Jaringan Pasrawungan dan Paseduluran
Aktivis penggemar burung perkutut bergabung dan berkomunikasi akrab tanpa sekat apapun. Sekat juragan buruh, sekat partai kanan atau kiri, sekat santri abangan dan sekat lokasi tempat tinggal dan sekat lainnya hilang dan tidak berfungsi ketika mereka berkumpul memasuki dunia perburungan dan perkututan.
Di kalangan mereka para ahli atau master burung perkutut sangat dihormati. Salah satu master perkutut adalah ayahnya Kang Habib Chirzin bernama Mbah Chirzin. Kalau beliau dengan cermat mengamati burung perkutut muda atau bakalan dan tangannya membawa lidi yang sudah diberi getah atau pewarna, orang-orang yang nonton sangkar besar milik pedagang perkutut tegang. Begitu Mbah Chirzin secepat kilat menggerakkan tangan bagai pendekar melontar jurus orang makin tegang. Apalagi ketika lidi sudah menyentuh bakalan burung sebagai tanda burung perkutut itu telah dipilih untuk dibeli, dipelihara dan dibesarkan dan dilatih menjadi burung perkutut unggul. Seorang ahli memilih bakalan yang berbakat jadi burung perkutut unggul karena melihat ciri ciri khusus pada bakalan burung ini.
Di tempat lomba pun para master atau maestro perkutut menjadi rujukan penggemar burung perkutut. Ketika suatu hari libur sekolah pas pasaran Legi, Jihad Gunawan yang teman salah satu adik Kang Habib diajak Mbah Chirzin beraksi di pasar Legi, dia kagum atas keahlian dan keterampilan Mbah Chirzin memilih bakalan burung yang berbakat. “Kalau saya mau menguasai ilmu niteni perkutut seperti tadi dibutuhkan waktu berapa Pak?,” tanya Jihad Gunawan kepada Mbah Chirzin.
“Paling tidak perlu waktu dua tahun. Itu harus belajar dengan tekun, telaten dan tidak bosan bergaul dengan burung perkutut,” jawab Mbah Chirzin. Ini pernah diceritakan oleh Jihad Gunawan kepada saya suatu hari.
Untuk hobi pecinta alam Kotagede, grup yang didirikan oleh teman-teman bersama Kang Abdul Muhaimin lewat jalan kaki Kotagede-Wonosari menjadi rujukan grup pecinta alam lainnya. Sebab, grup pecinta alam bernama Lapenta Mataram ini anggotanya serius. Kebanyakan menjadi kakak pembina Pramuka, atau guru pengajian anak anak atau yang punya jaringan dengan grup pecinta alam kelas satu di Yogya seperti Nadawirna atau Mapala. Saya sebagai sekretaris Lapenta Mataram tahu betul keseriusan teman teman ini. Ilmu kepecintaalaman, kepanduan, PPPK bahkan cara meneliti kualitas air dipelajari. Peralatan hiking dan mendaki gunung juga dimiliki relatif lengkap. Orang-orang waktu itu menyebut ini sebagai grup pecinta alam ilmiah. Tapi nggak papa. Yang penting kami akrab dengan para pecinta alam sekota kecamatan tanpa dibatasi sekat grup atau kelompok.
Berikutnya, wong Kotagede bisa bergaul atau srawung luwes sesamanya karena sebagian besar warga kota masih bersaudara. Ada persaudaraan baru karena pernikahan yang peknggo (ngepek Tonggo omah atau tonggo kampung) maupun persaudaraan atau ada pertalian darah yang berjalin antar inter anggota Bani, ada Trah juga karena pertalian darah antar Bani dengan Bani, Bani dengan Trah dan Trah dengan Trah. Seseorang biasanya menjadi anggota lebih dari satu Bani atau Trah. Dan ini makin diperasyik dengan perkawinan silang antar kampung atau antar anggota Bani dan Trah ini.
