CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (29)

Jaringan Pasrawungan dan Paseduluran

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 10 menit
Photo by Agto Nugroho on Unsplash

Di depan pintu masuk ke dalam makam induk Pasareyan Panembahan Senopati terhampar pasir bersih dan halus. Beberapa pohon nagasari membuat suasana teduh. Empat bangsal tempat tamu atau peziarah beristirahat atau menunggu diantar masuk oleh abdi dalem. Meski sudah hampir jam sepuluh pagi suasana sepi dan hening. Hanya kadang penduduk sekitar makam masuk lapangan pasir menuju gerbang sendang Selirang. Yang lelaki menuju sendang Kakung dan yang perempuan menuju sendang putri.

Peserta pertemuan Insani yang datang dari berbagai desa dan kota sudah hadir, duduk santai di hamparan pasir.

Cak Dil atau Adil Amrullah sebagai pengasuh rubrik Insani bersama saya tadi menemani teman-teman Insani blusukan atau rambling melewati jalan kampung dari gedung pertemuan Aisyiyah Kebohan masuk kampung Trunojayan, melewati depan Ndalem Sopingen, sampai barat rumah Kang Habib Chirzin belok kanan masuk lorong terus ke barat lewat depan kebun pisang dan rumah kuno yang pendapanya kurang terawat, lewat belakang bekas rumah juragan batik dan kelihatan tempayan raksasa berjejer tempat mencelup kain batik untuk membersihkan lilin pada kain. Lewat depan pendapa milik keluarga Mbah Anwar utara di dekat Masjid Perak.

Di utara masjid ada kompleks sekolah Muhammadiyah, SD dan SMP. Di tempat ini saya selama tiga tahun, dari kelas empat sampai kelas enam bersekolah di sini lengkap dengan suka dan dukanya. Di tempat ini pula kalau siang sampai sore, pada tahun-tahun pasca tragedi politik 1965 saya dan anak-anak dari berbagai kampung Kotagede mengikuti Diniyah Course yang materi pelajarannya berbeda dengan di sekolah. Lebih segar, lebih mencerdaskan dan lebih asyik bagi anak anak. Anak-anak Muhamadiyah ini diajari ngaji qiroah surat-surat pendek.

O ya, teman-teman Insani sesampai di depan Masjid Perak belok kiri masuk jl Mondorakan, berjalan ke arah barat lalu sebelum gedung bekas pegadaian swasta di zaman Belanda belok kiri. Melewati jalan semen yang halus, di antara rumah gedung besar berarsitektur Indische. Deretan rumah besar itu antara lain rumah keluarga Pak Rasjidi, Menteri Agama pertama Republik Indonesia. Di kanan jalan dulu ada Kantor Kecamatan Kotagede Surakarta (Kotagede Ska), lengkap dengan kantor polisi tingkat kecamatan (Polsek). Di depan kantor kecamatan ada bidan bernama Bu Gondo yang terkenal.

Kecamatan Kotagede Surakarta dulu, kecamatan enclave, wilayahnya luas dan menyeberangi wilayah kabupaten Bantul. Wilayah kecamatan Kotagede Surakarta ini punya wilayah sampai wilayah Wetan Opak, dari Segoroyoso sampai Wonolelo terus naik gunung sampai ke desa Terong dan Dlingo.

Dulu struktur organisasi dan wilayah organisasi Muhammadiyah mengikuti struktur administrasi ini. Dan Muhammadiyah cabang Kotagede justru memiliki wilayah gerak di Kotagede Yogyakarta dan Kotagede Surakarta sekaligus. Termasuk kampung Rejowinangun dekat Gembira Loka, yang disebut sebagai Kotagede Utara. Ketika saya aktif di Pemuda Muhammadiyah Cabang Kotagede yang waktu itu dipimpin Kang Habib Chirzin yang baru pulang dari Gontor, kalau meninjau Ranting Pemuda Muhammadiyah sampai pelosok Wetan Opak dan wilayah gunung di Terong dan Dlingo. Ini yang menyebabkan jaringan pasrawungan saya menjadi cukup luas. Belum lagi jaringan pasrawungan para murid PGAL yang sampai Piyungan, dan sampai utara Imogiri.

