Jembatan Kemashlahatan atau Kefasiqan
Siang hari di Masjid Tinambung, Polmas, sekarang Sulawesi Barat, ketika itu masih Sulawesi Selatan. 1979 atau 1980. Saya menyesal tidak mencatat hari, tanggal, dan bulannya. Yang masih tergores di ingatan saya adalah semacam kelegaan hati, ketenangan pikiran, dan kebanggaan budaya.
Melihat rakyat Mandar di Kecamatan Tinambung itu berbaris rapi, duduk bersila, penuh sikap ta’dhim dan tawadldlu’ kepada Pak Malik Mara`dia Raja Mandar.
Di daerah pelosok ini masih ada struktur sosial yang secara nasional sudah sirna. Mungkin di sejumlah hal di dalam budaya Kerajaan ada potensi feodalisme dan irasionalitas hubungan antar-manusia. Tetapi itu seharusnya bisa ditransformasikan ke dalam formula modernisme yang lebih rasional dan egaliter. Dan tidak harus sama sekali membuang dan mensirnakannya, sebagaimana keputusan sejarah Indonesia 1945.
Tidak sedikit juga dalam sejarah Nusantara Raja yang buruk atau dhalim. Tetapi sekurang-kurangnya masih ada ide dasar tajallullah ke dalam formulasi sosial manusia. Tuhan masih diakui, meskipun sambil diingkari dan dimanipulasi. Manunggaling Kawula Gusti bisa diklaim bahwa Raja menjadi Raja adalah karena titah Tuhan, bukan pilihan kehendak rakyat. Sehingga kepatuhan kepada Raja adalah kepatuhan kepada Tuhan. Dan itu mempeluangi Raja untuk berbuat sewenang-wenang kepada rakyatnya, atas nama Tuhan.
Maiyah menyumbangkan tafsir bahwa Manunggaling Kawula Gusti adalah menyatunya Tuhan dan rakyat di dalam jiwa seorang Raja. Kalau Raja menyakiti rakyat, Tuhan murka. Kalau Raja mengeksploitasi dan memanipulasi Tuhan, rakyat yang paling marah karena paling dirugikan.
Fenomena seperti itu berlangsung di semua wilayah di muka bumi. Ya Jawa ya Melayu ya Eropa ya Timur Tengah dan mana saja. Maiyah menyumbangkan tafsir bahwa Manunggaling Kawula Gusti adalah menyatunya Tuhan dan rakyat di dalam jiwa seorang Raja. Kalau Raja menyakiti rakyat, Tuhan murka. Kalau Raja mengeksploitasi dan memanipulasi Tuhan, rakyat yang paling marah karena paling dirugikan.
Mara`dia Mandar ini karena sudah termasuk Indonesia, tidak punya otoritas politik dan kekuasaan apapun. Bahkan hak Raja atas tanah di wilayah Kerajaannya sudah digusur juga oleh modernisasi NKRI sejak 1945.
Alinea kedua teks Proklamasi Indonesia 1945, “Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja”, sampai tahun 2021 ini tidak pernah ada penjelasan kekuasaan atas apa maksudnya, dialihkan dari siapa kepada siapa, kapan dilaksanakan, tanggal berapa, bulan apa, tahun berapa dan bertempat di mana.
Tidak pernah ada penyelenggaraan land-reform konstitusional yang menata pengalihan tanah milik Raja menjadi milik Negara Indonesia, yang peta dan logika urusannya menjadi lain sama sekali. Tiba-tiba yang kemarin milik para Raja, hari ini milik Negara Indonesia, kemudian sekarang jutaan hektar tanah menjadi milik para Konglomerat pribumi maupun non-pribumi.
Bahkan kalau dikejar dengan logika dan akal sehat, alinea-2 Proklamasi memperlihatkan bahwa alinea-1nya batal atau belum benar-benar terjadi. Karena pemindahan kekuasaan yang disebut itu tidak pernah dilaksanakan.
