Jaringan Pasrawungan dan Paseduluran
Pembangunan jaringan langgar yang mengelilingi Kotagede mulai dari Joyopranan, Selakraman, Boharen, Dolahan, Nyamplungan, Basen, Kleco, Darakan, Bodon, Njurang, Citran, Alun alun Selatan. Kehadiran Langgar dhuwur atau langgar endhek baru ini melengkapi hadirnya Langgar sepuh seperti Langgar Dalem yang dulu ditempati Kiai sakti bernama Mbah Berar (Abror) yang keturunannya kalau Ramadhan memanjat pohon kelapa untuk melantunkan tarhim tanda waktu sahur. Waktu saya kecil sambil terkantuk-kantuk saya dan saudara saya makan sahur sambil menikmati alunan tarhim Lik Barqun (yang kemudian saya tahu artinya petir).
Lewat jaringan langgar pathok ulama ini kegiatan reislamisasi Kotagede dilakukan oleh Kiai atau ulama baris pendem, yang sebagian besar merupakan diaspora veteran perang Diponegoro yang masuk Kotagede dengan menyamar, mengganti nama dan busana ulama dengan busana Jawa. Di kemudian hari, tahun 2000, Langgar bekas jaringan pathok ulama Kotagede ditambah puluhan musholla kampung berubah atau mengalami transformasi menjadi masjid sampai kemudian di Kotagede tercatat ada 50 masjid. Yang menjadi aktivis masjid, menjadi takmir, imam shalat, muadzin sebagian saya kenal sebagai alumni pengajian anak-anak, mantan aktivis ortom, mantan aktivis pecinta alam murid ngaji di pengajian anak-anak dan para pendatang atau generasi migrasi masa Orde Baru. Bahkan ada mantan murid ngaji yang sempat menjadi warrior terkenal, bertaubat menjadi muadzin bertato di sebuah masjid baru.
Pusat pasrawungan bernama gardu ronda atau lurung kampung kemudian hari pindah ke pusat pasrawungan warung angkringan dan warung makan yang tersebar di banyak titik kota.
Pusat pasrawungan bernama pasar kalau Kotagede bernama Pasar Legi atau Sargede setiap pasaran Legi ramai sekali sampai jalan di seputar pasar macet. Orang-orang merayakan kegembiraan berjual-beli dengan datang ke pasar ini. Mau membeli tanaman hias dan bibit tanaman buah dan sayur ada. Mau membeli binatang unggas macam-macam ada, ikan hias ada, membeli obat herbal dan kuat ada, mau membeli busana ikat pinggang topi ada. Mau membeli akik ada, mau membeli jamu ada, kue snack melimpah, dulu mau membeli buku-buku bekas dan majalah bekas ada.
Pasar Legi yang berdiri seiring dengan berdirinya kerajaan Mataram Islam ini menjadi pusat pergaulan lintas kota, desa dan lintas daerah sehingga kabarnya Ki Juru Mertani sebagai pengendali telik sandi Mataram Islam menggunakan pasar sebagai lokasi operasi para telik sandi dan untuk mendeteksi adanya penyusup dari luar.
Saya kemudian melakukan studi tentang srawung dan pusat pasrawungan model Kotagede. Sebab, menurut Kang Daliso Rudianto, setiap lokasi bekas pusat kerajaan pasti ada pola (pattern) budaya tertentu. Di Kotagede kemudian saya temukan bahwa pusat pergaulan atau pasrawungan ternyata ada tujuh. Tidak terbatas empat. Yaitu, rumah, langgar, lurung, pasar, ditambah donya jembar atau tanah rantau, tuk atau sumber air dan kramatan atau makam. Warga masyarakat menggunakan tujuh lokasi sebagai pusat dari jaringan pasrawungan.
Di tanah rantau mana saja, khususnya di Jawa, saya merasa muda ketemu sesama orang Kotagede. Ketika saya kost dan kontrak rumah berpindah-pindah ke enam kampung dalam kota Yogyakarta pasti ketemu tetangga yang asalnya Kotagede.
Kemudian tuk atau sumber air yang diidentifikasi dari skala volume airnya disebut tuk atau mata air kecil, lalu ada belik tempat orang mandi, lalu ada sumber tempat orang mandi dan mencuci pakaian, ada blumbang tempat orang memelihara ikan dan toilet, lalu ada sendang tempat orang macam-macam, lalu ada rawa, telaga dan danau atau segara cilik. Di wilayah Kotagede tidak ada rawa, telaga dan danau. Yang lain itu ada. Bahkan waktu pohon beringin sepuh kembar di depan kompleks makam Pasareyan Panembahan Senopati masih rimbun, di kampung dan halaman rumah di bawah kompleks makam sering muncul mataair si sela tembok batu putih.
Dan kalau orang ingin ketemu dengan sebagian besar warga kota datangi makam saat ada pemakaman warga kota yang meninggal. Takziah bisa menjadi semacam reuni.
Nah kemudian diskusi rutin di Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyyin pernah membahas secara khusus topik srawung ini. Ditemukan semacam proses sosial yang bertingkat dan makin tinggi makin berfungsi positif.
Level pertama, srawung itu sendiri. Bergaul dalam kehidupan bersama. Level tepung atau saling mengenal, proses lita’arofu. Lalu masuk ke level dunung atau level memahami posisi masing-masing. Fungsionalisasi srawung pasca level dunung adalah tetulung atau ta’awanu. Ta’awanu ‘alal birri wat taqwa baru asyik dan mungkin dilakukan setelah level ta’arofu dilalui.
Waktu sekolah di Pendidikan Guru Agama saya dikenalkan dengan ayat-ayat PGA, maksudnya ayat-ayat yang harus dihafalkan oleh murid PGA sehingga kalau suatu saat saya menjadi makmum shalat Jum’at imam membaca ayat ini dan diulang lagi dalam shalat Jum’at berikutnya dapat diduga Imam ini dulu lulusan PGA atau Muallimin lawasan.
Salah satu ayat favorit PGA adalah rangkaian ayat di dalam surat Al-Hujarat yang diawali dengan ayat innamal mukminuna ikhwatun fa ashlihu baina akhowaikum dan seterusnya. Fa ashlihu baina akhowaikum ada yang mengartikan srawungana kanthi apik sedulurmu.
Dan ini mengingatkan adanya hadis tentang perintah bergaul dengan baik dengan orang lain. Ini kemudian dibuat menjadi lagu pujian Jawa yang saya temukan di pegunungan Banjarnegara. Teks lagu ini berbunyi:
Kanjeng Nabi wis ngendika urip
aja sembrana
urip aja sembrana
srawungana kanthi apik marang kabeh menungsa
marang kabeh menungsa.
Yogyakarta, 14-16 Agustus 2021.