Jari Telunjuk di Bibir
Kelak anak saya Sabrang mengajari saya bahwa hidup ini terasa bagaimana bergantung pada “cara pandang, sisi pandang, jarak pandang, resolusi pandang dan kepentingan pandang”. Peristiwa jihad 3 bungkus nasi itu tidaklah seujung jari dibandingkan kepahitan kemelaratan kami di Menturo.
Apalagi di antara 4-E Kadipaten (Emha, Eha, Eko, Ebiet), ada satu yang sukses besar sebagai penyanyi nasional yang suaranya berkumandang ke seantero Nusantara. Pasti bisa dibayangkan “risiko” keuangannya. Besok pasti tidak ada lagi kisah Warung Payon Plastik 3 bungkus nasi sakit jiwa penghutangnya.
Saat-saat itu saya masih belum selesai lelaku begadang di Malioboro dengan guru besar Umbu Landu Paranggi. Sesekali Ebiet ikut begadang, tapi mustahil bisa sampai pagi. Sebab hidupnya benar dan tertib, sehat dan tertata. Bahkan puisi Umbu “Sabana II” sempat dibikin lagu oleh Ebiet, sesudah Umbu bikin lagu sendiri “Sabana I”, di samping Deded R. Moerad juga mengaransir “Sabana II”, berdampingan dengan lagunya guru kami yang lain, Bang Ashadi “Cintaku di Kampus Biru” Siregar yang berjudul “Mahesa Jenar”, tokoh utama novel klasik SH Mintardja “Nogo Sosro Sabuk Inten”.
Suatu sore ketika Eko dan Eha Kartanegara sedang bergembira ria saling bercerita dengan bahasa “ngapak” karena Eko asli Tegal, dan Karta Pekalongan dengan mudah menyesuaikan lidahnya menjadi “ngapak” — tiba- tiba ada mobil sedan bagus nongol dan langsung parkir di bawah pohon waru di depan kios kost saya. Pengenderanya turun dan langsung berteriak: “Cak, titip ya!”, kemudian ia berjalan menuju gang masuk kampung.
Eko dan Eha yang tahu bahwa Ebiet datang berkunjung dari Jakarta, domisilinya sesudah kasetnya sangat laris dan viral, makin menjadi-jadi ngobrolnya, ditambah berkwintal-kwintal tawa gembira dan joget-joget seperti anak-anak Panti Asuhan Yatim Piatu didatangi Pengasuhnya. Memang siang itu kami bertiga belum makan. Tidak dalam rangka puasa prihatin, melainkan memang tidak punya uang untuk beli nasi. Sejak pagi tembakau bekas merokok semalam sudah kita linting kembali dengan kertas koran.
Ketika Eko dan Eha sedang asyik-asyiknya berkhayal dan menebak kira-kira akan akan makan nanti ditraktir Ebiet, kalau bisa sih tongseng Ngasem — tiba-tiba pula terdengar suara mobil mengaum digas keras. “Pamit sik yo, Cak!”, terdengar Ebiet berteriak. Kami kaget luar biasa, tapi tidak lantas menderita. Eko dan Karta bahkan semakin memel guyonnya di antara mereka, sampai giliran banting membanting segala.
Ebiet tetap pahlawan dan adik tercinta yang kami sayangi. Dulu ketika kami ke Surabaya naik kereta Purbaya yang penuh sesak, hanya tersisa satu tempat duduk, menghadap ke belakang dengan tangan bisa diletakkan di tanganan kursi sebelah kanan. Pastilah itu untuk Ebiet. Eko dan Karta belum cukup derajat untuk duduk di kursi, saya pun hanya numpang meletakkan seperempat pantat kiri saya di tanganan kursi Ebiet. Pun nanti di tengah perjalanan, kepala Ebiet yang capek karena tegak dalam posisi duduk, ia sandarkan di tangan dan pundak kiri saya.
Dari Kadipaten Eko pulang menghimpun segala kemungkinan untuk menyelenggarakan pentas Ebiet, sebelum dia terkenal. Demikian juga Karta ke Surabaya memperjuangkan hal yang sama buat Ebiet, untuk pentas di Surabaya ataupun Pekalongan. Sampai-sampai ditunutkan sebelum pentas Leo Kristie Ebiet dipersilakan naik panggung. Kliwon, tukang becak tetangga Karta di Surabaya, ikut kerja keras mengantarkan Ebiet ke manapun pergi. Sekian lagu-lagu Ebiet yang dikenal publik ia ciptakan di Pekalongan. Oso, adiknya Karta, membawa gitar Ebiet dengan berjalan memeluknya setiap kali ada keperluan. Demikian juga pekerjaan Eko kalau di Yogya. Eko bagian membawakan gitar Ebiet, dan kalau hujan gitar itu harus dilindungi oleh badan Eko atau Oso.
Ternyata Allah mengabulkan, di tahun 1978 itu Ebiet sukses besar. Bayangkan bahagianya Eko, Karta, Oso dan apalagi saya. Ketika ada Pertemuan Sastrawan Nusantara di TIM Jakarta, Ebiet diminta untuk pentas membawakan lagu-lagunya yang legendaris. Sore-sore ia nongol dari gerbang Cikini Raya 73 itu, dan Oso berlari menyongsongnya sambil berteriak seperti slow motion film: “Mas Eeeeebiiiiiieeeet…”. Ebiet menaruh jari telunjuk kanan ke bibirnya untuk menenangkan Oso, mungkin karena dramatikanya agak overdosis alias lebai di depan banyak orang. Akhirnya Oso menghentikan larinya dan kembali ke tempatnya semula duduk-duduk di depan Teater Arena.
Untuk pementasan di depan para sastrawan Nusantara itu Ebiet minta tolong saya untuk maju berdua dengannya ke panggung. Ini meneruskan ketika selama di Yogya dulu kami selalu maju berduet nyanyi di panggung- panggung, puncaknya di Karta Pustaka, Lembaga Kebudayaan Kerajaan Belanda. Sudah pasti saya memenuhinya karena cinta kepadanya. Hanya saja saya menyarankan Ebiet dulu yang coba naik panggung, nanti setelah satu dua lagu baru memanggil saya untuk menyertainya.
Maka sore itu di Wisma Seni TIM tempat saya menginap, kami berdua berlatih nomor-nomor yang akan kami bawakan. Konsep dan keputusan sudah fix dan bulat. Kemudian malamnya saat pentas pun tiba. Para sastrawan se-Indonesia memberi aplaus luar biasa kepada kehadiran Ebiet. Makai ia mulai menyanyikan satu lagu, dua lagu, terus tiga dan empat lagu hingga terakhir. Allah Swt memberinya hidayah agar tak perlu memanggil saya naik panggung, karena Allah cenderung kepada ketangguhan hamba-Nya untuk menjadi “fa’il” dengan dirinya sendiri. Sebagaimana orang bersyahadat dan shalat, harus dilakukan dengan dirinya sendiri. Jangan disyahadati dan dishalati, kecuali nanti kalau ia sudah mati.