Nah, teman-teman Insani kami kenalkan dengan sejarah pasrawungan wong Kota ini. Dari tempat depan rumah Pak Rasjidi rombongan teman-teman Insani kami ajak masuk kampung Celenan menuju Masjid Gede Kotagede dan kompleks makam Pasareyan Panembahan Senopati. Waktu lewat depan ngangkur atau beteng makam kami melihat ada bekas benteng yang dijebol dan ditutup kembali. Menurut cerita Ayah, jebolan beteng ini dulu dipakai untuk lewat kerangka jenazah Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir yang diputer dari makam di Pajang. Makamnya disatukan dengan makam Ki Ageng Pemanahan, Juru Mertani, Panembahan Senopati, Ratu Kalinyamat, Sri Sultan Hamengku Buwono II, Paku Alam I sampai IV dan ada makam simbolis Ki Ageng Mangir.

Rombongan teman-teman Insani setelah melihat Masjid Gede Kotagede lalu kami ajak ke Sendang Selirang kemudian diskusi di hamparan pasir.

Waktu itu anak Insani dari Kotagede cukup banyak. Buldanul Khuri, Erwito Wibowo, Ahsin Nuri, Urkham Lutfi terus ada adiknya Mas Mustofa ‘Ishom. O ya waktu saya kecil dan remaja di Kotagede ada empat Mustofa. Saya sendiri, Mustofa W Hasyim, lalu ada Mustofa ‘Ishom, ada Mustofa N dari Basen yang penari klasik, dan ada Mustofa Hadi adiknya Kang Habib Chirzin yang kemudian menjadi pengasuh pesantren Darunnajah Jakarta.

Di hamparan pasir itu saya menggambar jaringan pasrawungan orang Kotagede. Mengapa orang Kotagede dulu cenderung akrab bergaul secara komunal dan bisa saling mengenal satu sama lain walau jarak antar tempat tinggalnya berjauhan? Misalnya saya yang tinggal di kampung Pondongan bisa kenal dengan orang Rejowinangun, orang Mutihan bahkan Kemasan yang jaraknya lebih satu kilometer? Begitu sebaliknya. Karena ada beberapa persamaan yang menghubungkan mereka. Pertama, persamaan agama. Agama Islam mempersaudarakan warga Kotagede. Mau shalat Jum’at atau tarawih di mana saja terasa seperti di kampung sendiri. Dan ini dibuktikan dengan pengalaman saya dan teman-teman ketika melakukan safari taraweh atau Jum’atan. Atau safari takjilan sehingga bisa mengenal menu utama masing-masing masjid atau musholla atau langgar.

Kedua, ada persamaan organisasi dan ortom. Muhammadiyah dan ortom (organisasi otonom) mempermudah anak atau wong Kotagede saling mengenal, saling kerjasama dan kadang saling beradu prestasi dalam lomba. Puluhan pengajian anak-anak yang dipayungi oleh Muhammadiyah sering mengadakan lomba antar anak pengajian. Waktu dipilih saat mengadakan peringatan hari besar Islam atau milad pengajian atau milad organisasi.

Ketiga, ada persamaan hobi atau kegemaran. Untuk anak-anak, remaja, dan orang dewasa sama saja. Mereka yang hobi atau kegemarannya sama mudah saling ketemu. Misalnya, orang-orang yang punya hobi memelihara burung perkutut. Mereka sering bertemu di pasar Kotagede saat pasaran Legi, atau bahkan sehari sebelumnya saat pedagang burung perkutut sudah datang ke Kotagede. Para penggemar burung perkutut mengerumuni penjual burung perkutut. Mereka memperbincangkan kualitas bakalan atau burung yang hampir jadi. Yang masih awam mendengarkan dan menyimak pembicaraan para ahli burung perkutut. Diselingi dengan obrolan tentang burung perkutut siapa yang menjadi pemenang dalam kontes atau lomba perkutut. Juga diobrolkan berapa harga burung yang menenangkan perlombaan ini.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Mabuk dan Berpenyakit Gila

Mabuk dan Berpenyakit Gila

Di masa ‘sugeng’ beliau, Ibu saya Halimah tidak satu kali pun pernah “nrombol” mengintervensi waktu, kegiatan, dan hidup saya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version