta didoakan. Hati saya selalu berdesir setiap kali ada yang menyodorkan botol-botol untuk saya tiupkan doa seperti itu.
Yang menjadi kegelisahan saya adalah sejumlah spekulasi. Kalau selama ini Allah tidak mengabulkan doa-doa melalui air itu, mestinya frekuensi permintaan juga menurun. Grafik kabul tidaknya mestinya berbanding lurus dengan naik turunnya sodoran botol air. Tetapi sampai hampir 5000 titik Maiyahan, botol-botol air itu tidak pernah menurun. Baik yang dikumpulkan di tempat KiaiKanjeng transit sebelum manggung, atau yang antre ratusan Jamaah yang berjejer di depan panggung sesudah acara, yang semua saya dan kami semua layani dengan energi dan keikhlasan yang tidak pernah kami kurangi di antara satu sama lain. Botol pertama hingga botol ke 300 misalnya, kadar kekhusyukan, keikhlasan, dan rasa mengemis saya kepada Allah tetap selalu sama.
Di Limboro, Polewali, di luar ratusan botol di rumah transit, tatkala kami berkunjung ke rumah Bunda Cammana juga “sak mbalé” botol-botol yang harus saya tiupi doa. Itu semacam pekerjaan rutin ke manapun KiaiKanjeng dan saya datang. Di Jawa maupun luar Jawa. Pun di luar Negeri. Di Polewali Mandar para penggiat membatasi pelayanan itu hanya sampai pukul 02.00 malam. Tetapi tatkala saya dikasih kesempatan untuk tidur, saya tahu mereka para peminta doa itu memanjat-menjat rumah dan pohon di sekitarnya. Itu membuat saya tidak tega.
Dan di Mandarlah muncul ide bahwa memenuhi permintaan doa itu bisa “dijamak”. Artinya saya tidak harus mengambil botol satu persatu, membuka tutupnya kemudian meniupi satu demi satu. Saya bisa berdoa dengan mengulurkan tangan, telapak kedua tangan saya buka lebar-lebar kemudian saya arahkan ke berbagai wilayah yang ada botolnya. Dengan berharap dan husnudhdhon bahwa Allah memafhumi hal itu. Dan secara rohaniah sesungguhnya tidak ada bedanya doa saya lantunkan dengan dijamak atau tidak, sebab kedua cara itu tetap merangkum semuanya.
Yang membuat rasa pekewuh di dalam hati saya adalah di antara hamparan botol-botol itu ada jerigen besar berisi air yang juga dimintakan doa. Dan ternyata itu milik Bunda kami Cammana. Padahal pekerjaan rutin Bunda Cammana juga didatangi bermacam-macam orang, termasuk para Pejabat yang juga datang minta doa. Atau petugas Kepolisian datang meraba siapa tahu Bunda memberi “clue” arah dan tanda-tanda tentang para kriminal yang sedang mereka kejar.
Bahwa Bunda kami Cammana juga menyodorkan air untuk saya doakan, sama sekali tidak berarti bahwa Bunda beranggapan bahwa saya lebih sakti atau lebih didengarkan oleh Allah. Semua yang berlangsung adalah dialektika. Kami putra-putri Maiyah sudah puluhan menjalin cinta bersama Bunda Cammana dalam lingkup cinta kami kepada Allah dan Rasulullah. Dan kedatangan kami dari Jawa ke Mandar, karena jaraknya begitu jauh dan kesempatannya begitu langka, selalu merupakan peluang istimewa di antara Bunda Cammana dengan saya dan kami semua untuk menunjukkan kepada Allah bahwa kami saling menyayangi karena Ia dan kekasih-Nya.
Bunda Cammana menyodorkan air sejerigen, tak hanya satu botol, seolah-olah ingin membuktikan kepada saya dan semua anak-anak Maiyah beliau bahwa beliau amat sangat mencintai kami. Semua orang tahu pertemuan kami dengan Bunda Cammana tidak terutama berisi dialog-dialog intelektual, melainkan dipenuhi airmata cinta di dalam shalawat-shalawat dan sepanjang silaturahmi kami.
