Jeneng, Jenang, dan Arti Sebuah Nama
Menjadi bagian dari masyarakat Belanda, mau tidak mau saya harus belajar banyak tentang sosial budaya serta peraturan yang berlaku di negeri ini. Selain ngangsu ilmu di Mafaza Eropa, saya juga ngangsu kaweruh pada Komunitas Keluarga Kawin Campur Indonesia–Belanda, salah satu grup di media sosial tempat berbagi informasi dan pengalaman hidup yang berkaitan dengan administrasi-birokrasi, keimigrasian, inburgering examen, hingga tips-tips mengolah bahan lokal dengan bumbu Nusantara menjadi masakan yang tidak kalah lezat.
Pagi ini saya sedang membaca informasi dari portal pemerintah tentang desain KTP Belanda terbaru dan juga aturan pencatatan akta kelahiran. Informasi tersebut sangatlah berguna bagi kami, perempuan Indonesia yang menikah dengan WN Belanda. Biasanya para suami kurang paham detail aturan-aturan kependudukan hingga masalah tahapan apa saja yang harus dilalui sebelum bisa melangsungkan pernikahan antarnegara, jadi justru kami, buitenlander (orang asing), yang harus giat mencari informasi agar melek hukum di Belanda.
Untungnya semua informasi yang berkaitan dengan Pemerintah Belanda bisa diakses dari satu portal resmi, mencakup hampir seluruh bagian birokrasi di Belanda. Anda boleh mencoba mengakses rijksoverheid[dot]nl untuk memahami bagaimana keteraturan (organized) negeri ini mengatur rakyatnya. Hal ini sangat memudahkan kami untuk lebih memahami aturan yang berlaku di Belanda, tanpa perlu susah payah mendatangi kantor-kantor pemerintah. Asal kita rajin mencari tahu, saya rasa hidup di Belanda tidak sulit meski berbeda Bahasa dan Budaya.
Saya tidak sedang membanding-bandingkan Indonesia versus Belanda dalam hal administrasi, tapi saya mengagumi kerapian administrasi negara-negara Eropa dalam hal pencatatan yang mungkin saja ilmu ini justru diambil dari Nusantara. Cobalah tengok pada peninggalan leluhur kita, mereka selalu menggunakan prasasti untuk mencatat hal-hal penting, serta temuan-temuan benda prasejarah, lontar maupun babad dan serat. Hal ini sudah cukup menjadi bukti kuat bahwa nenek moyang kita adalah bangsa yang peduli pada literasi.
Hal lain yang juga ingin saya bagikan dalam tulisan ini khususnya tentang masalah pencatatan atau registrasi, mengambil contoh pada Negara Inggris, Switzerland, Polandia, dan beberapa Negara Eropa secara umum, mereka masih punya data lengkap perusahaan yang berdiri sejak era tahun 1920-an dan bisa diakses secara digital oleh siapapun yang membutuhkan info tersebut, bahkan kita bisa tahu apakah perusahaan ini masih berjalan atau sudah dilikuidasi. Saya membayangkan dalam lima atau sepuluh tahun kedepan, Indonesia juga akan mampu seperti negara-negara tersebut, tidak ada lagi kasus harus fotokopi e-KTP ketika akan daftar vaksinasi, data rakyat Indonesia terekam dengan baik dalam satu sistem yang terjaga keamanannya.
Kembali ke masalah administrasi kependudukan, terutama tentang pencatatan akta kelahiran, Belanda sangat berbeda dengan Indonesia, mulai dari aturan memberi nama anak, pemilihan nama belakang, nama depan, status anak dari kelahiran pasangan suami-istri, pasangan di luar nikah hingga pasangan homosexual sekalipun, sudah diatur pemerintah dengan jelas. Menariknya lagi, penyimpanan akta kelahiran juga dilakukan oleh pihak Gemeente (Pemda/Pemkot setempat).
Misalnya saya melahirkan anak di Kota Almere, maka anak saya kelak akan dicatatkan di Kota Almere dan akta kelahirannya tersimpan dalam database Gemeente Almere. Apabila anak saya pindah ke Kota lain lalu membutuhkan akta kelahiran untuk kepentingan studi atau lain hal, saya tinggal datang ke Gemeente Almere meminta print out akta dan bisa digunakan dengan masa berlaku sampai 6 bulan. Jika membutuhkan lagi setelah masa berlaku habis, ya tinggal minta cetak ulang ke Gemeente.
Berbeda dengan Indonesia, yang memberikan akta kelahiran kepada orang tua bayi sejak dilahirkan dan berlaku seumur hidup, apabila terjadi kerusakan/kehilangan baru bisa minta cetakan ulang kepada Dispendukcapil, itu pun harus membawa, lagi-lagi, fotokopi-an akta. Kasus pencatatan akta kelahiran ini yang sering menjadi konflik ketika orang Indonesia akan menikah dengan WN Belanda, karena kita diminta print out akta kelahiran terbaru yang berlaku tidak lebih dari 6 bulan dari tanggal cetak. Kalau kita tinggal di Jakarta, petugas Dispendukcapil mungkin paham keperluan cetak ulang akta kelahiran untuk kepentingan nikah dengan WNA, tapi sayangnya tidak begitu dengan petugas di daerah, akhirnya mau tidak mau harus belajar ngapusi petugas biar urusan lancar, berbekal surat kehilangan dari Kantor Polisi dan fotokopi akta lahir untuk pengajuan cetak ulang akte kelahiran.
