Inna Lillahi Borobudur wa Inna Ilaihi Ka’bah
Saya hampir menjadi Kafir, karena memperlakukan wilayah iman dengan cara pandang ilmu. Bukan kafir aqidah, tapi mungkin kafir hakikat hidup.
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”
Kopi itu baik dan enak. Pasir juga bagus dan berguna. Tetapi kopi jangan dipasangkan dengan pasir lantas kau aduk dan diminum. Hakikat perpasangan tidak hanya lelaki dan perempuan, tapi meliputi apa saja dalam kehidupan. Wilayahnya bisa pergaulan antar manusia, peta unsur dalam kimia, biologi, fisika dan semua ilmu jasad. Bahkan juga psikologi, rohaniah dan apapun saja. Termasuk perjodohan dalam sistem bernegara.
Bahasa mudahnya mungkin “kecocokan”. Semua hari itu baik, tetapi ada hari yang tidak cocok untuk koordinat keadaan seseorang sehingga disebut hari buruk baginya. Kecocokan hari untuk akad nikah, untuk membangun dan menempati rumah, untuk bikin perkumpulan, untuk memulai dagang, untuk membuka usaha, untuk melakukan apapun.
Itu semua kenyatan-kenyataan hidup yang mayoritas gaib bagi pengetahuan manusia. Tetapi manusia berusaha menyentuh dan mempelajarinya. Ada ijitihad merumuskan Betal Jemur. Ada Primbon. Pak Ce. Feng Sui. Shio. Weton. Neptu. Astrologi. Bermacam-macam lainnya hampir ada di setiap komunitas manusia.
Ada sebagian dari Kaum Muslimin yang langsung menuding itu syirik. Atau mengharamkannya. Ada yang hati-hati. Sebab semua pengetahuan di akal manusia tetap berposisi relatif. Maqam manusia adalah semoga. Mudah-mudahan. Hari yang cocok utuk manusia sama dengan jenis tanah yang cocok untuk tanam kopi tapi tidak cocok untuk padi. Masalahnya tidak pada benar atau salah ijtihad atau asumsi-asumsi itu. Melainkan terletak pada batas pandang manusia. Kalau manusia memutlakkan pandangannya, itu tidak cocok dan bisa menghalangi banyak hal dalam kehidupan. Atau manusia bersikap rendah hati dan tahu itu semua hanya mudah-mudahan, maksimal insyaallah.
Itu berlaku untuk apa saja, urusan apa saja, skala apa saja, peristiwa dan satuan hidup apa saja. Dari soal membeli sepeda onthel sampai memilih istri. Dari menentukan rumah menghadap ke mana hingga memilih Kepala Negara. Ada yang mengijtihadi bahwa kalau bikin rumah, mengalirnya air di rumah itu, entah dari sumur atau PDAM, sebaiknya diarahkan menghadap ke Ka’bah, supaya rezeki lancar dan melimpah.
Jangan dibid’ah-bid’ahkan dulu. Tak usah dimusyrik-musyrikkan dulu. Siapa tahu Allah senang melihat hamba-Nya membikin rumah dengan memperhitungan letak Ka’bah sehingga Allah benar-benar melimpahinya rezeki.
Candi Borobudur yang pembangunannya memakan waktu 100 tahun lebih. Sejak Rakai Mataram Ratu Sanjaya (717-745) sampai selesai pada 825 dan diresmikan pada oleh Sri Maharaja Samarottungga (782-835). Borobudur disebut Mandala Mahakarya Nusantara yang memenangkan peradaban dunia di zamannya. Konsep arsitekturnya tidak terbatas oleh konsep materialisme rendah sebagaimana peradaban abad 20-21, melainkan mencanangkan semacam algoritma kosmologis dengan arah putaran Pradaksina. Yakni putaran seperti jarum jam yang mengaktifkan energi gelombang elektromagnetik dari atas ke bawah, menyerap energi dan berkah langit ke bumi. Dan itu berpasangan dengan Ka’bah yang putarannya Prasawiya, yakni berlawanan dengan arah jarum jam. Ka’bah memenuhi kewajiban makhluk manusia itu mengembalikan, mengabdikan, mempersembahkan semua energi hidup dikembalikan kepada Allah Swt.
Borobudur adalah “inna lillahi”, Ka’bah adalah “ilaiHi roji’un.
“Antena” di puncak Borobudur bernama Chattra, yang berfungsi untuk menyerap frekuensi berkah langit, sudah hilang tatkala Borobudur di temukan pada 1811. Bahkan sebagian besar sudah tertimbun tanah. Terjadi proses evakuasi dan pemugaran hingga diresmikan oleh Unesco sebagai warisan dunia padaa 1991.
Ada usaha untuk mereplikasi Chattra, dan hendak dipasang kembali di puncak Borobudur. Tetapi ini artifisial dan para leluhur yang dulu membangun Borobudur tidak mungkin mengizinkannya. Chattra “Kifayah” tidak mungkin dipasang di puncak Borobudur, sehingga sedang diijtihadi untuk diletakkan di suatu tempat di sebelah utara Borobudur.
Kalau konsep Chattra ini benar, maka Indonesia adalah pusat kemakmuran dunia. NKRI adalah superpower dunia. Nusantara adalah Ibu Zaman yang menyusui semua anak-anaknya di seluruh permukaan bumi.
