Hidup Itu Wajib Perang
Ajaran “ukhuwah” dalam Islam, selama hampir 15 abad tidak pernah menemukan dan ditemukan tafsir dan aplikasinya dalam konteks sosial, kebudayaan, politik, dan peradaban.
Begitu kita menjadi orang yang beragama Islam, langsung terposisikan bahwa kita tidaklah bersaudara dengan yang bukan Islam. Maka dilahirkan istilah “saudara seiman”, “saudara sebangsa”. Tapi tak ada “saudara sedunia” atau “saudara sesama manusia”.
Di Maiyah bahkan ditumbuhkan pengertian bahwa tumbuh-tumbuhan, hewan, gunung, sungai, lautan, bebatuan, debu sampai cebong dan kadal adalah saudara kita sesama makhluk Tuhan.
Sampai-sampai kalau ada anjing lewat, anak Maiyah bergurau menyapa “Mau ke mana, Mas?”. Karena binatang diciptakan lebih dulu dari manusia.
Kakak sulung kita adalah “Nur Muhammad”. Kemudian jagat raya. Galaksi-galaksi. Tata-tata surya. Planet-planet dan satelit. Kemudian isi jagat, kekosongan atau kehampaan materiil, udara, air.
Semua adalah kakak-kakaknya manusia, sehingga mereka semua bersaudara. Maka kalau bikin demokrasi, nalarnya ya harus melibatkan semua saudara itu. Yang bareng-bareng melaksanakan “Inna lillaHi wa inna ilaiHi roji’un” melalui kehidupan dan peradaban.
Itulah yang dijunjung oleh KiaiKanjeng dan disebarkan oleh Maiyah, bahkan infrastruktur nilainya disemaikan sejak Dipowinatan dan Dinasti maupun Perdikan. Dari Kadipaten, Patangpuluhan, Kasihan hingga Kadipiro.
“Paseduluran Tanpa Tepi” diusung dengan bahasa yang mudah dipahami semua orang. Forum interaksi dan dialog Maiyah berlangsung sejak bakda Isya sampai hampir Subuh, dengan 10 sd 30 ribu orang, tanpa seorang pun beranjak pergi atau mengantuk.
Peristiwa keindahan dan kemesraan berMaiyah tidak pernah kita ketahui pernah terjadi di zaman apa, di abad keberapa, di negeri atau daerah mana di muka bumi.
Tetapi semua wajib tahu bahwa kehidupan ciptaan Tuhan ini tidaklah semudah yang dibayangkan oleh manusia. Tidak sepragmatis yang diteliti oleh ilmu, dan tidak selinier seperti yang disangka oleh kaum remaja.
Apa yang sampai hari ini dikerjakan dan dicapai oleh Maiyah dan KiaiKanjeng bukanlah prestasi atau apalagi pencapaian karier.
Secara ‘ilmulyaqin, haqqulyaqin dan ‘ainulyaqin, semua itu hanyalah upaya semaksimal dan seoptimal mungkin untuk menjalani “iradatullah” (kehendak Pencipta), “sunnatullah” (hukum alam), “amrullah” (perintah Tuhan) menuju “yaumiddin” (hari akibat dari segala sebab).
Di sepanjang proses perjuangan itu berlangsung hal-hal yang diselubungi relativitas dan kemungkinan. Di arena tak terbatas itulah kita selalu harus berperang melawan segala sesuatu yang harus diperangi.
Maka “perang itu wajib” berdasarkan hakikat kehendak dan perintah Allah:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ
وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
وَعَسَىٰ أَن تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ
اللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Bagaimana tidak repot dan ruwet. Kita menyukai sesuatu, dari makanan hingga harta benda dan jabatan: kata Tuhan bisa jadi itu berbahaya bagi kita.
Kita membenci sesuatu, dari konsumsi, produk budaya, prestasi teknologi hingga formula kehidupan bangsa-bangsa: ternyata mungkin itu malah yang baik dan kita perlukan.
Allah sendiri menginformasikan bahwa hidup ini penuh dilema dan komplikasi, sementara Allah menegaskan pula bahwa manusia itu jalas-jelas “dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
Maka diwajibkan atas kamu berperang. Hidup ini perang. Hidup adalah peperangan. Ini bukan kalimat hukum atau politik. Ini sunnah, ketetapan Allah, kehendak-Nya, perintah-Nya.
Bahwa kondisi alamiah manusia itu sendiri berada di medan perang, terutama nilai-nilai, sampai berkembang ke perang fisik dan mengerikan, atau terbatas pada perang mulut dan adu pikiran.
Dalam keadaan seaman apapun, hakikat peperangan dalam kehidupan manusia itu permanen dan mutlak adanya.
Kalau andalan utama manusia, negara dan peradaban adalah prinsip “benarnya sendiri”, maka setiap orang yang berpikir punya seribu alasan untuk membunuh sekian ribu atau jutaan orang.
Punya argumentasi dan landasan nilai untuk membakar gedung ini dan itu. Punya hujjah dan dasar wacana untuk menjadi teroris, memusnahkan ini itu.
Ada saja alasan untuk melakukan kudeta, revolusi, atau bahkan genosida atau pemusnahan atas golongan-golongan manusia lain. Yang menurut kita termasuk orang dhalim, sesat serta perusak kehidupan manusia ciptaan Tuhan.
فَلْيُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يَشْرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ
وَمَن يُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Karena itu hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar”.
Coba sebutkan yang bagian mana dari kehidupan mainstream ummat manusia di dunia sekarang ini, nilai-nilai anutannya, teknologinya, politik kekuasaannya, kebudayaan dan peradabannya yang “tidak menukar kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia”?
Apa alasan kita untuk menolak kewajiban hakiki atas kehidupan manusia dari Allah untuk berperang? Maka diwajibkan atas kamu berperang. Hidup ini perang. Hidup adalah peperangan. Ini bukan kalimat hukum atau politik. Ini sunnah, ketetapan Allah, kehendakNya, perintahNya. Bahwa ini diwajibkan jadi rumput, itu kambing. Anda jadi Anda, saya jadi saya. Itu wajib.