Di dalam Masjid Tinambung pagi itu, Mara`dia, tanpa kekuasaan politik dan hak atas tanah Mandar, ditakdhimi oleh rakyatnya. Semata-mata karena tradisi sejarah dan konsep tajallullah di atas.
Kekuasaan politik dalam Negara didasari oleh hak dan pemilikan tanah. Dan Mara`dia tidak lagi memiliki semua itu. Pak Malik sendiri tidak pernah mengeluhkan apa-apa tentang Indonesia. Ia menyayangi rakyatnya, semata-mata karena aspirasi rohaniah kehidupan manusia, dan bahwa ia adalah turunan dari Bapak-bapak zaman dulu di 7 Kerajaan Pantai dan 7 Kerajaan Pegunungan yang juga sangat dijunjung oleh semua rakyatnya. Intinya, semua junjungan dan penghormatan itu adalah “kasus” rohaniah ketuhanan.
Titik berat kehidupan Masyarakat Mandar adalah religiusitas dan mistik. Kalau Bugis adalah tradisi politik dan perdagangan. Makassar hamparan rakyat yang kultural. Toraja adalah empu-empu kesenian dan kebudayaan.
Ceritanya pagi hari itu saya dari Yogya ke Makassar kemudian tiba di Mandar. Sekitar 200 penduduk Tinambung dan sekitarnya sedang beramai-ramai pakai motor dan kendaraan lain menuju Majene. Mereka akan menyerbu Pasar Majene mencari orang yang mereka dengar menghina etos Pasukan Balanipa Mandar.
Mereka berduyun-duyun menuju Majene untuk mengamuk karena ini menyangkut harga diri Mandar dan Balanipa. Saya bersama Alisyahbana ambil motor, melaju kencang ke Majene, kemudian tampak rombongan pasukan Balanipa. Kami tancap gas membalapnya. Sekitar 200 meter di depan mereka kami berhenti. Turun dari motor. Motor kami silangkan di tengah jalan. Kemudian saya berdiri merentangkan kedua tangan untuk menghentikan laju pasukan itu.
Ternyata atas kuasa Allah mereka benar-benar berhenti. Saya langsung teriak memerintahkan kepada mereka agar kembali ke Tinambung dan berkumpul di Masjid.
Spontan mereka balik arah dan menuju Masjid. Saya kuntit di belakang, tapi begitu memasuki wilayah Tinambung, kami belok ke rumah Pak Malik Mara`dia. Kami berdialog singkat kemudian saya ajak beliau ke masjid menemui rakyatnya.
Mara`dia berpidato dengan bahasa Mandar, mewanti-wanti mereka agar bersikap lebih dewasa dan bijaksana. Saya menambahkan bahwa di sungai Mandar utara situ nanti akan dibangun jembatan modern yang merupakan bagian dari Jalan Lintas Sulawesi.
Jembatan itu akan memudahkan kalian mengakses kehidupan ke kota Majene, Polewali, Pare-pare hingga Makassar. Tapi jembatan itu juga akan memudahkan para penjajah masuk ke Tinambung. Kalian perlu berpikir akan mengambil sikap bagaimana agar jembatan itu bermanfaat bagi hidup kalian, tidak mengantarkan bahaya dan celaka bagi bangsa Mandar yang luar biasa ini”.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ
فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Jembatan Mandar itu bisa menjadi jalan untuk memperbanyak kebaikan, kesejahteraan dan kemashlahatan bagi rakyat Mandar. Tapi juga bisa menjadi jalan bagi datangnya golongan fasiq politik, fasiq ekonomi maupun fasiq budaya. Rakyat Mandar harus bermuhasabah, menyelenggarakan perhitungan yang matang untuk masa depan mereka sendiri sampai anak cucu.
ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ
وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang akan terjadi di masa depan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengabarkan apa yang kamu kerjakan untuk masa depan.”