Aturan Nama Anak di Belanda
Sebagai orang Jawa pandalungan, saya tidak punya nama belakang atau nama keluarga yang tercantum dalam surat resmi layaknya saudara-saudara kita dari Sumatra, NTT, NTB, Papua, Sulawesi, dan Bali. Ayah saya memberi lima kata untuk menjadi nama lengkap, tapi tidak ada surename maupun family name yang disematkan pada saya. Otomatis bagi saya, nama depan adalah nama paling depan, dan nama belakang adalah nama paling belakang, bahkan saya juga punya nama kecil, alias nama panggilan di rumah dan hanya diketahui oleh tetangga sekitar, mereka pun tidak tahu nama lengkap saya karena berbeda dengan nama panggilan.
Sedangkan di Belanda setiap anak wajib punya nama keluarga, setiap orang tua yang memiliki anak baru lahir, harus datang secara personal ke Gemeente untuk pengajuan pencatatan akta kelahiran maksimal 3 hari setelah hari kelahiran bayi. Ayah dari bayi atau pendamping ibu (jika single mother) wajib datang ke Gemeente bagian pencatatan kelahiran, perkawinan dan kematian (catatan sipil). Jika tidak ada ayah/pendamping ibu, bisa digantikan oleh orang yang mendampingi saat proses kelahiran, atau pemilik rumah dimana anak tersebut dilahirkan (proses lahiran dirumah), atau petugas Kesehatan dari Rumah Sakit tempat kelahiran bayi. Jika tidak ada semua pihak tersebut di atas yang mendaftarkan, maka dalam kasus ini deklarasi kelahiran dilakukan oleh dan atau atas nama Burgemeester (bupati/walikota) kota setempat.
Kita tidak perlu membawa bayi ke kantor pemda/pemkot, cukup membawa KTP untuk mengkonfirmasi nama anak yang diberikan dengan nama keluarga orang tua. Pendaftaran ini tidak dipungut biaya, tapi jika kita tidak mendaftarkan pencatatan kelahiran anak lebih dari 3 hari, maka orang tua akan mendapat denda dari pemerintah. Setiap orang tua berhak memberikan nama sesuai keinginan mereka kepada anak, tapi ada aturan baku dari pemerintah Belanda, tidak boleh memberi nama anak (nama depan) yang memiliki unsur kata sebagai berikut :
- Bespottelijke Namen (Nama buruk/aneh/konyol)
- Scheldwoorden (Nama sumpah serapah)
- Naam die bestaat uit heel veel namen (terdiri atas beberapa nama/banyak nama)
- Bestaande achternaam, tenzij dat ook een bestaande voornaam is (nama depan yang sama dengan nama belakang/keluarga)
Pihak Gemeente, berhak menolak nama depan yang akan didaftarkan jika tidak memenuhi kaidah normal, pemerintah akan memberikan nama depan bagi si anak jika orang tua tidak mau mengganti nama yang baik. Jika orang tua merasa keberatan dengan pemberian nama tersebut, maka diperbolehkan mengajukan keberatan melalui pengadilan dan harus menggunakan pengacara dalam kurun waktu 6 minggu dari hari pencatatan.
Saya sendiri tercengang membaca aturan yang sangat rinci. Entah hal ini pernah terjadi atau mereka memang sejak awal mengantisipasi hal-hal terburuk yang mungkin akan terjadi. Sebagai orang Indonesia yang kebetulan juga berlatar belakang budaya Jawa–Madura, rasanya tidak mungkin bagi saya untuk memberi nama buruk kepada anak cucu saya kelak, apalagi dalam ritual Jawa, pemberian nama juga sangat istimewa. Kita mengenal slametan bubur abang putih ketika akan memberi nama kepada bayi, dan ada juga adat mengganti nama anak karena dinilai kabotan jeneng (keberatan nama) yang dilakukan tetangga kami di Bondowoso, ketika anaknya sering sakit-sakitan, serta banyak masalah dalam perkembangan anak tersebut, meski secara administrasi nama anak tidak diganti. Dalam Islam, dan saya rasa semua agama, juga mengajarkan untuk memanggil seseorang dengan sebutan yang baik. Hal ini sempat diulas oleh Mbah Nun dalam salah satu video tanya jawab di kanal youtube caknun.com tentang nama dan menjadi orang seperti nama yang disematkan. Jadi istilah “apalah arti sebuah nama” kata Shakespear jelas terpatahkan, karena nama adalah doa dan harapan dari orang tua/pemberi nama untuk menjadi seperti apa yang disandangkan.
Sayangnya banyak nama-nama indah yang disematkan kepada seseorang, eh .. justru perilakunya tidak mencerminkan namanya sama sekali. Sebuah renungan bagi kita semua, terutama saya pribadi tentang apa arti nama yang disematkan kepada diri kita. Istilah Jawa mengingatkan saya tentang konsep Jeneng, Jenang, Jenat. Setiap orang punya jeneng (nama) dan setiap orang juga punya kemungkinan “golek jeneng” alias cari nama dengan memanfaatkan nama orang lain, tujuannya untuk mendapatkan Jenang (jajanan manis khas Jawa semacam dodol) yang sering dikonotasikan sebagai tahta/harta, kemudian Jenat (Almarhum) “nama depan” bagi orang yang sudah meninggal, lalu nama yang seperti apa yang akan kita tinggalkan?
Gajah mati meninggalkan gading …
…Manusia mati meninggalkan nama