Iman Budhi Santosa, Kata, dan Makna
Sebagian besar dari kita tentu tahu, bahkan suka, atau malah punya kenangan tersendiri dengan tembang klasik milik KLa Project, Yogyakarta. Perpaduan musik dan lirik yang apik, membuat Yogyakarta menjadi lagu abadi sepanjang masa. Mas Katon Bagaskara benar-benar sempurna menggambarkan suasana dan harmoni kota Yogya dalam alur lirik lagu Yogyakarta. Jika Anda pernah berkunjung, atau berdomisili di Yogya, pasti akan mengamininya.
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi...
Selain kesyahduan dan memorable-nya lagu Yogyakarta, ada satu hal menarik yang tersaji di sana. Meski dalam pelafalan bernyanyi menggunakan ejaan Jogja pada penggalan lirik “Nikmati bersama, suasana Jogja”, nyatanya KLa Project memberi judul lagu tersebut dengan penulisan Yogyakarta (memakai Y), bukan Jogjakarta (memakai J).
Kenapa? Karena menurut para ahli cum peneliti (akademisi, sejarawan, sastrawan, budayawan), penulisan dan pelafalan yang tepat adalah Yogyakarta. Penjelasan tersebut salah satunya dikemukakan oleh sastrawan senior Yogya, Iman Budhi Santosa (Al Fatihah untuk beliau).
Secara etimologi, Yogya bermakna layak. Pantas. Sesuai. Yang kemudian kata Yogya diakui dan berkembang menjadi bahasa baku (bahasa Indonesia). Dengan imbuhan se dan nya, kita sering mendapati atau menggunakan kata seyogyanya/ seyogianya. Di mana kata tersebut selaras makna dengan selayaknya — sepantasnya. Sedangkan kata Jogja sendiri, hingga kini belum diketahui secara pasti asal-usul dan artinya.
Romo Iman Budhi Santosa seorang filsuf Jawa tulen. Lahir di Magetan Jawa Timur pada tahun 1948, kemudian bulat hati meninggalkan kedinasannya untuk mengembarai sastra di bumi Yogya, hingga tutup usia. Aspal jalan dan deretan gedung-gedung tua Malioboro menjadi saksi Iman (bersama kawan karib) mengasah diri mendalami puisi. Bahwasanya, puisi adalah kehidupan itu sendiri. Apa kabar Malioboro hari ini?
Dalam sunyi dan kesederhanaan, Romo Iman Budhi Santosa mendharmakan seluruh hidupnya untuk ngugemi seraya nguri-uri ajaran sang leluhur. Apa yang telah beliau teliti dan pelajari lalu dicatat dalam tulisan-tulisan berupa puisi, esai, makalah, dan artikel. Di mana hampir semua tulisan Romo Iman fokus pada kearifan kebudayaan Jawa (alam & tumbuhan). Tulisan-tulisan tersebut kemudian dibukukan antara lain berjudul Spiritualisme Jawa, Suta Naya Dhadhap Waru, Sesanti Tedhak Siti, dll. Buku-buku ini menjadi legacy amat berharga bagi kita. Yang mesti dibaca, disyukuri, dan teladani bersama.
Belajar dari Romo Iman, kini saya semakin berhati-hati dalam menggunakan kata. Baik dalam tulisan, maupun bahasa komunikasi sehari-hari. Mencoba lebih saksama dalam memahami mana kata yang baku, yang bener tur pener, hingga yang salah kaprah. Sekaligus tekun untuk menggali dan mencari makna setiap kata (istilah, peribahasa, diksi, puisi, kiasan, satire, dll), terutama dalam multi-hasanah basa Jawa.
Satu di antaranya Romo Iman pernah menyinggung letak perbedaan makna antara selamat (Bahasa Indonesia) dengan slamet (Basa Jawa). Selamat dalam pemahaman modern cenderung terkait fisik semata. Misal orang naik kendaraan ke suatu tempat dan sampai tujuan tanpa alami kecelakaan, berarti dia selamat. Sebaliknya, orang yang mengalami kecelakaan, terluka, bahkan sampai mati, lantas disebut tidak selamat. Dalam hal ini selamat sekadar bersifat jasmani.
Pemahaman tersebut jauh berbeda dengan slamet dalam pengertian masyarakat Jawa. Misal pada ungkapan “nyangoni slamet” yang kerap diucapkan oleh orang tua, guru, sesepuh, sanak, atau kerabat saat kita hendak pamitan. Ungkapan “nyangoni slamet” tak ubahnya doa. Sebuah pengharapan. Slamet itu meliputi keselamatan lahir dan batin. Jasmani-rohani. Bahkan dunia-akhirat. Mungkin itulah satu bukti bahwa unen-unen basa Jawa sangat adiluhung. Kaya dengan kosakata (sebutan istilah-istilah), kelas kata (ngoko, ngoko alus, kromo, kromo alus, kromo inggil), berikut nilai dan makna di dalamnya.
Hari ini (10 Desember 2021) tepat 1 tahun Romo Iman meninggalkan kita. Tapi tidak karya-karyanya. Ia (karya) tak lekang oleh waktu. Dan seyogyanya buah pemikiran dan permenungan panjang beliau, menjadi sangu bagi kita untuk terus lumaku, tansah lelaku.
Swargi langgeng, Romo.
Gemolong, 10 Desember 2021