CakNun.com

Huwa la huwa dan Spontanitas “Oalah

Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Maxime LEVREL from Pexels

Kalau nineteen jelas dari bahasa Inggris, artinya 19. Silakan browsing dengan kata kunci 19. Yang keluar tidak jauh dari Covid 19. Angka 19 telah “berjodoh” dengan Covid.

Itu artinya saat angka “19” diucapkan pikiran langsung tertuju pada nama virus. Lama kelamaan, tanpa sadar, kita melakukan simplifikasi 19 adalah virus.

Denotasi kata menyempit, konotasi kata mengalami bias. Yang lumayan terjaga dari penyempitan makna denotasi maupun pembiasan makna konotasi adalah kata (tembung) dalam bahasa Jawa.

Misalnya, manusia Jawa memiliki tembung “niteni”. Belum ditemukan padanan kata yang tepat untuk membahasa Indonesiakan “niteni”. Ini bukan urusan “senioritas bahasa” yang melibatkan sejarah panjang semiotika, kebudayaan, dan peradaban.

Kita juga bisa melacak — misalnya, menggunakan terminologi bahasa nilai, bahasa pasar, bahasa politik, yang diadaptasi dari manusia nilai, manusia pasar, manusia politik — untuk menemukan maqam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam struktur berpikir manusia Indonesia modern.

Bahasa Indonesia hari ini merupakan turunan Bahasa Melayu Pasar. Bahasa Indonesia digunakan secara tidak baku dalam percakapan sehari-hari. Kecuali dalam pidato resmi kenegaraan, teks buku pelajaran, atau surat lamaran kerja.

Terasa aneh menggunakan bahasa Indonesia baku dalam percakapan sehari-hari.

“Anak-anak jangan bermain di belakang truk. Bahaya! Nanti bisa kunduran.”

“Papa,” panggil sang istri, “Mama berangkat ke kebun. Karak di atas genting jangan lupa dientas.”

Maksud kunduran truk adalah terserempet, tertabrak, terlindas truk yang berjalan mundur. Jadi, apa bahasa Indonesia “kunduran truk”? Belum ada, atau tepatnya, tidak ada.

Lantas, gerangan apakah itu karak? Ini belum upo dan menir. Kalau kita tidak pengalaman ngliwet, mengukur air pakai jari, lalu disinep, nasi bisa nglenis.

Bukan hanya akurasi makna, kita merasakan keindahan tembung, ukara, dan ujaran manusia Jawa dan bahasa daerah lainnya melalui percakapan sehari-hari. Terasa belum afdlol ngobrol yang tidak diselingi spontanitas “Cak Cuk”.

Sekarang, apakah moral dan estetika berkata-kata masih berlaku? Faktanya, kita digiring, dikondisikan, dikurung dalam tata logika yang membela kepentingan pasar. Standar nilai yang berlaku hanya dua: untung atau rugi.

Itu pun yang dimaksud untung adalah meraup rupiah, dolar, saham di atas ekspektasi. Kalau kita menghitung bakal untung satu juta, lalu untungnya juga satu juta, kita masih berada dalam posisi rugi.

Menempatkan untung dan rugi dalam skala relativitas ternyata sandiwara nilai. Moralitas semu. Aslinya kita tidak siap rugi kendati sudah mendapat untung.

Ketika hijab kepalsuan di balik kata-kata tersibak kita pun bergumam: “Oalah, ngunu ta.” Ya, “oalah”. Lisanul Jawa menggunakan tembung itu saat topeng kepalsuan tersingkap. Yang sejati, atau minimal wajah kebenaran, seketika tampak.

Otak atik gatuk-nya, “oalah” adalah ukara serapan dari huwa la huwa, yang diucapkan secara lisan Jawa menjadi “oalah”.

Huwa, Dia, yang digambarkan, ditasybihkan, diserupakan oleh alam pikiran manusia la huwa, bukan Dia. La huwa adalah tanzih dan tasbih yang mensucikan Dia dari segala yang disifatkan manusia kepada-Nya. Subhaanallahi ‘amma yashifuun.

Tembung “oalah” dimuati kesadaran tasbih dan kesaksian bahwa kebenaran datang dari Allah yang Huwa la huwa.

Topeng kebenaran di wajah manusia tidak lebih sekadar akon-akon subjektif, klaim individual, justifikasi kelompok, pencitraan kepentingan.

Huwa, dia, si kebenaran yang dikampanyekan, dimonopoli, di-aku-kan, sementara yang berada di luar gerbong di-engkau-kan dan di-mereka-kan, la huwa, bukan kebenaran yang benar-benar benar.

Pada konteks itu huwa la huwa, yang dilisankan manusia Jawa menjadi oalah menunjukkan relativitas kebenaran yang dicakrawalai manusia.

Manusia Jawa menikmati momentum “oalah” melalui metodologi niteni untuk membaca, menguak dan menemukan dialektika kausalitas antar komponen, unsur, fakta, fenomena, dialektika, kasunyatan yang meneteskan kebenaran. Waskita jalaran saka niteni.

Demikianlah kata bekerja dalam sistem bahasa. Kata menyimpan aji, etika, filosofi, akidah.

Hari ini kita menjumpai kata-kata kehilangan aji. Ukara kehilangan etika. Kata-kata diucapkan tidak sebagai aji, etika, filosofi, akidah sebagaimana akar etimologi. Satu biji kata menyimpan nilai pasar, nilai untung dan rugi, nilai transaksi wani piro.

Rugi besar adalah manakala dijanjikan ratusan juta ternyata mak-klutik dapat dua juta. Spontan kita bergumam: “Oalaaah, ternyata…”

Exit mobile version