Istikharah Model Baru
Perjumpaan dengan sedulur Maiyah kerap dirasakan sebagai pertemuan dengan saudara sendiri yang lama tidak berjumpa. Pengalaman itu juga saya rasakan ketika bertemu sedulur Maiyah yang rajin duduk di shaf paling depan Pengajian Padhangmbulan.
Usianya masih sangat muda, sepantaran usia anak saya nomor dua. Ia pembelajar Maiyah yang sungguh-sungguh. Lebih dari pembelajar—Zaki, nama sedulur kita, adalah tipologi penghayat keindahan nilai yang ditemukan melalui majelis Maiyah. Intensitas penghayatan terhadap keindahan itu kadang membawanya pada sikap nekat yang menjadikan dirinya sendiri sebagai “objek penelitian”.
Ia berhasil memaksa dirinya agar titen dan niteni, misalnya tentang satu kata dua kata yang diucapkan Mbah Nun. Ia bercerita, di tengah gundah gulana hatinya ia melakukan istikharah model baru. Dibukanya channel Youtube CakNun.com. Ia menggeser layar HP. Sekian detik layar bergerak ke atas, spontan jari-jarinya menghentikan layar.
Apa yang dia dapat? Video Mbah Nun berjudul Anak Yatim dan Negara. Mbah Nun seperti berbicara langsung kepadanya: “Barang siapa anak manusia di muka bumi, berapa pun umurnya, kalau dia tidak memperoleh hak-haknya sebagai anak, maka dia yatim…”
Mak tratap! Hatinya berdesir. Ia bersegera lari ke masjid untuk shalat Isya. Belum tuntas hati yang berdesir-desir akibat “Anak Yatim dan Negara”, surat yang dibaca imam shalat Isya adalah Al-Maun. Surat ke-107 itu “menyindir” manusia: “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim…”
Momentum itu merampas pikirannya. Diamanahi sebagai pengurus pondok pesantren yang menjadi “bapak”nya anak-anak santri mengapa saya meyatimkan mereka? Mengapa selama ini saya abai terhadap tugas dan kewajiban saya? Ketika para santri tidak memperoleh hak-haknya dari pengurus, bagaimana jika karena itu saya justru jadi mukadzdzib agama, orang yang mendustakan agama?
Memang itulah akar gundah gulana hatinya selama beberapa hari karena merasa lalai menjalani tugas sebagai pengurus pondok pesantren. Hatinya terasa terang setelah mendapat injeksi kesadaran baru melalui video “Anak Yatim dan Negara” yang bertepatan pula dengan surat Al-Maun yang dibaca imam shalat.
Pengalaman itu membayang di benak saya sebagai proses turunnya hidayah yang bergerak sesuka Sang Pemberi Hidayah. Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk (Q.S. Al-Qashash: 56).
Selama proses turunnya hidayah tidak ada sama sekali nasihat tentang pentingnya menjalani amanah, urgensi pengabdian santri di pondok pesantren, atau rahasia sukses menjadi pengurus pondok. Yang muncul justru frasa kunci: anak yatim, yang secara rasional-psikologi tidak berhubungan dengan tema permasalahan sedulur kita. Namun, Al-Hadiy menjadikan ayat “anak yatim” sebagai pintu masuk untuk mencahayai hati yang gelap.
Jadi, adakah antara sesuatu, variabel, komponen, subjek, faktor yang tampak tidak terhubung dan tidak ada hubungannya benar-benar tidak terhubung dan tidak ada hubungannya?
Kalau melihat mundur beberapa langkah: hidayah itu sudah bekerja sejak ia melakukan istikharah melalui channel CakNun[dot]com. Bisa saja orang mencemooh, “Istikharah kok lewat Youtube. Istikharah cap apa iku!” Sedangkan siapa yang tahu ternyata sebelum jari-jarinya menekan video “Anak Yatim dan Negara”, ia berbisik, “Bismillah, kulo nyuwun petunjuk, ya Allah…”
Kalau dibentangkan lagi ke belakang, kita akan menemukan conditioning pengalaman yang kompatibel dengan turunnya hidayah. Sesuai pengakuan dirinya faktor itu ditemukan ketika ia hadir di Majelis Maiyah.
Bukankah Mbah Nun pernah mewanti-wanti bahwa mereka yang hadir di Majelis Maiyah adalah para muthahharun, mereka yang hati dan pikirannya disucikan oleh Allah Swt?
Jagalan, 14 November 2021