CakNun.com
Kebon (223 dari 241)

Indonesia Pusat Kemakmuran Dunia

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit
Foto: Adin (Dok. Progress).

Sejak Patangpuluhan dulu para penghuninya tiap hari harus siap hati legowo dan sikap bijaksana untuk menerima tamu-tamu yang bermacam-macam. Ada yang datang untuk konsultasi masalah keluarga. Ada yang sekedar ingin “ketemu Simbah”. Ada yang butuh mengeluh atau diskusi tanpa jelas arahnya. Ada yang sebenarnya minta sangu sejumlah uang melalui berbagai modus. Ada yang berjalan kaki ratusan kilometer menuju suatu tempat sakral dan mampir di Kadipiro. Ada yang stress karena keadaan negara. Ada yang menawarkan konsep pembangunan masa depan Bangsa Indonesia atau khusus Ummat Islam dengan membawa buku tebal serius yang ditulisnya sendiri.

Ada yang dari lembaga resmi, lokal maupun nasional. Ada permintaan agar Kadipiro menerima orang nomor satu. Sampai beberapa kali pengajuan. Tanpa syarat. Terserah kapan. Terserah berapa lama. Terserah pertemuannya di mana. Terserah boleh membawa staf dan pengawal atau tidak. Bahkan ngikut pembicaraannya dengan tema apa. Tapi pokoknya mohon diperkenankan untuk sowan dan ketemu.

Ada Pejabat. Ada Habib. Ada Syekh. Ada Mursyid. Ada Ajengan. Ada Tuan Guru. Ada rombongan DPR. Ada tokoh Ormas. Ada tokoh-tokoh dari masa silam, terutama zaman Majapahit dan Walisongo. Ada perutusan dari markas besar “Jagawerdhi” atau Kepolisian. Ada yang minta disuguhi KiaiKanjeng sekadarnya sebisanya dengan sound kecil membawakan lagu-lagu. Ada yang sendiri, beberapa orang, atau rombongan.

Terakhir kemarin datang tamu resmi dari sebuah parpol berlatar belakang Islam yang namanya terkait dengan kesejahteraan dan keadilan. Kadipiro menerimanya secara resmi, supaya tidak terseret oleh obrolan sopan santun basa basi atau omong bebas. Helmi Mustofa memoderatori secara formal. Kiai Tohar memulai dengan memperkenalkan hal-hal yang menyangkut Rumah Maiyah Kadipiro dengan ragam kegiatannya. Terpaksa diterapkan aturan, di samping Prokes Covid-19, juga tidak ada yang boleh merekam acara itu, auditif maupun audio-visual. Untuk mengantisipasi supaya tidak menjadi bahan di Media Sosial, Youtube dll, kemudian direspons secara “dholuman jahula”, direspons-respons secara lebay, didramatisir, dikarang-karang sebagaimana biasanya ketidak-beradaban media online. Meskipun tatkala Ustadz Abu Bakar Baasyir atau Ustadz Abdus Shamad datang ke Menturo, tidak terjadi penggorengan-penggorengan, edit-editan, gathuk-gathukan untuk dramatisasi ekstrimisasi dan adu domba.

Para tamu itu adalah rombongan pimpinan DPP partai politik yang seluruh publik Indonesia mengenalinya sebagai salah satu partai yang berlatar belakang Islam. Tidak tahu apakah kedatangan mereka ini ada hubungannya dengan gemuruh “Gelora” yang sedang “yuwaswisu fi shudurihim” atau tidak. Tetapi di dekade-dekade sebelumnya, rombongan partai ini memang sudah beberapa kali berkunjung ke Kadipiro.

Ngakunya mereka berhajat untuk “mendengar nasihat, tausiyah dan saran-saran dari Cak Nun”. Tetapi yang ada di pikiran saya bukan tausiyah, melainkan deretan pertanyaan-pertanyaan. Dan itu coba saya kemukakan. “Kami di kadipiro justru ingin memperoleh informasi dan penjelasan, hujjah, burhan atau apapun atas hal-hal yang kami sama sekali belum mengerti tentang partai politik”.

Apa yang dilakukan oleh manusia untuk mengisi hidupnya adalah model-model respons mereka terhadap kehidupan, zaman, dan nasib. Khusus untuk manusia Muslim mestinya respons itu didasari oleh wacana-wacana Islam, Al-Qur`an dan semua terkait dengan didutakannya Rasulullah Muhammad Saw oleh Allah Swt.

