Idulfitri: “Sungkem” ke Pangkuan “Ibu Quran”
Muthahhar, Tercerahkan
Dengan demikian, prinsip utama realitas Idul Fitri ialah bahwa ia merupakan titik paling sublim dari kejiwaan manusia yang dihasilkan oleh proses laku puasa. Situasi dan kondisi sublim itu memiliki kemungkinan untuk berlaku pada level personal-psikologis maupun sosial-empiris. Seseorang yang sudah tarekat puasa sebulan penuh berhasil menyublimasikan dirinya, tetap dihadang kemungkinan untuk “terguncang” atau “terpecah” kembali karena atmosfer sosial atau sistem- sistem lingkungan yang mengikatnya — sesudah Lebaran — membuatnya terapuhkan dan terhanyutkan kembali.Bahasa sederhananya, sesudah ber-Idul Fitri dan bersih diri, ia bisa “kotor” kembali. Mungkin karena itu, sesudah setahun, ia dipuasakan dan memuasakan diri kembali. Allah bukan saja Maha-mafhum terhadap kemungkinan “gelombang” dan “pasang surut” situasi hamba-hamba-Nya. Lebih dari itu, Dia juga “taktis”. Bahkan, Dia sediakan juga metode yang “radikal”: mulai sehari sesudah Idul Fitri, kita disunnahkan untuk berpuasa enam hari — ibadah “frontal” di hadapan pesta pora Lebaran — dengan janji pahala dan kemuliaan yang beribu kali lipat.
Term dalam Qur`an, yang agaknya paling tepat untuk menggambarkan situasi sublim itu, adalah muthahhar. Artinya, manusia yang tersucikan. Terjernihkan. Tercerahkan.
Di kulit luar kitab Qur`an, Anda selalu bisa menemukan kalimat Allah itu: la yamassuhu illal-muthahharun. Arti tekstualnya: “Tidak menyentuh Kitab ini, kecuali dalam keadaan suci”. Makna kontekstualnya, sejauh yang saya coba pahami: “Seseorang tidak akan tuning in iklim Qur`ani, kecuali ia tercerahkan, baik secara spiritual, intelektual, mental, dan moral”.
Dengan demikian, gambaran situasi sublim kehidupan seseorang mempersyaratkan dipenuhinya kebersihan spiritual, kejernihan dan kejujuran intelektual, kesehatan mental dan kelayakan moral. Tingkat dan kualitas pencapaian empat dimensi itu menentukan seberapa rekat seseorang berada dalam persenyawaan dengan rohani Qur`an dan ilmu Qur`an, serta dengan mentalitas dan moralitas Qur`ani — yang pada akhirnya tecermin dalam perilaku sosialnya.
Bukankah visibilitas Idul Fitri mempersyaratkan keadaan kejiwaan dan realitas perilaku sosial sedemikian rupa sehingga relevan (berhak secara hukum dan ilmiah sebagai kenyataan) untuk mengalami dan memperoleh Idul Fitri?
Bukankah “Ibu Qur`an” memperbandingkan antara manusia an’amta ‘alaihim dengan manusia maghdlub dan manusia dhollin?
Maghdlub, orang yang Allah marah kepadanya. Orang yang “tahu tapi tak mau”. Orang-orang yang menyerap ilmu, tapi tak menerjemahkannya menjadi realitas kehidupan. Orang-orang yang menumpuk pemahaman, tapi tidak memperjuangkan dan menegakkannya karena kecil hati dan ciut nyali di hadapan kekuatan yang bukan Tuhan. Orang-orang yang membanggakan kepandaian akal, tapi memanjakan kehidupan dan menghinakan kematian, sehingga hidupnya membuih dan mengambang.
Orang-orang yang dalam shalat formalnya mengucapkan iyyaka na’budu wa iyyakanasta’in (hanya kepada-Mu aku mengabdi dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan) ternyata untuk memperolok-olokkan Allah, sebab realitas kehidupan tidak sungguh-sungguh ia letakkan dalam ikrar, konteks, dan iklim sikap yang semacam itu. Orang-orang yang selalu mengemis Ihdinasshirathal-mustaqim (tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan yang ditegakkan) dan Allah telah sejak dulu kala memberikannya, tapi mereka tidak benar-benar bersedia melalui dan menggunakannya. Orang-orang yang meminta, diberi, tak menerimanya, tapi meminta lagi, diberi dan tak menerimanya, dan meminta lagi.
Mungkin karena itu, Rasulullah Saw mengajarkan agar sesudah shalat, hendaknya para hamba Allah berwirid astaghfirullah, astaghfirullah (ampun ya Allah! ampun ya Allah!!!) dan siallah kalau ternyata kata-kata ini pun bercanda belaka.
Masih mending adhdhollin, orang-orang yang “mau, tapi tak tahu”. Orang yang kurang maksimal ber-iqra’, tapi tulus hati pengabdiannya. Orang yang tak pintar, tapi berani bekerja keras, penuh tekad, dan mengandalkan kesembodoan. Tidak mereka capai kesempurnaan an’amta ‘alaihim karena akal budi dan kercerdasan — indikator utama kemakhlukan manusia — kurang mereka asah dan olah, tapi mereka berada di “antrean” kedua dalam menghadapi ghadlabullah, murka Allah.
