CakNun.com

Hatiku untuk Abiyyu

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
Waktu baca ± 3 menit
Photo by Juan Pablo Serrano Arenas from Pexels

Seorang bernama Abiyyu, yang menjadi narasumber dalam sebuah web meeting atau sering kita sebut webinar, menarik perhatian saya. Dia adalah seorang survivor (penyintas) penyakit kanker mata yang disebut retinoblastoma.

Abiyyu bercerita dengan runtut apa yang dia alami. Semenjak dia mengalami mata merah, kemudian sang ibu membawanya berobat ke dokter. Mulai dokter umum sampai dokter mata. Mulai fasilitas kesehatan tingkat satu hingga ke fasilitas kesehatan rujukan utama (top refferal hospital) yang menjadi puncaknya rujukan di negara ini.

Lebih dari satu tahun Abiyyu bersama ibunya mengupayakan kesembuhan, namun tak kunjung ketemu apa yang dicarinya. Penyakitnya ditandai dengan mata yang merah, kemudian diobati, sembuh sesaat tetapi kemudian kambuh lagi. Begitu kondisi ini selalu berulang-ulang terjadi pada mata Abiyyu.

Namun sang ibu tak kenal menyerah, beliau selalu berusaha mengupayakan kesembuhan untuk anaknya tercinta. Segala macam dinamika terjadi dalam upaya tersebut. Berpindah dari satu dokter ke dokter yang lain, dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain, akhirnya Abiyyu mendapatkan jawaban setelah hampir dua tahun perjalanan pencarian ini. Dan ini pun Abiyyu harus kehilangan salah satu bola matanya karena kanker tadi.

Penyakit yang bernama retinoblastoma ini sering terjadi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Bisa berakibat fatal, namun bisa sembuh sempurna. Artinya sembuh sempurna adalah bola matanya bisa dipertahankan, penglihatan masih bisa berfungsi, nyawanya selamat, bila ditemukan dalam stadium yang awal.

Bisa fatal kalau penyakit ini ditemukan dan dikelola kalau sudah lanjut. Stadium lanjut (III-IV), karena biasanya pada stadium ini sudah terjadi penyebaran dari sel-sel ganas ke daerah kepala dan sumsum tulang.

Yang saya soroti adalah bagaimana ketidakmampuan kita dalam manajemen seorang Abiyyu ini. Bagaiamanpun juga, diakui atau tidak, disadari atau tidak ini adalah suatu kejadian yang tidak nyaman bagi Abiyyu dan keluarganya. Kondisi ini membuka mata saya, bahwa kita sangat terbatas, kita sangat kekurangan dalam hal apapun. Apakah pengetahuan kita tentang sakit, apakah sarana, apakah prasarana untuk pengelolaan penyakit. Dan masih banyak pengelolaan-pengelolaan tentang penyakit yang masih jauh dari sempurna.

Sesudah acara webinar berlangsung saya ‘ngudoroso’ dengan ‘ibunda’ saya, ibu Retno penyelenggara webinar ini melalui percakapan tertulis.

“Ibu, saya sedih mendengar cerita survivor tadi. Sadar atau tidak, diakui atau tidak itulah potret pelayanan kesehatan kita terutama kanker. Bagaimana tidak? Sang ibu sdh ‘right on the track’ mendatangi pusatnya RS di negara kita. En Toch masih juga ‘telaat’ dalam menemukan diagnosis. Kita bisa saja berkilah itu kejadian 20 th yll…, tapi bagi saya dia (si survivor RB) adalah guru sejati saya,” demikian text saya kepada ibunda Retno.

“Allahu Akbar… Nak Bagoes… mulakno bocah kuwi kinasiiih tenan buat YOAI (Yayasan Onkologi Anak Indonesia — nama organisasi nonpemerintah yang bergerak menolong penderita kanker anak di Indonesia). Bapake nelayan. Ibuke dhodhol kepiting nang pelelangan ikan. Mase ustadz hafidz Quran nang Jatim. Mbake ustadzah ngajar nang Jember… Coba yaaa Sederhana… tapi terpelajar keluarga itu. Kalau acara di Jakarta. Bobo nya di rumah ibu,” jawab Bu Retno, kemudian dilanjutkan dengan merespons dari text saya sebelumnya.

“Kita bisa saja berkilah itu kejadian 20 th yll…, tapi bagi saya dia (si survivor RB) adalah guru sejati saya”. “Kata2 ini ibu kudu nangis… je.”

“Sebenernya sy sdh menyiapkan banyak pertanyaan dan uneg2 saya kepada kedua pembicara terdahulu, Tapi semua hilang dan menjadi tak berarti dengan pemaparan si survivor tadi.”

“Monggo nak… Nanti diteruskan. Karena Q&A itu penting buat semua.”

“Semoga Allah senantiasa menemani perjalanan Abiyyu. Tolong sampaikan salam takdzim saya bu, dari sang murid untuk sang Guru (yang bernama) Abiyyu.” Demikian saya mengakhiri percakapan textual dengan ibunda.

Abiyyu adalah guru sejati saya. Dia wujudnya saja adalah pasien, tetapi sejatinya Abiyyu adalah guru!

Darinya saya belajar apa yang disebut sabar. Darinya saya memaknai apa yang disebut telaten. Darinya saya belajar apa itu kasih sayang. Dan darinya pula saya belajar apa yang disebut kekurangan, kebodohan, dan ketidaktahuan manusia atas rahasia Allah tentang penyakit dan kesehatan. Maka janganlah aku berjalan di muka bumi ini dengan kesombongan.

Lainnya

Aldi dan Keluarganya yang Tangguh (2)

Aldi dan Keluarganya yang Tangguh (2)

Selanjutnya Pak Dodok berkisah, “Untuk Aldi ini, (pengobatan) yang pertama adalah stadium awal, dengan pengobatan yang menggunakan protokol standar.

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
dr. Eddot
Exit mobile version