CakNun.com

Ilusi dan Relevansi dalam Pengetahuan

Toto Rahardjo
Waktu baca ± 1 menit

Kita berada dalam periode sejarah besar — reformasi pertama terjadi awal abad ke-19 ketika universitas memperkenalkan disiplin ilmu pengetahuan (saintifik). Melihat ke belakang, kita menyadari bahwa disiplin ilmu ini memungkinkan terjadinya kemajuan besar, namun pada saat bersamaan membatasi pengetahuan karena mereka dipisahkan satu sama lain, dan pemisahan tersebut bersifat menghalangi ketika ada kebutuhan untuk menjawab permasalahan global dan fundamental — tidak hanya untuk kehidupan kita sebagai individu tetapi juga sebagai warga negara dan sebagai manusia penghuni planet ini.

Seharusnya tercermin dalam fakta bahwa ada yang namanya memberikan pengetahuan tetapi tidak memberikan sebuah refleksi atas apa itu pengetahuan — dengan kata lain, risiko kesalahan dan ilusi akan selalu ada. Kita dapat mengenali kesalahan dan ilusi masa lalu, tetapi nyata bahwa di masa sekarang, kita tidak punya kemampuan untuk mendeteksinya. Kenapa kita memiliki perhatian terhadap masalah ini? Karena semua pengetahuan adalah terjemahan dari realitas, melalui persepsi seseorang, bahasa, ide-ide. Sedangkan teori merupakan terjemahan, sebagaimana disebut dalam bahasa Italia “traduttore, traditore”. “Penerjemah sama dengan pengkhianat”, yaitu menanggung risiko berkhianat.

Lalu, apa yang terjadi? Data diinterpretasikan secara keliru, sehingga ada risiko kekeliruan. Oleh karena itu kita harus mengajarkan kesadaran atau kewaspadaan melalui pengetahuan, dan menunjukkan jalan menuju pengetahuan yang relevan.

Jalan apa itu? Mengetahui bagaimana mengontekstualisasikan pengetahuan sesorang, tidak hanya secara geografis, tetapi juga historis. Memasukkannya ke dalam satu keutuhan tempatnya seharusnya berada. Ironisnya, hari ini, kita punya banyak ahli yang terampil dalam suatu spesialisasi khusus , tetapi ketika ada permasalahan yang berada di luar spesialisasi mereka, mereka lalu tersesat. Para ekonom yang mengembangkan ilmu sosial yang tepat berdasarkan kalkulasi-kalkulasi menjadi tidak berdaya menghadapi krisis baru karena tidak sesuai dengan kondisi ekonomi tetapi juga kondisi-kondisi lainnya, dan meskipun kalkulasi itu bermanfaat, tapi tidak mampu memahami permasalahan dan penderitaan kemanusiaan dalam kehidupan kita.

Toto Rahardjo
Pendiri Komunitas KiaiKanjeng, Pendiri Akademi Kebudayaan Yogyakarta. Bersama Ibu Wahya, istrinya, mendirikan dan sekaligus mengelola Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam” di Nitiprayan, Yogyakarta
Bagikan:

Lainnya

“Azwaj”

Azwaj

Kalau Maiyahan, sejak awalnya dulu hingga kini, tidak ada pemisahan tempat dan posisi antara laki-laki dengan perempuan.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version