Imam Cendana dan Protes Iblis
Kepada PM saya tidak sempat mengemukakan bahwa Reformasi yang sedang bergulir ini gagal total hanya beberapa jam sesudah Pak Harto menyatakan mundur.
Yang kami rancang adalah Pak Harto turun beserta Wakil Presiden dan semua Menteri Kabinetnya. Juga MPR dan DPR. Kami bikin Komite Reformasi, terdiri dari 45 orang tokoh Nasional terutama Gus Dur dan Megawati. Komite Reformasi seturunnya Pak Harto bertindak sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Bersegera sidang darurat, memilih Kepala Negara Sementara, yang ditugasi menyelenggarakan Pemilihan Umum sesegera mungkin, kalau perlu dalam masa transisi antara 6 bulan hingga satu tahun.
Tapi sesudah Pak Harto mengundurkan diri pkl 10.00 WIB 21 Mei 1998, siang harinya seorang tokoh nasional yang waktu itu paling terpandang dan sangat menjadi “media darling” mengumumkan ketidakpercayaannya kepada Komite Reformasi. Beliau menganalisis bahwa itu hanya tipudaya Pak Harto untuk tetap memegang kendali kekuasaan nasional.
Beliau ini memang tidak diundang di antara 9 orang untuk bertemu Pak Harto 19 Mei 1998. Pak Harto yang meminta itu karena tidak tahan terhadap watak dan temperamen tokoh tersebut. Saya paham dan setuju, sehingga tidak menyertakan beliau. Tokoh yang saya maksud itu ibarat “harimau”, dan saya tahu Pak Harto adalah “raja harimau”. Kalau saya paksakan mengundang beliau, saya khawatir Pak Harto mengurungkan niatnya untuk lengser dari jabatannya.
Bisa dipahami bahwa tokoh ini kecewa dan kemudian menyatakan ketidakpercayaan kepada apa yang kami lakukan bersama Pak Harto. Sayangnya Cak Nurcholish Madjid, sebagai Ketua Komite Reformasi, yang saya sendiri menolak untuk menjadi 1 dari 45 itu, bukan seorang politisi. Cak Nur tidak punya ambisi untuk berkuasa, bahkan kami berdua bersumpah di Istana sebelum pertemuan dengan Pak Harto bahwa kami berdua tidak akan menjadi apa-apa, tidak akan menjabat apa-apa seturunnya Pak Harto.
Cak Nur orang Bareng Jombang Selatan. Saya kenal baik orangtua beliau, Pak Kiai Madjid, juga adiknya, Saufillah Madjid, dan Adnan Madjid. Kami orang Jombang sama-sama “tidak pathèken” untuk tidak menjadi apa-apa atau siapa-siapa. Kami bukan pejuang kekuasaan. Kami sudah beriktikad baik, hasil rapat kami berempat sudah saya tulis sebagai surat kepada Pak Harto. Dan Pak Harto ikhlas untuk turun. Kami merasa itu sudah lebih dari cukup. Karena selama puluhan tahun tidak seorang pun berani melawan Pak Harto. Bahkan membayangkan Pak Harto tidak menjadi presiden saja tidak berani, karena berbagai perhitungan rasional.
Maka etos “gak pathèken” itu yang berlaku ketika Cak Nur dan saya mendengar pernyataan tokoh yang tidak mempercayai ketulusan perjuangan kami. “Yo wis kono badhog-badhogen, krakotono, leg-legen”. Cak Nur mengundurkan diri dari posisi Ketua Komite Reformasi. Pak Harto juga ngambeg, patah hati, dan ketularan “tidak pathèken”.
Bagaimana nalarnya Komite Reformasi dituduh alat Soeharto untuk tetap melestarikan kekuasaan, sedangkan 4 orang yang bikin Komite Reformasi itulah yang berhasil membuat Pak Harto turun dari jabatan Presiden. Apalagi dengan 4 Sumpah hasil perundingan dengan saya.
