Indoktrinasi, Peristiwa Iman, dan Tetesan Ilmu
Ternyata yang patut kita waspadai bukan apa itu syirik, melainkan mengapa dan bagaimana perilaku syirik bisa kapan dan di mana saja menelikung langkah kita.
Syaikh Nursamd Kamba menyampaikan wanti-wanti: “Mendahulukan kepentingan sesama disanjung oleh Tuhan sebagai tindakan ksatria. Sebaliknya, manakala mengabaikan hak sesama, dengan alasan menunaikan hak Tuhan, itu bisa menjerumuskan seseorang ke dalam egoisme atau perilaku selfish, mementingkan diri sendiri. Sedangkan sifat mementingkan diri sendiri bisa menjebak seseorang ke dalam syirik tersembunyi — saat seseorang tunduk dan taat kepada nafsu dan hasrat-hasratnya saja.” (Terjebak Syirik karena Selfish)
Selama ini kita berada dalam lingkaran pengertian yang sempit tentang mukmin, kafir, munafik, muhsin yang kerap dicomot dari konteks. Istilah-istilah itu dipahami secara konsepsional teologis sehingga aplikasinya pun mandeg pada level itu.
Celakanya, pengertian konsepsi teologi itu digunakan untuk menghukumi dan menghakimi perbuatan orang lain. Sedangkan kita tahu, perbuatan seseorang memiliki muatan, kandungan, motivasi, latar belakang yang tidak cukup sederhana untuk dirumuskan kecuali yang tampak oleh mata.
Nuansa, dimensi, lipatan, lapisan perbuatan syirik bukan garis lurus yang bergerak linier. Syirik tidak bisa dinilai melalui justifikasi dan labeling yang disematkan secara serampangan.
Berangkat dari kenyataan itu kita perlu kembali menyelisik sejarah perjuangan Nabi (sirah nabawi) secara utuh menyeluruh. Pendekatan dan sudut pandang yang tidak mengandalkan konsepsi teologi tetapi juga memahaminya melalui mata pandang kemanusiaan. Setting sejarah perjuangan Nabi yang saya tulis sebelum ini — sejarah perjuangan itu diuraikan lebih detail di buku Muhammad An-Nabi — menghadirkan konsepsi bahkan metodologi alternatif cara beragama.
Kita tidak mungkin bergerak dalam penggalan-penggalan, sekat-sekat, kamar-kamar, ruang-ruang yang terpisah, menindas dan meniadakan. Iman, Islam, dan Ihsan bukan ruang pengap tanpa ventilasi. Ruang pengap itu sungguh menyiksa ketika para penghuninya berseteru dalam indoktrinasi konsepsi teologi dan hukum perbuatan.
Persoalannya bukan pada tema pertengkaran yang diputar ulang setiap tahun atau pada momentum saat penguasa membutuhkannya. Pertengkaran itu memerlukan tumbal dan memakan korban martabat kemanusiaan.
Pembunuhan memang tidak terjadi secara fisik, sebagaimana peperangan tidak selalu melibatkan pasukan tempur. Namun, harkat dan martabat kemanusiaan pun berdarah-darah akibat klaim kebenaran sepihak yang ditikamkan atas nama agama.
Indoktrinasi lebih dominan ketimbang upaya ijtihad persuasif yang faktual-rasional. Klaim iman dijadikan lorong pelarian tanpa diimbangi kajian keilmuan yang memadai.
Siapa tidak tahu Isra’ Mi’raj terjadi berkat kekuasaan Allah menjalankan hamba-Nya. Apa hanya itu? Rasanya kok aneh Allah memfirmankan peristiwa Isra’ Mi’raj di Al-Qur’an kalau sekadar jadi peristiwa iman tanpa tetes pengetahuan, ilmu, dan hikmah.
Pada level ngaji ilmu dan hikmah, riset dan kajian, takwil dan tadabbur, terutama berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat, kita benar-benar kedodoran. Kemukjizatan Al-Qur’an diklaim sebagai kebenaran risalah, namun sebagai kebenaran nubuwah, kajian faktual-rasional kita masih tangeh lamun, haihata haihata, alias jauh, jauh sekali.
“Gagasan mukjizat muncul pada masa pasca-kenabian, ketika keyakinan malah dibangun dengan indoktrinasi, sehingga tidak faktual — seiring dengan upaya mengarahkan ajaran agama kepada keperluan kekuasaan.” (Nabi Tidak Mengklaim Kebenaran)
Kita pun memahami kegelisahan Syaikh Nursamad Kamba: “Jangan-jangan praktik beragama kita hari ini belum sebagaimana yang dimaksud Nabi Muhammad.”
Ini jangan-jangan lho, bukan klaim. Soal benar atau tidak monggo diteliti, diriset, di-iqra’. Afalaa tandhuruun, afalaa ta’qiluun, afalaa tatadabbarruun.