Hidup Tak Berarti, Sesudah Itu Mati
Sekian puluh tahun kemudian, di tengah kesibukan KiaiKanjeng berkeliling, Mas Darmanto mendadak sakit “stroke”.
Apakah stroke itu sakit? Apakah ia penyakit? Apakah “disfungsi” sejumlah peralatan biologis insan itu penyakit? Apakah mati itu tidak atau bukan kehidupan? Apalagi, apakah mati itu tragedi?
Bagaimana kalau ternyata Allah menunjukkan cinta-Nya kepada hamba tertentu yang dipilih-Nya? Sehingga hamba-Nya itu di-install sedemikian rupa dengan suatu operating-system rohaniah yang justru jauh lebih kompatibel dengan keberadaan Allah dibanding pada umumnya manusia yang dikuasai oleh kerendahan sistem materi?
Manusia itu bikinan Allah. Disayang dan dicintai oleh Penciptanya itu. Disuruh hidup di bumi dengan perjanjian cinta: Allah mencintainya dan insan diperjanjikan untuk juga mencintai-Nya. Mencintai-Nya berarti mengarahkan hidupnya untuk kembali menyatu dengan-Nya. Menjadi apapun di dunia — seniman, petani, pejabat, pengusaha, atau apapun — sama saja: mengelola seluruh faktor dalam hidupnya supaya datang kembali dan diterima di rumah-Nya.
Tuhan menyuruh seorang Utusan-Nya supaya memberikan kepada Ummat manusia: “Kalau memang kalian menyayangi Allah, ikutilah jejakku untuk menyatu kembali dengan-Nya”. Nanti bersama Allah, insan hidup abadi. Selamanya. Bahkan di rentang dua keabadian.
Tatkala insan masih hidup di dunia, namun tidak bisa lagi melaksanakan komunikasi budaya dengan insan lainnya–misalnya sebab stroke: apakah itu penyakit, apakah itu berarti Tuhan sedang menyiksanya?
Si insan pilihan itu dipagari dari kemungkinan-kemungkinan untuk berbuat buruk. Ia dimerdekakan hingga batas tertentu untuk terlibat dalam “hawa buruk” kemanusiaan, kebudayaan, terutama politik yang semakin busuk. Ia dikurung oleh Allah di “bilik cinta”-Nya. Ia dimonopoli oleh kekasih-Nya.
Ternyata sudah sebelas tahun Mas Darmanto mengalami stroke. Artinya Allah tidak memberi kesempatan kepada siapapun kecuali keluarga setianya untuk memperoleh cinta mas Darmanto. Sebab di luar itu, keadaan lingkungan sedang dipenuhi pengkhianatan, kemunafikan dan tipu daya.
Mas Darmanto sangat susah mengucapkan kata, tetapi tetap berkomunikasi dengan pandangan mata beliau. Itu berdasarkan pandangan kita. Tetapi bukan demikian yang sesungguhnya dialami oleh Mas Dar. Ia sudah mengalami transformasi ke habitat yang gres yang lebih penuh kemurnian dan ketulusan. Ia bercengkerama, bercanda, bermesraan dengan sahabat-sahabat yang lebih sejati, yang kita belum bisa mengalami dan merasakannya sebab masih karam di alam kepalsuan.
Di pandangan mata kita, Allah menyisakan kenangan yang indah-indah dan baik-baik pada diri Mas Dar, sehingga dia dalam kondisi stroke itu tampak selalu bergembira, banyak tersenyum dengan sesekali menangis haru dan bahagia.
Dulu Beliau penyair yang spesifik dan khas karya-karyanya, beberapa puisinya dibawakan dengan bentuk Musik-Puisi oleh aku dan Musik Dinasti yang merupakan kepeloporan bentuk pemanggungan puisi. Yang paling populer di era itu adalah Musik-puisi “Main Cinta Model Kwangwung”. Mungkin “Dunia Kwangwung” itu yang sedang dimasuki oleh Mas Dar.
Andaikan ternyata kelak aku lulus masuk sorga, dan menerima jatah rumah tidak terlalu kecil, dengan halaman depan dan samping yang cukup luas, serta kebun buah di belakang rumah: insyaallah akan aku bangun Paviliun di sisi kanan rumah aku untuk Mas Darmanto Jatman.
Itu bukan sebab aku seorang pemurah dan senang bersedekah, melainkan sebab selama kost di Bumi, hingga Mas Dar ditimbali oleh Maha Pencipta dan Pengasuhnya: utangku kepada Mas Dar belum aku lunasi. Di tahun-tahun terakhir kehidupan dia yang “dimonopoli oleh Allah”, aku nyicil bayar utang dengan hanya memeluk-meluk dia dan menciumi pipi beliau.
Di antara para senior penyair ketika itu, Mas Dar termasuk di antara sangat sedikit yang “terpelajar”. Mas Dar adalah ilmuwan sosial, yang ilmunya lebih hidup dan “berdarah” sebab pengalaman sastra dan seninya, serta yang lebih tegas tekstur dan perwajahan puisinya sebab dimensi keilmuan beliau. Di Keraton Ilmu UNDIP, dia Senior, Sesepuh, Begawan, Panembahan, Jimat. Maka UNDIP yang nyengkuyung pemakaman beliau, bukan masyarakat sastra atau apalagi gèng penyair. Sebab berdasarkan Rendra, salah satu penyair terbesar Indonesia, penyair “berumah di angin”. Dan jangan sekali-sekali punya gagasan untuk memadamkan Mas Dar di angin.
Mohon sampaikan salam kami semua ke Pak Umar Kayam, Mas Willy Rendra, semua, juga Mbah Chairil Anwar yang mencanangkan “Sekali berarti, sesudah itu mati”. Sampaikan salam dari gerombolan anak-cucu yang “belum tentu berarti, sesudah itu mati”. Kami di sini semakin tidak berarti, padahal senja makin meremang, Malaikat Izroil berkelebat-kelebat keluar masuk semak-semak. Pendekar Bayangan mengendap-endap di antara tidur dan jaga. Satu persatu kami semua pasti akan menyusul Mas Darmanto. Yang kami tidak tahu adalah dua hal. Pertama, kapan jadwalnya kami menyusul itu. Kedua, apakah kami layak mendapatkan akses OS rohaniah dari Allah sebagaimana Mas telah diinstall dengan indah.
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ
فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku ini dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Operating-system dan kumpulan software yang diinjeksikan ke dalam jiwa kami adalah peradaban dari rentang Renaissance-Globalisasi, yang meletakkan Tuhan sebagai faktor sekunder dan pelengkap penderita dari Negara dan kekuasaan manusia.
Kami tidak berkembang dari budaya “gentho” dan kesombongan “preman”.