Maka yang kemudian saya kemukakan adalah ketidakmengertian tentang apa yang menjadi landasan pemikiran teman-teman ini sehingga respons mereka berwujud pendirian Parpol. Sanadnya apa. Sandaran dalil naqly maupun ‘aqly nya apa. Berangkat dari “uswatun hasanah” yang mana dari Rasulullah. Berlandaskan kisah Kanjeng Nabi yang bagian mana. Gampangnya: ayatnya apa, hadits atau sunnah-nya yang mana, sehingga respons perjuangannya berupa Parpol.

Kalau diperluas perspektifnya, Parpol adalah salah satu pilar Demokrasi”. Lha demokrasi itu sendiri terletak di lajur mana dari jalur Nubuwwah? Atas dasar sanad dan matan apa dan bagaimana, atas dasar ikhtiar dan ijtihad yang bagaimana, sehingga bangsa Indonesia mendadak mendirikan Negara? Itu pun pilihannya adalah Republik. Sementara Belanda sendiri yang mengganggu hidup mereka 3,5 abad tetap Kerajaan sampai hari ini. Inggris ya Karajaan. Monaco, Spanyol, bahkan Jerman, juga Kerajaan. Tetangga kita Malaysia juga Kerajaan atau Kesultanan. Pun Muangthai. Sehingga ada pembagian tugas antara pejuang Negara dengan petugas Pemerintah. Ada pilah antara Kepala Negara dengan Kepala Pemerintahan. Lha di Indonesia “Aparat Sipil Negara” praktkknya berada di bawah Pemerintahan. Para petugas Pemerintahan sendiri tampaknya tidak pernah membedakan antara Negara dengan Pemerintah. Kalau ada pejabat menjumpai suatu perkara kemudian menyatakan “Negara harus hadir”, ternyata maksudnya adalah “Pemerintah harus hadir”.

Sabahat saya Pipit Kartawijaya di Berlin sudah sejak 15 tahun yang lalu berupaya maksimal untuk mengusik pusat birokrasi Pemerintah Indonesia agar mulai mempelajari dan memahami pilah antara Negara dengan Pemerintah. Ada pembagian dan perbedaan wilayah tugas antara petugas Negara dengan aparat Pemerintah. Kalau undang-undang menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Kata “oleh Negara” di situ tidak sama dengan “oleh Pemerintah”. Pemerintah adalah bawahan Negara. Para petugas Pemerintah, bahkan sampai Presiden, adalah pegawai sementara, outsourcing. Berbeda dengan ASN yang permanen sampai dapat hak uang pensiun. Andaikan Indonesia vakum tidak punya Pemerintah, tugas dan kewajiban Negara tetap berlangsung untuk kesejahteraan baku seluruh rakyat.

Apakah partai-partai politik Indonesia sudah melakukan dan menyebarkan paket-paket atau lingkaran-lingkaran pendidikan politik? Pendidikan bernegara? Apakah tamu-tamu di Kadipiro itu sebagai penggiat partai politik pernah berpikir sampai ke sana?

Kadipiro menyatakan bahwa yang kita berani bikin hanya Maiyah, dan belum paham kenapa teman-teman bikin Parpol, tenang-tenang merelakan pendirian “Negara”, “Kesatuan” pula, serta menjadi “tabi’it-tabi’in” Demokrasi tanpa reserve. Sementara di Kadipiro sejuah-jauhnya hanya Maiyah. Karena acuan utama sesudah “Islam Mekah” adalah “Peradaban Madinah”. Sesudah mempersatukan hal aqidah dan tauhid di Madinah, Kaum Muslimin menata perekonomian, pasar, interaksi sosial, tata budaya, pertanian, tata kota, pendayagunaan jenis-jenis tanah dan peta sumber air, sampai estetika, kesenian dan kebudayaan.

Indonesia adalah Negara dengan jumlah Kaum Muslimin terbanyak atau terbesar di seluruh dunia. Menurut Kadipiro, Indonesia sangat potensial menjadi “Serambi Madinah”. Kiai Tohar mempelajari Piagam dan Peradaban Madinah sampai detail sejak umroh hingga sekarang. Kualitas pecinta rakyat dan perambah zaman serta penggali ilmu seperti Kiai Tohar inilah yang akan saya dorong untuk menjadi Ketua Majlis Tinggi Rakyat Indonesia alias MPR, andaikan Negeri ini berjalan normal dan rasional.

