Iri Dengki dan Energi Ilahi
Dari common-sense atau akal sehat rata-rata atau pandangan umum hingga ilmu-ilmu modern sebenarnya tidak paham-paham amat terhadap dunia batin manusia. Hatinya. Mentalnya. Psikologis dan psikisnya. Imannya. Nafsunya. Berbagai macam kecenderungannya. Dengan gigir-gigir beribu-ribu labirinnya. Apalagi “kandungan” Tuhan di dalam jiwanya. Sebagaimana sampai hari ini tidak ada definisi yang jelas yang menjelaskan beda antara jiwa, sukma, nyawa, perasaan, rasa dan roso.
Apalagi kosakata “rosa” seperti di iklan tevenya Mbah Marijan. Tidak ada orang media yang membaca “rosa” secara tepat, dan belum ada yang menjelaskan apa sebenarnya arti “rosa” yang diucapkan oleh Mbah Marijan itu dulu. Saya melihat bahwa kebanyakan orang Jawa sendiri juga sudah tidak terlalu peduli pada hal itu. Orang yang belajar bahasa Inggris bisa membedakan antara “power” dengan “strength”, atau antara “house” dengan “home”. Di bahasa Indonesia ada “rumah” ada “huma”.
Sejak era dan bersama komunitas Dipowinatan lanjut Dinasti dan KiaiKanjeng, saya mengalami ketidaksanggupan manusia untuk bersikap jujur atau berjiwa ikhlas. Kejujuran hati dan kejernihan pikiran tidak berdiri sendiri. Ia butuh landasan atau wadah. Mengakui fakta bahwa tetangga sebelah rumah kita lebih kaya saja butuh tenaga batin dan kekuatan mental. Mengakui dan mengikhlasi teman kita sendiri, atau siapapun yang bukan kita, yang sukses, juga memerlukan mental yang kokoh. Tidak mudah bagi manusia untuk di dalam dirinya mencatat bahwa “dia sukses, saya tidak”.
Idiom Jawanya, “legowo” itu bukan pekerjaan ringan atau mudah. Ia memerlukan faktor yang mendasarinya. Kalau dasarannya tidak ada, yang muncul bukan legowo, melainkan cemburu, iri, dengki, srei, hasad. Alamiahnya jiwa manusia itu sempit dan kerdil. Maka perlu cara untuk mengolahnya menjadi luas dan besar, menjadi “nyegoro”.
Di dalam Islam Tuhan menawarkan formula yang berbunyi “la haula wala quwwata illa billahil ‘Aliyyil ‘Adhim”. Oleh Bapak Ibu sejak kecil kita dilatih untuk menginstal jiwa kita dengan kesadaran yang dikandung oleh kalimat itu. Tidak ada kuasa atau kemampuan dan kekuatan, kecuali yang bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung. Karena kalau manusia mengandalkan dirinya sendiri, yang faktual padanya hanya kerendahan dan kekerdilan.
Sejak era Dipowinatan sampai hampir 50 tahun saya aktif berkesenian dan legowo bebrayan dengan kaum seniman, yang utama dan mainstream saya jumpai dan alami adalah kerendahan dan kekerdilan itu. Budaya interaksi, inisiatif untuk interkritis satu sama lain, penggambaran konstelasi dan pemetaan dalam dunia kesenian, sangat ditumbuhkan oleh kerendahan dan kekerdilan itu, yang melahirkan iri dengki dan hasad yang tak berkesudahan, bahkan sebagian sampai saat ini.
Bahkan di zaman mutakhir sekarang ini kerendahan dan kekerdilan itulah yang mendominasi pergaulan hampir semua kalangan, terutama yang terkait dengan kekuasaan politik dan politik kekuasaan — yang dunia kesenian di Yogya juga dikontaminasi oleh watak dasar seperti itu. Media massa dan media sosial, sejauh berkaitan dengan politik kekuasaan, hampir 100 persen didominasi oleh ketidakjujuran, kecurangan, manipulasi dan kebohongan, yang merupakan produk dari kekerdilan dan kerendahan para aktivisnya.
Demikianlah “nasib” saya. Juga komunitas Dipo, Dinasti, KiaiKanjeng dan Maiyah. Dipaksa menjadi bagian dari kelompok, meskipun selama hidup kita tidak pernah mengizinkan kecenderungan perilaku dan narasi diri kita yang membuat siapapun menjadi berkelompok untuk menentang “kelompok” kita. Kita di”selatan”kan atau di”utara”kan. Kita di”sunni”kan atau di”syiah”kan. Kita harus ngeblok, dan andaikan seumur hidup tidak ngeblok: kita tetap di”blok”kan. Sungguh-sungguh kita mengalami idiom yang dipakai Allah: dholuman jahula. Kejam sekejam-kejamnya, bodoh sebodoh-bodohnya, jahil sejahil-jahilnya.
Saya disingkirkan, disisihkan, dipojokkan, dibuang dari konstelasi, dituduh begini dan begitu. Sampai sebagian dari para penuduh itu diambil Allah nyawanya. Dan tatkala anak-anak muda generasi berikut yang pernah selentang-selenting mendengar konstelasi itu mewawancarai saya, saya tidak sedebu pun menyebut kasus-kasus alienasi atau pengucilan itu. Semua seniman yang sudah “kapundhut”, yang dulu saya pernah mengalami hardikan dan pengucilan mereka, saya “pikul dhuwur” dan saya “pendhem jero”. Lega hati saya dan nyaman jiwa saya untuk mempertahankan cinta kepada siapapun yang membenci saya, untuk tidak bergeming tetap menjunjung siapapun yang dulu menterpurukkan, memfitnah dan merendahkan saya.
Iri dengki hasad hasut adalah kutub berseberangan dari energi Ilahi yang menghasilkan legowo dan ikhlas. Kalau saya dan kita hanyalah saya dan kita, tanpa Allah di dalam jiwa kita, tanpa energi Ilahi di kandungan batin kita — tak kan kuat kita mengambil langkah legowo dan ikhlas. Sebab di dalam bilik kecil kerdil iri dengki itu terdapat kesempitan pandangan hidup, kerendahan ilmu dan kepengecutan mental. Kita tidak bisa menjadi manusia mandiri, dalam arti menjadi manusia dengan hanya diri manusia itu sendiri saja. Harus ada Tuhan di dalam diri kita, yang memungkinkan kita mengolah hidup ini sehingga berkeluasan jiwa, berkelengkapan ilmu dan berketinggian budi.
Akan tetapi sahabat-sahabat tercinta itu, trio Mas Ratmo-Harno-Gadjah, Joko Kamto, Nevi Budianto, apalagi Jemek Supardi: tidak ada peta kedengkian itu di dalam hati dan pikiran mereka. Mereka manusia-manusia polos, kadar naturalitasnya tinggi, tidak terlalu terasuki arus modernitas dan modernisme yang karena kecanggihan ilmunya lantas menjadi pongah dan merasa paling unggul dari makhluk lainnya dan merasa tidak membutuhkan kedekatan atau koneksi dengan pok sangkan paran atau Tuhan.
Mereka dan saya hanya “gentho-gentho kampung” yang kadar utama keberadaannya adalah “manusia”-nya, bukan profesinya atau ekspertasinya. Saya ulang: mengobrollah dengan Novi Budianto, hampir di setiap kalimat ia mengucapkan kami “hanya” diperjalankan oleh Allah.