Di tulisan lain kelak saya ingin menuliskan betapa Allah berkehendak menciptakan semua makhluknya itu dulu bukan berdasarkan kebenaran atau kebaikan, melainkan bersumber dari rasa cinta. Dan yang disebut “haqqullah”, haqiqinya eksistensi Allah, dimensi primernya adalah cinta. Haqqullah sama sekali tidak bisa diterjemahkan menjadi “hak” ataupun “kebenaran” atau dalam bahasa Indonesia. Atau “the truth” atau “right” dalam Bahasa Inggris. Kita Kaum Muslimin dididik dan dibesarkan oleh pemahaman-pemahaman yang tidak cukup mengantarkan kita untuk bersentuhan dengan “haqqullah” secara utuh dan bulat. Ilmu, pengertian atau pencitraan kita tentang Islam, apalagi Rasulullah dan Allah, masih cacat dan jauh dari kelengkapan, apalagi keutuhan.
Bobbiet Kiai Kanjeng bercerita tentang perjalanan KiaiKanjeng ke Pulau Bawean: “Adalah seorang laki laki tua, nelayan tradisionil Pulau Bawean, yang bicaranya tidak bisa kami pahami. Di samping logat, artikulasi, dan nadaanya, juga karena kosakatanya bercampur antara Bahasa Madura dan Osing. Untung kami selalu dikawal oleh personel panitia yang bertindak sebagai pengawal dan sekaligus guide. Dengan tiba-tiba lelaki tua yang berambut putih, dengan badan terbiasa terpanggang panas matahari lautan itu mendekat ke Mbah Nun dan langsung memegang tangannya dan menciuminya sambil berkata-kata entah apa, tetapi kedua matanya sembab seperti habis menangis. Sambil bersalaman lama dengan Cak Nun dia bercerita panjang, dengan terus menerus menyabut kata Cak Nun hampir di setiap kalimatnya. Tetapi tentu saja kami tidak paham”.
“Tetapi pengawal kami menolong menerjemahkan: bahwa bapak tua itu menuturkan beberapa lama ini dia bermimpi bertemu orang yang namanya Cak Nun. Dalam mimpi itu setiap kali ketemu Cak Nun ia mencium tangannya, sebagaimana yang barusan kami saksikan. Padahal menurut teman penerjemah, lelaki nelayan tua ini belum pernah melihat seperti apa wajah Cak Nun. Ternyata setelah benar-benar ketemu, ternyata wajah Cak Nun persis seperti yang ia jumpai dalam mimpinya. Itu yang menyebabkan bapak tua ini tadi tidak ragu-ragu langsung mendatangi Cak Nun dan mencium tangannya”.
“Cak Nun bertanya kok bapak tahu kalau saya Cak Nun ? saya tidak pernah nongol di tv tv mestinya bapak lebih tahu bahwa ini saya. Mestinya yang umumnya orang tahu kan yang sering muncul di layer televisi. Si penerjemah menyela dengn menginformasikan bahwa di sini hampir tidak ada penduduk yang punya teve. Bukan karena tidak mampu beli, tapi karena di pulau ini tidak ada network atau signal, alias blank area”.
Simbah perlu wanti-wanti dan mengingatkan kembali dan terus-menerus bahwa sejatinya kita manusia ini bukanlah “the true subject”, bukan “the real subject”. Kita hanya hanya subjek kw-2 atau kw-3. Bukan hanya kita tidak berkuasa atas bumi, bulan, dan matahari. Tak berkuasa atas siang dan malam. Tidak berkuasa atas tanah, logam, air dan api. Bahkan tak berkuasa atas tumbuh atau mandeg tumbuhnya sehelai rambut kita. Kita hanya merespons, meneruskan proses penciptaan pada tahap tertentu, itu pun harus mematuhi prinsip dasar aturan penciptaan dari Sang Maha Pencipta. Kita bisa masak beras menjadi nasi, tetapi kita bukan subjek yang menciptakan padi. Kita bisa mengubah tanah menjadi batu-bata, endapan batu menjadi akik, kayu menjadi pendopo, kedelai menjadi tempe, beras menjadi nasi. Tetapi kita tidk berkuasa apa-apa atas tanah, padi, kedelai dan apapun.
Kita juga harus mempelajari dan melatih proporsi berpikir. Kalau Allah menyatakan dalam firman-Nya:
خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ
وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ
وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”
Kita jangan lantas merespons dengan naif dan curang dengan mempertanyakan: “Lho perhatikan kalimat ayat itu. Kan Allah yang menutup hatinya, Allah yang membuntu pendengarannya. Kenapa lantas Allah memberi siksa yang berat? Kan pelaku utamanya bukan manusia yang bersangkutan, melainkan Allah sendiri?”
Itulah sebabnya di Maiyah Sabrang selalu menekankan prinsip pengetahuan dan ilmu yang menyangkut sebab-akibat. Allah tidak melakukan itu semua kalau manusia sendiri tidak menyodorkan sebabnya melalui perilakunya.