Sanad yang dianut oleh NKRI adalah modernisasi Barat sejak pasca Perang Salib, Renaissance hingga Globalisasi. Allah Swt, Al-Qur`an, keteladanan sosial politik Rasulullah Saw terutama di Negeri Madinah bukan sesuatu yang penting bagi Pemerintah Indonesia, para pemimpin dan toikoh-tokohnya. Bahkan para Ulamanya juga tidak mengurai misalnya dari wacara Al-Qur`an apa beda antara “balad”, “bilad” dan “baldah”.

وَٱلتِّينِ وَٱلزَّيۡتُونِ
وَطُورِ سِينِينَ
وَهَٰذَا ٱلۡبَلَدِ ٱلۡأَمِينِ
لَقَدۡ كَانَ لِسَبَإٖ فِي مَسۡكَنِهِمۡ ءَايَةٞۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٖ وَشِمَالٖۖ
كُلُواْ مِن رِّزۡقِ رَبِّكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لَهُۥۚ بَلۡدَةٞ طَيِّبَةٞ وَرَبٌّ غَفُورٞ

Petunjuk-petunjuk Alllah ini tidak cukup disyukuri, bahkan oleh para Ulama kita tidak digali makna dan hikmahnya sebagai sumber hidayah Allah untuk membangun bangsanya. Padahal ayat itu langsung dinisbahkan oleh Allah kepada urusan rezeki dan kesejahteraan, sebagaimana filosofi setiap Negara yang membangun. “Kulu min rizqi Rabbikum wasykuru”.

Sungguh kita adalah bangsa yang kurang berterima kasih kepada Sang Pensipta. Kita adalah Kaum Muslimin terbanyak sedunia yang sampai hari ini bersikap acuh tak acuh dan melecehkan gerbang hidayah Allah. Padahal dari berbagai fakta sejarah dan antropologi maupun ketersediaan kekayaan alam, Indonesia seharusnya menjadi Pusat Kemakmuran Dunia. Bacalah kembali Kebon tentang putaran Borobudur penyerap berkah langit ke bumi dan putaran energi thawaf di Ka’bah yang “ilaihi roji’un”.

Tamu-tamu di Kadipiro itu merespons: “Ibaratnya kami ini semua bertujuan ke Bandung. Tapi tidak punya kendaraan sendiri. Hanya ada Angkot menuju Bandung. Jadi kami yang menumpang naik Angkot itu”.

Tentu maksudnya Angkot itu adalah NKRI, Demokrasi dan Pemilu.

Kesimpulan terakhirnya adalah di badan politik tamu-tamu ini diperlukan Lingkaran Pasukan Wirid, kemudian Lingkaran Diskusi di pusat dan daerah-daerah untuk menjawab “Lha firman Allahnya mana. Al-Qur`annya mana. Uswatun hasanah Rasulullahnya mana. Ijitihad Islamnya mana. Tidak berarti Kadipiro menuntut mereka untuk refresh dan memulai dari awal. Juga tidak untuk pada akhirnya menentukan ketepatan formula politik Islam di Indonesia. Melainkan sekadar dengan istiqamah lingkaran-lingkaran ijtihad itu, Allah akan menganugerahi mereka petunjuk dan berkenan memperjalankan mereka ke masa depan di jalan Allah.

Kalau pakai idiom dari sifat Rasulullah: mereka meneguhkan kembali “shiddiq”nya, membuktikan ke publik “amanah”nya, sehingga sah dan diterima oleh konstituen untuk “tabligh”, dan akhirnya Allah swt akan “memfathonahkan” langkah-langkah mereka ke masa depan.

Lainnya

Menambah Derita Orang Menderita

Menambah Derita Orang Menderita

Sebagaimana interaksi saya dengan para remaja dan kaum muda di Mandar Sulawesi Barat yang saya didatangkan oleh sahabat saya Muhammad Alisyahbana, pertemuan dan pergaulan saya dengan para anak-anak muda Dipowinatan yang bermula di tahun 1976, lazimnya bekal utama saya adalah norma-norma sosial budaya dan syariat serta nilai-nilai Islam.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version