Jaringan Komunitas Pemakan Bangkai
Pengalaman masa kanak-kanak saya di Menturo hanya sangat indah. Masuk desa Gontor 1964 keindahan itu memuat keragaman baru. Menggembalakan kambing “gibas” atau disebut “Wedus Ustrali” di Menturo ditambah pengalaman di rumah Pak Carik Gontor dengan diserahi perawatan kambing Jawa. Makannya bukan rumput, melainkan “rambanan”atau daun-daunan. Jadi kalau di Menturo saya “ngarit”, di Gontor saya “ngramban”.
Desa Gontor lebih udik budayanya dibanding Menturo, lebih tradisional pakaian dan kebiasaan hidup penduduknya. Juga lebih “abangan” dibanding Menturo yang “Desa Santri”. Di Menturo orang sudah mengambil dari Al-Qur`an dan Islam nama anak-anaknya, meskipun “Bahrudin” akhirnya dipanggil “Brakodin”, “Adnan” menjadi “Denan”, “Zain” menjadi “Jen”, “Nuhin” menjadi “Nukik”. Di Gontor orang-orang bernama “Pauwan”atau tempat sampah, “Gudel” alias anak kerbau, “Sepet” atau sabut, atau “Pak Watang” alias penggalah.
Di Gontor saya dan teman-teman sesama anak-anak bahkan sempat mengetahui bagaimana cara penduduk desa berselingkuh antara suaminya ini dengan istrinya itu. Di Gontor saya lebih mengenal sungai, sawah-sawah, juga teman-teman baru yang tidak lokal. Teman SD saya non-Jawa pertama bernama Arnudi Isa Bardin, asal Pedamaran, Kayuagung, Palembang. Saya mencicipi percikan pluralisme atau “syu’uban wa qabail” di Gontor. Tetapi perlombaan, persaingan hingga pertengkaran dan perkelahian, sama saja di Menturo atau Gontor.
Teman-teman SD sekelas saya sudah besar-besar, mungkin mereka beberapa kali tidak naik kelas. Dan selalu menjadi ancaman bagi saya yang berbadan pendek dan tidak besar. Maka saya belajar menemukan “fadhilah”dari Tuhan: boleh kalah berkelahi tapi harus menang di bidang lain. Saya tim inti Kabupaten Ponorogo untuk Porda atau PON daerah untuk pertandingan sepakbola dan kasti atau baseball. Saya bisa menangkap operan bola dari arah belakang tanpa menoleh dan melihat bola itu, saya bisa “dibebek” dilempari bola kasti yang atos dan keras tanpa menyentuh badan saya karena strategi gerak dan momentum. Sebelum saya masuk Pondok Gontor, di Madrasah Ibtidaiyah saya disayangi oleh Ahmad Tauhid, putranya Kiainya Gontor, KH Ahmad Sahal, karena bisa mengalahkannya dalam olahraga, sepakbola, lompat jauh, lompat tinggi maupun “engkol” atau adu tekanan tangan. Ketika kelak saya diusir dari Pondok Gontor Maret 1968, Ahmad Tauhid, putra Kiai Sahal sesepuh Pondok Gontor menangis dan mengantarkan saya mencari dokar untuk ke Ponorogo. Dia juga yang memohon kepada Bapaknya agar saya ditarik kembali masuk ke Pondok, dan dikabulkan, tapi saya menolak dan tetap pulang ke Menturo untuk belajar “tirakat” kepada Ibu saya dan belajar wirid, hizib, sampai wacana “santet” kepada Ayah saya.
Sesudah itu di Yogyalah saya mengalami dunia yang “sebenarnya”: kecurangan, kedengkian, persaingan kotor, pengucilan, yang berlangsung awalnya di dunia kekuasaan dan politik, kemudian merasuk ke semua wilayah lainnya, termasuk alienasi dalam kehidupan beragama dan dalam pemetaan di kalangan seniman. Di Yogya saya kuliah kehidupan untuk mengenali “Fasiq, Fasid, Hasid, Munafiq”, seperti saya paparkan kemarin, sampai akhirnya sampai ke era Covid.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا
أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Perubahan dari peradaban tradisional menuju peradaban modern tidak membuat manusia dan masyarakat jadi lebih rasional dan dewasa. Bahkan salah satu prestasi modernism adalah penyempurnaan teknologi penyediaan alat untuk ghibah, bergunjing, memakan saudaranya sendiri. Bahkan sekarang kita sudah menjadi masyarakat pemakan bangkai. Allah berfirman: Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”.
Tidak. Kita tidak merasa jijik. Klaim Allah “fakarihtumuh” itu tidak berlaku untuk kita. Kita justru sangat hobi makan keburukan orang, bahkan kalau tidak buruk justru kita buruk-burukkan. Asal segolongan sama kita, semua kita puji dan kita baik-baikkan. Kalau tidak bersama kita, kalau tidak memilih Presiden yang sama dengan pilihan kita, maka mereka semua adalah Setan Iblis Demit Tetekan Priprayangan. Kitalah Malaikat. Kitalah golongan Nabi dan Satriya Piningit. Kitalah pahlawan bangsa. Hanya kitalah saja yang benar, yang baik dan mulia.
Kita membangun lingkaran-lingkaran komunitas pemakan bangkai. Kita melakukan pekerjaan dan kegiatan, ucapan, sikap dan tindakan yang seburuk-buruknya dan sehina-hinanya untuk ukuran manusia dan kemanusiaan. Tapi pada saat yang sama kita merasa diri kita yang paling benar, paling baik, dan paling berjasa.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Yang benar aja. Mana mungkin bangsa Indonesia utamanya masyarakat milenial “rakyatnya media” menerapkan kearifan dan kasih sayang Allah lewat ayat itu. Orang “mu`min” itu bersaudara. Siapa yang mukmin? Hanya kita yang mukmin. Mereka di sana kan kafir, dholim, makar, anarkis, melawan negara. Siapa Pandawa selain kami? Mereka kan Kurawa, mereka Sengkuni, Dursasana, Durna, Aswatama, paling pol Adipati Karno.
Tapi menurut Allah kalian semua bersaudara? Bersaudara bagaimana? Sejak zaman bahola Pandawa ya harus memerangi Kurawa. Kita tangkap saja, apalagi bikin kerumunan di tengah pandemi. Tahan saja. Kecuali yang pro kita. Penjarakan saja. Syukur-syukur bisa hukuman mati atau minimal seumur hidup. Taruh di pulau jauh untuk mengasingkan dia.
Semua pihak merasa dirinya yang benar, yang mukmin, yang Pancasilais, yang nasionalis, yang Pandawa. Tidak perlu berhadapan langsung secara militer saja mereka sudah saling membangkaikan satu sama lain melalui pernyataan-pernyataan, tayangan, upload, share, buzzering, bullying, “yaghtab ba’dluhum ba’dla”.
Hobi bener sekarang ini kita membangkaikan orang lain. Pasti itu karena kita sendiri berjiwa bangkai. Manusia yang jiwanya sudah mati dan menjadi bangkai, meskipun ekspresi jasad dan budayanya mewah, berkuasa atau kaya raya di dunia.