Pak Harto resmi meminta saya “menjadi Imam” di akhir hidup beliau. Lhadalah. Saya Imam Cendana, meskipun bukan Imam Besar Kaum Muslimin Indonesia. Pak Harto saya pandu melakukan sejumlah peribadatan mu’amalah khusus di luar yang mahdlah. Saya kasih teks wiridan dan saya bikin acara “Ikrar Husnul Khatimah” di Masjid Baiturrahim Komplek DPR-RI. Tetapi karena aspirasi tokoh yang saya kisahkan di atas mengkontaminasi banyak wartawan dan petugas pers yang hadir di Masjid pagi itu, akhirnya saya menelepon Pak Harto agar tidak usah datang ke Masjid DPR. Shalat dan wiridan di rumah saja. Saya umumkan acara batal dengan saya bacakan 4 Sumpah Pak Harto dan membuka pintu selebar-lebarnya agar Pak Harto diajukan ke Pengadilan Negara. Di akhir pengumuman itu saya nyatakan “Silahkan potong jari saya pilih yang mana saja kalau sampai akan terjadi pengadilan kepada Pak Harto”.
Pulang dari Baiturrahim saya ngeri sendiri jangan-jangan nanti saya harus potong jari. Tapi alhamdulillah Tuhan melindungi jari-jari tangan saya dari sepata pemotongan, hingga hari Ia memanggil Pak Harto.
Seorang tokoh nasional lain berinisial GK beserta rombongan “Boys”nya bermain sedemikian rupa di sekitar Istana untuk mempresidenkan BJ Habibie dan menyusun Kabinet.
Tapi kata orang Jawa “tega larane ora tega patine”. Meskipun Cak Nur dan saya sudah “gak pethèken” terhadap busuk dan munafiknya keadaan Jakarta, kami tetap bikin pertemuan juga di Jl. Indramayu 14 Menteng sebagaimana sebelum-sebelumnya. Saya mengetik teks yang kami rumuskan, semacam Pernyataan yang isinya mengkonsep BJ Habibie sebagai Presiden Transisional. Wartawan dalam dan luar negeri kami undang dan dalam waktu kurang dari satu jam sudah berkumpul. Kami turun dari tempat rapat menuju ruangan Konferensi Pers. Rundownnya: Pak Malik Fajar membuka acara dan memberi ucapan selamat datang kepada para wartawan. Saya bertugas memberi pengantar yang menjelaskan situasi mutakhir hari sampai malam itu di pusat kekuasaan. Kemudian Cak Nur akan membacakan Pernyataan yang tadi saya ketik.
Dalam perjalanan menuju ruang Konferensi Pers, dari gerbang depan muncul beberapa orang, salah satunya adalah tokoh yang menolak Komite Reformasi itu. Beliau bersapaan dengan Cak Nur, cipika-cipiki berpelukan, mengobrol sejenak entah apa. Pak Malik, Mas Oetomo, dan saya masuk duluan ke ruangan para wartawan. Tiba-tiba Cak Nur masuk, langsung menuju mikrofon dan membacakan Pernyataan. Sempat keliru, sehingga diulang lagi. Dan di akhir pembacaan Pernyataan itu, Cak Nur menyebut: “Tertanda: Nurcholish Madjid,…” dan nama si tokoh macan itu.
Lututnya Pak Malik nyenggol dengkul saya karena kaget, heran, dan tidak mengerti. Mas Oetomo juga menoleh dengan wajah tanda tanya. Segera kemudian wartawan mengacungkan tangan, menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan turunnya Pak Harto dan naiknya BJ Habibie.
Tanpa perundingan mulut, kami sepakat untuk tidak menjawab apapun. Dan kami mempersilakan wartawan bertanya kepada si tokoh macan. Dan kami bertiga berdiri, berjalan keluar dari ruangan. Malam itu saya mengapresiasi kalimat Iblis kepada Allah sesudah Adam diciptakan:
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ
قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ
وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.