Heri, Heru, Hero, Hore, Horooo…
Sudah banyak tulisan “Kebon” yang mengisahkan Nevi Budianto. Mungkin orang akan berkesimpulan Nevilah “hero”nya proses dari Dipowinatan hingga KiaiKanjeng. Dia pencetusnya, pembentuknya, penggeraknya, dan istiqamah sampai hari ini. Tidak hanya di wilayah musikal dan kesenian, tetapi juga keindahan pergaulan, prinsip kehidupan, bahkan juga dengan bonus perilaku-perilaku naif, aneh, lucu, juga plesetan-plesetan, yang semuanya sangat menjadi energi bebrayan dan alat merawat kelanggengan.
Hero mungkin saudaranya Heri dan Heru. Para Hero dihore-horei oleh masyarakat, tetapi kita juga selalu menunggu horo-horo, suatu episode yang dalam setiap kisah wayang kulit selalu menjadi jawaban bagi masalah, solusi bagi problem, serta klimaks dari suatu himpunan keruwetan di antara manusia.
Seorang tokoh paranormal sepuh yang terkenal namanya di blantika politik dan kebudayaan nasional, tadi malam menelepon saya. Ia menyatakan kesepakatan terhadap wacana-wacana spiritual saya yang ia dengar dari banyak sumber. Ia juga mewanti-wanti bahwa beberapa minggu lagi dari sekarang akan terjadi “goro-goro” itu. Satria Piningit yang sejati, yang disembunyikan atau dipingit oleh Allah tetapi diumum-umumkan oleh manusia di sekitar Gunung Lawu, sejatinya adalah Imam Mahdi. Pandangan masa depan paranormal kita ini agak sejalan dengan berita-berita dari khasanah Islam.
Tetapi meskipun demikian banyak juga yang tidak seiring, misalnya ia mengatakan bahwa Isa Al-Masih bukanlah Yesus Kristus. Yesus itu manusia biasa sebagaimana Adam, Ibrahim atau Muhammad. Hanya saja Allah merasukkan roh Isa Al-Masih pada era itu ke eksistensi kemanusiaan Yesus. Inisiatif perasukan atau tajalli atau penjelmaan ruh ini akan segera ditiupkan ke Imam Mahdi yang juga manusia biasa.
Saya tidak membantah Paranormal itu dan saya juga tidak membuka arena perdebatan dengan siapapun saja soal ini. Biar saja manusia dan masyarakat modern, terutama kaum cendekiawannya menyimpulkan bahwa keberadaan Tuhan itu tidak bisa dibuktikan secara metodologi ilmiah dan akademis. Sehingga mereka membangun suatu anggapan umum atau common sense bahwa Allah, Malaikat, Jin, Setan, Iblis, dan Imam Mahdi itu “halu”. Saya juga tidak membuka forum dialog atau perdebatan tentang itu semua. Biarkan manusia menjalani hidup dengan lidahnya masing-masing, dengan mata dan telinganya, serta dengan ilmu dan pengetahuannya sendiri-sendiri. Sudah puluhan tahun saya kenyang oleh yang Imam Ghazali menyebut “la yadri wa la yadri annahu la yadri”. Atau yang oleh Allah disebut “shummun bukmun ‘umyun fahum la yarji’un”. Bahkan “qoumun la ya’qilun”. Dan dalam hidup yang hanya sekali ini saya tidak mau kekenyangan.
Sejak di Dipowinatan hingga Dinasti dan KiaiKanjeng, salah satu pelatihan yang kita proses bukan hanya “berusaha tambah tahu dibanding yang sudah kita tahu”, tapi juga “berusaha tahu apa-apa yang kita tidak tahu”. Kemudian memastikan kita berendah hati ketika tahu maupun apalagi ketika tidak tahu. Ketidaktahuan yang tidak diketahui akan melahirkan lebih banyak lagi ketidaktahuan. Tetapi ketidaktahuan yang diketahui akan menyebabkan lahirnya tahu-tahu yang baru.
“Tahu-tahu yang baru” itu saya peroleh selama saya ikut berproses dengan komunitas yang saya kisahkan ini. Saya sangat awam di bidang musik, tidak bisa memainkan satu alat musik pun, tidak mengerti istilah, idiom dan bahasa musik. Paling jauh hanya tahu intro, interlude, koda. Sering dengar-dengar sedikit tentang solmisasi, tetapi sampai hari ini benar-benar nul-puthul untuk “engeh” kok begitu itu A-B-C-D-E-F-G minor, yang lainnya itu mayor, kripnya begini. Bisa menerima kabar tentang doremifasol, tapi kalau mendengarkan lagu, tidak tahu yang mana do yang mana re yang mana mi. Apalagi ada sèl di samping sol. Tuhan kasih hadiah saya lagu “Shohibu Baiti”, “Hasbunallah” dll tetapi saya tidak tahu apakah ketukannya dua perempat, tiga perempat, ataukah tiga perempatan ataupun pertigaan.
Sejak kecil saya sering qiro`ah, bahkan saya mengajar qiro`ah ketika di kelas dua Gontor, tetapi saya tidak pernah tahu formula susunan nada Qiro`ah Sab’. Kalau di Maiyahan saya selalu minta tolong kepada Islamiyanto soal itu. Saya hanyalah burung yang terbang tanpa pernah mengerti apa itu terbang, berjalan atau berenang. Saya hanya bilahan Saron yang berbunyi tanpa menyadari bahwa ia berbunyi. Kelebihan saya dibanding alat-alat Gamelan dan musik hanyalah bahwa saya tahu bahwa saya tidak tahu.
Tatkala berusia 3-4 tahun Ibu saya sering berbaring di tikar sambil menidurkan Nas atau Adil adik saya, menyempatkan diri mengajari saya qiro`ah. Ibu mengaji rengeng-rengeng dan saya dipandu untuk menirukannya. Sedemikian penting dan tajamnya memori Balita, sehingga sampai sekarang saya ingat persis lagu yang Ibu transfer ke saya itu, yakni Surat Ali Imron 95 ke atas:
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ
فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِّلْعَالَمِينَ
Katakanlah: “Benarlah apa yang difirmankan Allah. Maka ikutilah agama Ibrahim yang hanif, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadat manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.
Dan ternyata ayat itu adalah benih serbuk pionir dari semua peradaban ilmu dan ma’rifat yang saya olah serta jalani hingga usia uzur sekarang. Shadaqallah itu kita teliti dan temukan di wilayah tanpa batas, dari yang materiil, alamiah, hingga kultur, politik, negara dan peradaban.
Tidak mungkin engkau temukan Muhammad tanpa mengawalinya dari Ibrahim, tapi mustahil juga engkau sanggup menemukan inti hikmah Ibrahim kalau tak mundur ke sangkan-paran Nur Muhammad. Sampai-sampai Cak Nurcholish Madjid intelektual utama Indonesia modern berani menyebut semacam Agama bernama “Millah Ibrahim” atau “Agama Hanif” tatkala beliau menikahkan putrinya dengan seorang Yahudi di Amerika Serikat.
Dan kalau engkau mendengar kabar ilmu bahwa Ka’bah bukan hanya kiblat shalatnya Kaum Muslimin, tapi ia adalah juga pusat pusaran energi jagat raya seluruhnya, maka “Qul shadaqallah”. Ucapkan: Maha Benar Allah.