CakNun.com

Hutang-Hutang Kebudayaan
dari Masalah Idealisme dan Orientasi Kaum Muda

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 12 menit

Untuk menemukan jawabannya, harus kita jernihkan dulu pengertian modernisasi secara murni, dengan yang selama ini di dalam mekanisme sosial kita disebut modernisasi. Saya lebih cenderung menganggap letak essensi modernisasi ialah pada tatanan sikap mental, daripada wujud-wujud materiil yang dicapai oleh abad ini dalam pelayanan kebutuhan berbagai sektor kehidupan manusia. Pengertian ini barangkali bertentangan, setidaknya berbeda, dengan umumnya anggapan orang di mana warna-warna permukaan dari kehidupan sosial disebut sebagai modernisasi. Sarana transportasi yang sangat mengeffektifkan berbagai keperluan komunikasi, penggunaan hasil-hasil produksi tehnologi dalam bidang-bidang industri, pertanian, kedokteran dan lain sebagainya, masih bisa dianggap sebagai contoh soal dari prestasi sikap mental tertentu yang dikandung oleh modernitas, meskipun ia meminta juga ongkos-ongkos langsung maupun tak langsung. Akan tetapi jika sekedar gaya kehidupan kota, mode, gemerlapan pakaian atau mobil mewah, dipandang sebagai anasir modernisme yang secara otomatis mengangkat derajad prestige sosial, maka itu jelas bukan gerak dari modernisasi.

Kita juga berhadapan dengan kenyataan bahwa implementasi dari pada modernisasi lebih teraksentuir ke kecenderungan westernisasi. Itupun tidak dalam prinsip yang cukup essensiil dan tidak dengan pemilihan yang selektif dan waspada. Tentu akan berbeda keadaannya apabila kita mengambil manfaat secara dewasa umpamanya soal rasionalisme dengan kadar yang konsisten dan kreatif, dengan apabila kita sekedar ambil oper produk-produk Barat secara “tinggal makan” dan konsumtip. Akan jauh berbeda manfaat yang kita peroleh jika kita menimba pelajaran : sikap mental yang bagaimana yang menjadi sumber dicapainya sekian tinggi prestasi tehnologi Barat — dari pada jika kita sekedar memakai produksi-produksi mereka, sekedar makan masakan orang sambil sedikit saja menghayati api dapur di mana masakan itu diolah. Dan kita tentu akan ‘tetap tidak dinamis (: salah satu unsur modernisme) dalam pengolahan sikap mental, apabila kita abai untuk menyadari bahwa Apollo bisa ke bulan atau pertarungan Ali-Spink di New Orlean detik itu juga bisa diikuti dari Temanggung, hanyalah dimungkinkan oleh tradisi pengabdian yang setinggi-tingginya kepada kreativitas ilmu pengetahuan.