Maka reeksistensialisasi Menara Chattra harapannya adalah agar NKRI ini menemukan jatidirinya kembali, yang sudah ia buang dan tinggalkan sejak 17 Agustus 1945. Agar tidak serampangan dalam menerima informasi ini, hal pertama yang perlu diingat oleh Kaum Muslimin adalah bahwa Islam tidak dimulai sejak Nabi Muhammad Saw. Sejak Nabi Adam As, beliau sudah Muslim. Bahkan jauh sebelum itu para Malaikat juga sudah Muslim. Bahkan ke belakang lagi, sejak pancaran Nur Muhammad, Allah sudah mengIslamkan ciptaan-Nya. Kalau Kaum Muslimin memenjarakan dirinya dalam pemahaman Fiqih lokal di kelas mereka, atau menyandera diri sendiri dalam kesempitan ilmu pengetahuan modern yang tidak pernah sungguh-sungguh diperjodohkan dengan iman Islam, maka hanya akan menemukan di memori otaknya Borobudur adalah candi Budha, salah satu Agama di Indonesia.
Sekali lagi perlu dibaca:
وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Jadi tenangkan diri dulu, samuderakan hati dan semestakan pikiran setenang-tenangnya dulu sebelum berceramah, menuduh-nuduh dan memaki-maki. Sudahlah jatah ilmu dari Allah sangat sedikit, dan dari yang sangat sedikit itu kita hanya menyerap sangat sedikit pula. Tetapi kita terapkan ke masyarakat dan ummat dengan kepongahan seolah-olah kita paling tahu, paling pandai, paling mengerti segala-galanya.
Ilmu adalah hitungan 1 atau 2, merah atau hitam, menghasilkan atau tidak menghasilkan, dikabulkan atau ditolak. Iman adalah meyakini Allah itu Tunggal, meskipun tidak mampu membuktikan dan belum pernah melihat Allah dengan mata kepala sendiri. Iman adalah meyakini Allah Maha Adil, Maka Pemurah, Maha Pengasih. Tidak pakai pembuktian. Tidak pakai teori atau empirisme. Pokoknya kalau Allah menyatakan “wamakaru wamakarallah, wallahu Khoirul Makirin” yang mutlak pasti begitu itu. Tidak ada pertanyaan, tidak perlu pembuktian, tidak perlu report-repot menyelediki dan memverifikasi. Pokoknya “la roiba fih hudan lilmuttaqin”. Tidak ada ragu sedebu pun.
Ilmu tercapai dengan proses pendataan, pemetaan , analisis dan pembuktian. Iman tidak pakai apa-apa. Allahu Akbar, Allahu mutlak Akbar, pokoknya Allahu absolut Akbar. Tidak perlu diuji dan dibuktikan kepada siapapun, tidak butuh diakui atau dinegasi.
Chattra Borobudur yang hilang seakan-akan menggambarkan Negara Nusantara yang semakin terpuruk, tidak sanggup mengelola limpahan rahmat dan kekayaan dari langit, bertengkar sendiri terus-menerus, menghancurkan sendiri masa depannya. Itu semua mencerminkan secara ilmu dismanajemen Chattra atau pengelolaan “inna lillahi” (sesungguhnya seluruh rahmat dan berkah hidup ini benar-benar hanya berasal dari Allah) oleh semua pemerintahan Bangsa Indonesia sampai hari ini. Itupun perjuangan rutin “Ilaihi roji’un” dengan haji quota terbesar sedunia tidak dimaknai apa-apa oleh siapapun. Kecuali hanya sebagai pemenuhan administratif Rukun Islam.
Jangankan secara iman, secara ilmupun “inna lillahi wa inna ilaiHi roji’un” tidak hanya berkonteks layatan ketika seorang tetangga dicabut nyawanya oleh Malaikat Izrail. Ilmu manusia modern sudah sangat maju dan merajalela. Tetapi tetap saja sampai hari ini “inna lillahi wa inna ilaihi roji’un” hanya kita pahami dan pakai dalam urusan takziyah kematian atau kalau melihat bencana atau kecelakaan. Hampir tak ada orang Islam atau para penceramah Islam yang mengasosiasikan bahwa “inna lillahi” itu bahkan utamanya adalah rahmat, berkah, rizki, limpahan-limpahan kenikmatan dari Allah. Kita yang merasa paling modern, paling maju, paling sukses ini ketinggalan jauh dari gagasan kosmologi para pendiri Borobudur di abad 7 Masehi. Seakan-akan Borobudur dan Chattra adalah wahyu “Inna lillahi” dan Islam Ka’bah adalah “wa ilaiHi roji’un”.
Tidak ada makhluk yang bisa memastikan apa yang dilakukan oleh Tuhan, tetapi siapa tahu Borobudur-Ka’bah itu termasuk contoh “berpasangan” yang merupakan prinsip dasar, hakiki, dan substansi ciptaan Allah.
وَمِن كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”
Ini bukan menyamakan dengan cara pandang modern yang ahistoris antara Agama Islam dan Budha. Sebagaimana sudah disebut di atas, kalau Islam dimulai pada Rasulullah Muhammad Saw, berarti Nabi Ibrahim tidak beragama Islam. Juga Adam As hingga Isa As. Juga, siapa di antara kita yang berani memastikan bahwa Budha Gautama adalah bukan Nabiyullah? Meskipun memang Budha tidak termasuk di antara 25 Rasul, sebagaimana Nabi Khidlir As yang sangat viral di segala zaman.