Lalu ada persamaan wong Kotagede atau cah Kotagede karena sama-sama pernah sekolah di sekolah yang sama. Apalagi di Kotagede waktu itu sudah banyak sekolah dari SD sampai sekolah menengah. Para alumni saling mengenal, bahkan dengan orang dari luar kota atau luar pulau. Kang Charis Zubair kenal dan akrab dengan Kang Abdul Muhaimin karena sama-sama pernah menjadi murid SD Muhammadiyah Kleco Kotagede. Saya akrab dengan Darwis Khudori karena dia pernah satu sekolah di PGA sebelum pindah ke SMP Muhammadiyah VII Kotagede. Lagi pula saya dan dia ada jalur keluarga dan sama-sama pernah aktif di IPM tingkat Kelompok (Ranting).
Saya menggambar persamaan pergaulan yang menjadi jaringan pasrawungan Cah Kotagede dan Wong Kotagede di hamparan pasir itu. Teman-teman Insani menyimak uraian saya sambil melontar pertanyaan di mana perlu.
Pada suatu hari ada lomba menulis kota kenangan. Saya menulis tentang Kotagede. Waktu itu saya menemukan persamaan antara Kotagede dengan masyarakat Minangkabau. Misalnya adanya empat pusat pasrawungan. Yaitu rumah, Langgar atau surau, pasar dan gardu ronda atau lepau atau kedai kopi. Rumah adalah pusat pasrawungan pertama. Rumah keluarga induk Kotagede yang biasanya besar dan luas dihuni beberapa keluarga. Ini mirip dengan yang terjadi di dalam rumah gadang.
Pusat pasrawungan kedua adalah langgar atau surau. Anak-anak mengenal tetangga dan anak tetangga karena sama-sama mengaji di sini. Saya dulu bahkan biasa belajar suntuk menjelang ulangan umum di Langgar Ngledok dekat rumah kakek. Saya kalau dolan ke langgar keluarga Kang Abdul Muhaimin kadang tidur di sana kalau pas hari libur. Sehabis peristiwa tragedi politik tahun 1965 di kampung sebelah timur kampung saya dibantu Langgar yang diberi nama Langgar Adz Dzikro, tempat orang menjadi eling marang ajaran agama.
Langgar ini dibangun di atas tanah wakaf juragan perak yang asalnya dari Kemiri Kebumen. Letak langgar ini persis di depan rumah rekonsiliasi di mana pasca tragedi politik Itu orang Kanan dan Kiri berdamai dan sama sama menggunakan rumah ini sebagai tempat berjamaah tarawih untuk pertama kalinya sejak tragedi politik Itu. Zaman itu memang biasa orang kampung kalau tarawih menggunakan rumah orang. Tuan rumah atau shahibul bait bangga dan bersyukur jika rumah dia terpilih menjadi tempat tarawih tahun itu. Ini juga berlangsung pada tarawehan anak-anak.
Ketika jamaah tarawih makin banyak dan emper rumah tidak mencukupi untuk shalat berjamaah maka muncul ide untuk mendirikan langgar yang dipergunakan shalat tarawih dan shalat berjamaah lintas kampung. Langgar ini juga pernah dipergunakan untuk pengajian anak-anak yang asyik.
Dan di Kotagede pada zaman kejayaan industri batik, perak, dan konveksi dan era kejayaan pedagang Kotagede pernah berdiri jaringan sepuluh Langgar Pathok Ulama. Pendirian jaringan langgar pathok ulama didasari oleh ungkapan rasa syukur secara kolektif atas kejayaan ekonomi dan upaya untuk melakukan reislamisasi Kotagede yang sejak perpindahan ibukota kerajaan Mataram Islam dari Kotagede ke Kerta dan Plered maka Kotagede mengalami proses deislamisasi yang lumayan akut karena para ulama ikut pindah ke ibukota Mataram yang baru.