Kesadaran terhadap pengabdian spirituil semacam ini yang saya pikir merupakan kekurangan kita, atau merupakan “gerak yang hilang” segera setelah kita “hidup modern”. Kenyataan ini sangat ironis kalau diingat bahwa missi pengolahan kepribadian atau mentalitas sebenarnya merupakan tradisi yang “klassik”. Ilmu silat umpamanya, yang merupakan perbendaharaan budaya manusia yang cukup purba, bahkan beresensi pada proses pengolahan mentalitas. Apalagi jika kita benarkan bahwa banyak nilai-nilai spiritualitas yang dewasa ini terdesak oleh arus penuhanan materialisme, tidak lain adalah warisan yang dulu hidup subur dalam kehidupan “orang-orang belum modern”. Jika hal ini benar, maka apa yang selama ini kita sebut sebagai modernisasi, bukanlah era baru yang tercipta oleh genre mutakhir, sebab alam hidup modern ternyata menjadi contoh yang gamblang pula dari ketimpangan tatanan sikap mental manusia. Era baru itu hanyalah prestasi tehnologi, prestasi keilmuan, prestasi otak, serta pengabdian mabuk kepada materialisme. Mentalitas Gadjah Mada yang dinamis, effektif, sigap dan menjangkau ke depan — oriented — kenapa bukan sikap mental modernis? Sebuah desa di Indonesia yang kini penuh sepeda motor, TV, mode, serta pengabdian yang terpusat penuh kepada pencarian benda-benda dan angka-angka, tetapi tanpa tatanan sikap mental sedemikian rupa, bahkan harus dengan memberikan bayaran hilangnya banyak dimensi dan tradisi spirituil — kenapa dengan bangga kita sebut “telah modernisir diri”? Anak-anak muda kita, ngebut dengan motor pembelian Bapaknya serta dengan knalpot terbuka, melahap habis majalah-majalah pop, melaris-habiskan kaset-kaset cengeng Edy Silitonga, mendukung pemasaran film-film mobil dan rumah mewah dan gaya hidup borjuis, jojing rock ‘n roll diskotik, hidup tenggelam dan mabuk dalam kehidupan pop, seperti larutan tanah yang menjadi satu dengan arus coklat air sungai, yang tidak tahu apapun tentang sungai itu — kenapa wajah ini diassosiasikan sebagai indikasi-indikasi dari modernitas? Mahasiswa-mahasiswa kita yang masuk Tehnik atau Kedokteran untuk suatu tujuan konkrit materialisme, yang masuk fakultas-fakultas sosial dengan tidak cukup banyak yang bertolak dari suatu idealisme sosial, yang masuk fakultas sastera tanpa keterlibatan minat serta tradisi dengan mekanisme perkembangan kesastraan, yang masuk fakultas dakwah sambil sibuk membayangkan di Instansi mana kira-kira kelak ia bisa berkantor, atau yang masuk fakultas filsafat tanpa pernah mampu mengatasi bombasme dan nihilisme kefilsafatan karena kurang mengusahakan perimbangan keterlibatan sosial kultural dengan realitas hidup masyarakat serta balance-balance psychologis dalam dirinya sendiri — kenapa cukup syah untuk memproklamasikan diri termasuk dalam golongan kaum intelektuil modern? Anak-anak remaja kita yang umumnya kurang memiliki ketahanan mental terhadap ujian proses waktu, yang ingin cepat sampai, yang dimanjakan oleh tradisi kenikmatan Konsumtif, yang gampang menggugurkan idealisme, dari mahasiswa-mahasiswa yang umumnya kurang mampu memiliki penalaran atas dasar idealisme perjuangan kemahasiswaannya sebagai subjek-subjek terpenting dalam proses pembudayaan (baik dalam bidang politik, sosial, maupun kultural sehari-hari), sampai cewe-cewe kita yang gampang jadi pelacur hanya oleh keringkihan idealisme yang tak mampu menguasai keterpepetan ekonomis, atau yang gampang memampangkan paha dan buah dada·di majalah-majalah pop karena menyangka para produser film akan secara cepat menaikkan pangkatnya, atau gadis-gadis yang berdegam-degam dadanya menunggu calon suami yang menjelang Insinyur agar segera bisa digandolinya — kenapa ini semua tidak merupakan ironi bagi idea kita tentang modernitas?

Saya sadar bahwa assumi di atas sama sekali bukan hasil dari misalnya pengukuran sosiografis yang rapi, atau dari angket-angket yang barangkali diperlukan sebagai persyaratan methodologis untuk membaca kenyataan-kenyataan sosial. Gejala-gejala umum yang saya sebut itu hanyalah impressi dari pergaulan sosial. Saya pikir banyak sekali segi-segi dari keadaan suatu masyarakat, terutama motivasi-motivasi atau latar belakang dari perilaku sosial, yang hampir mustahil bisa dibaca kebenaran-nya dari informasi para responden. Dan saya memang tak pernah bisa mengingkari bahwa cerminan-cerminan yang terpantul dari keseharian pergaulan sosial, yang membutuhkan kepekaan-kepekaan tertentu serta daya analogi imajinatif, lebih terasa sebagai realitas. Di samping itu, pendekatan-pendekatan lewat forum diskusi, ceramah, ataupun obrolan warung kopi, saya rasakan amat menggarisbawahi. Oleh karenanya saya selalu sampai pada tekanan permasalahan, bahwa soal tatanan sikap mental (yang saya aksentuasikan lagi ke soal idealisme dan orientasinya) jelas merupakan bilik tertutup dari problema anak-anak muda kita, yang harus dibuka. Ini kalau kita semua menginsyafi bahwa hutang-hutang itu musti mulai dilunasi.

Lainnya

Exit mobile version