Kita yang maghdlub dianjurkan oleh “Ibu Qur`an” untuk mengacu dan menghayati poros malik-rahim: perjuangan otoritas dan cinta kasih sosial. Adapun kita yang dlollin disarankan untuk memedomani lajur rabb-rahman: bahwa untuk mengasuh dan menyantuni zaman, diperlukan pendalaman atau internalisasi cinta kasih, yakni cinta yang “tidak buta”, cinta yang “kawin”, dengan kebenaran — melalui ilmu. Itulah jalan pencerahan.
Reesensialisasi
Tidak ada keadaan yang lebih menawarkan kecerahan melebihi pertemuan antara ketulusan Ibu dengan kerinduan tulus kita sendiri atasnya. Dan, firman “Ibu Qur`an” adalah pintu gerbang intelektualitas, kemudian spiritualitas, untuk memasuki “gelombang Allah”: “Maha-Ibu” dari kehidupan.
Proses pendidikan, pergaulan, tetangga, komunitas, negara, kebudayaan, dan sejarah menyuguhkan kepada kita makanan ketela, serta “merakit” kita menjadi — mungkin benar-benar — “ketela”. Namun, sesudah melalui mulut, kerongkongan, dan usus, ketela itu kehilangan keketelaannya: ia menjadi unsur inti. Saripati. Mungkin semacam Idul Fitri.
Ketela, getuk, keripik, atau kolak adalah produk budaya. Kita pedagang, kita penyair, kita direktur, kita presiden, kita ilmuwan, dan segala macam “kita” yang menjadi kebanggaan sehari-hari — adalah “getuk” budaya belaka. Padahal, kita menyangka itulah “jati diri”. Betapa term dan pemahaman tentang jati diri ini telah mendangkalkan kedalaman kemanusiaan dan memiskinkan hakikat rohani kita sendiri. Maka, perolehan Idul Fitri adalah kesanggupan menarik jarak antara getuk dengan saripati. Antara “aku sosial”, “aku budaya”, atau “aku status” dan “aku identitas” — yang semu dan temporer — dengan “aku sejati”, “aku pribadi”, “aku diri”, kemudian akhirnya “aku Diri”, yakni “aku Sejati”.
Atmosfer kejiwaan sosial Idul Fitri adalah merebut kembali hakikat kemanusiaan dari hubungan profesional, hubungan fungsional, hubungan politik, hubungan kepentingan, dan berbagai jenis hubungan budaya lain yang sesungguhnya bersifat sekunder dan instrumental — untuk memosisikan diri kembali pada hablun, pertalian, yang lebih hakiki dan esensial: hubungan kemanusiaan, universalitas, hubungan hati nurani, hubungan cinta dan kebenaran.
Bersungguh-sungguhkah kita — yang esok ber-Lebaran dengan gebyar dan warna-warni — memperjuangkan esensialisasi kejiwaan internal kita masing-masing, dan kemudian mencoba menerjemahkan dan memformulasikannya menjadi upaya-upaya pembaruan sosial?
Telah kita lalui Ramadlan, satu bulan “proses peragian jiwa”. Mencairkan kebekuan dan kekakuan egosentrisme, nafsu berkuasa, nafsu memiliki, nafsu mempertahankan sesuatu yang kita sangka kekuasaan dan kemenangan — yang esok hari akan menjerembabkan. Dengan puasa telah kita upayakan transformasi dan transubstansi diri: dari kesadaran jisim (konsentrasi untuk mencapai segala eksistensi kewadangan), menuju manusia quwwah (aksentuasi kepenuhan budaya dan kekuasaan), dan akhirnya menjadi manusia “nur” (keberpihakan terhadap pengintian dan penyejatian langkah-langkah hidup).
Bersungguh-sungguhkah kita dengan proses peragian jiwa ini? Sebab, orang-orang yang terlambat menghentikan tradisi bohong kepada diri sendiri akan harus mempertahankannya dengan bohong kepada yang lain: kebohongan yang akan berakhir hanya kalamhin bilbashar — dalam sekejapan mata Allah. Orang-orang yang mengisi hidupnya dengan tradisi menjatuhkan, memonopoli, dan mengingkari sunah distribusi (sedangkan Allah pun menyelenggarakan power sharing antara diri-Nya dengan para khalifah-Nya) akan tidak bisa menghindari kejatuhan. Orang-orang yang tidak meragikan kesadaran hidupnya, yang menggumpalkan ego dan penguasaan, yang memberhalakan dirinya sendiri di rumah, di kampung, dan di negeri, tidak bisa menghindarkan diri untuk tumbang oleh ikhtilallaili wannahar — oleh tradisi alam pergantian siang dan malam segala zaman.
Akan tetapi, insya Allah kita bukanlah orang-orang semacam itu. Insya Allah kita adalah hamba-hamba Allah yang hari-hari ini sedang sungkem ke “telapak kaki ibu”: menundukkan muka di jalanan kesejatian kembali. Mendito, insya Allah kita adalah hamba-hamba Allah yang satu sama lain saling mengucapkan minal ‘aidin wal faizin, kulli ‘amin wan antum bi khoir wa ‘afiyah: kita adalah hamba-hamba yang kembali kepada-Nya, yang beruntung karena dianugerahi-Nya sejati, yang memasuki tahun-tahun yang baik, sehat, dan selamat.