Hari-Hari Mergangsan Satu
Saya tersenyum kecut disebut wartawan pemberani. Berani dikontrol. Bukan berani mengontrol. Padahal fungsi media massa termasuk koran adalah melakukan kontrol sosial. Mudah-mudahan akan datang suatu zaman di mana terjamin adanya kebebasan pers yang sebenar-benarnya. Koran bebas memuat fakta-fakta lapangan dan fakta empiris yang sebenarnya. Semua penyelewengan dan korupsi dibongkar dengan gamblang. Kalau sudah demikian pasti tidak ada lagi demonstrasi yang memacetkan lalulintas, membuat warga kota berdebar-debar.
Dan sebagai wartawan baru, waktu itu saya berpindah-pindah tugas. Dari tugas meliput kegiatan ekonomi dan menulis berita ekonomi saya dicoba untuk beberapa waktu bertugas sebagai wartawan hukum dan politik. Saya mendatangi pengadilan dan kegiatan politik di kantor Dewan Perwakillan Rakyat dan kegiatan yang dilakukan oleh partai politik. Sebagaimana di lapangan ekonomi, di bidang hukum dan politik saya merasakan hal yang sama. Ada perasaan terbatasi. Zaman itu, zaman Orde Baru, saya merasakan adanya semacam batas atau malahan tembok yang tidak kelihatan yang membatasi kebebasan wartawan hukum dan politik untuk menulis berita berdasar fakta yang sebenar-benarnya terjadi. Ada semacam saringan atau sensor tertentu yang membua para wartawan dan redaktur tahu diri. Daripada kena badai bredel, kami yang bekerja di koran menjadi berhati-hati. Apalagi Harian Masa Kini pernah kena bredel karena terlalu bersemangat menurunkan berita demonstrasi.
Suatu hari saya dipasrahi lembar khusus sastra bernama Insani. Lembar Insani yang dulu dipegang Mas Parno, kemudian dikembangkan Emha Ainun Nadjib, lalu dipegang Aji Sudarmaji Mukhsin, dipasrahkan ke saya. Kalau semula pemegang halaman sastra ini generasi Malioboro, saya juga, maka kemudian saya berniat melakukan kaderisasi dengan memanggil generasi yang lebih muda lagi. Pola pendekatan kepada pengirim naskah saya buat mendekati pola Umbu. Yaitu ada sentuhan personal. Ada pos konsultasi, mengadakan pertemuan, mengajak teman-teman perupa dari SMSR menjadi ilustrator dan mengajak aktif grup sastra teater di kampus atau kampung Yogya dan luar Yogya. Di majalah Kuntum saya akrab dengan Cak Dil. Dia pun bersedia ikut mengelola halaman sastra Insani. Bahkan kepada gerombolan Cah Kuntum sering kami minta naskah dan ikut pertemuan Insani.
Waktu itu saya juga dipasrahi untuk mengelola halaman tiga, yang semula dipegang Pak Muchlas Abror. Karena kesibukannya di Depatemen Agama dan di Muhammadiyah halaman ini dipasrahkan ke saya. Sebelumnya saya dilatih Pak Muchlas Abror untuk mengasuh halaman ini. Rubrik di halaman ini dikembangkan dengan menghadirkan rubrik Mutia untuk pembaca wanita, dan rubrik Anak-anak Masa Kini untuk menggaet pembaca anak-anak. Dua rubrik ini dipegang oleh Jeng S Eko Purwati yang kemudian hari menjadi isteri saya. Di halaman ini juga ada tangga lagu-lagu populer kesenangan remaja. Mengingat intensitas saya kerja di kota Yogyakarta makin tinggi, saya pun memutuskan untuk mencari kamar kos di kota. Dengan demikian saya tidak harus selalu pulang ke Kotagede. Pulang dari kerja di koran, saya bisa pulang ke kamar kos. Jika malam banyak kegiatan sastra, budaya, dan teater atau lainnya di dalam kota saya bisa meliput. Kadang saya bisa tidur di kantor.
Saya diberi saran oleh Indra Trangono untuk kos di kampung Mergangsan Kidul alias Merkid. Gang masuknya di sebelah tempat kursus mengetik Perdana. Masuk terus sampai mendekati persawahan. Belok kiri. Saya kost di rumah Pak Birman, seorang penarik becak. Kamarnya sederhana, tidak begitu luas. Cukup untuk diisi dengan tempat tidur, meja kursi kayu dan rak buku. Waktu berbaring di dipan dengan bantal tipis dan selimut berupa sarung saya sering ingat kapan saya berani tidur di luar rumah. Sebab semula saya adalah semacam anak mami yang selalu sulit tidur kalau tidur di luar rumah. Tentu sebagai anak sekolah yang menerima pelajaran Pramuka, saya pertama kali tidur di luar rumah saat berkemah. Saat itu hampir dipastikan peserta kemah sulit tidur karena udara dingin juga karena takut berada di tempat sepi, pinggir sungai atau pinggir hutan. Apalagi saat ada acara jurit malam kami harus berjalan masuk desa kemudian masuk makam kuno yang sepi menakutkan, dengan pohon besar dan perdu seperti bergerak-gerak sendiri. Kami harus menemukan bendera di antara nisan di sebuah cungkup yang dijaga oleh bayangan putih-putih yang ternyata Pembina Pramuka yang mengenakan kostum pocongan. Kami harus duel dengan pocongan itu untuk mendapatkan bendera. Dan setelah itu sesampai di tenda kami sulit tidur sampai pagi, walau badan letih bukan main.
Saya berlatih tidur di luar rumah waktu pengajian anak-anak mendirikan perpustakaan. Isinya komik dan buku bacaan. Harganya murah. Kami memborong komik di Shopping Center. Setelah diperiksa sekilas oleh seorang pengasuh pengajian anak-anak, dia langsung berteriak untuk memasukkan koleksi komik baru itu ke dalam bungkusan. “Kita harus menyensor komik ini. Banyak gambar saru dan sadis!,” katanya.
Kata-kata dia itu membuat kami mendirikan ‘badan sensor komik’ untuk anak-anak. Suatu malam kami ramai-ramai membawa komik baru itu ke rumah seorang pegmasuh pengajian anak-anak bernama Kang Budiharjo yang rumahnya di kampung Ngledok dekat sebuah selokan panjang. Kami terbagi dua regu. Regu petama membaca dan mengamati halaman-halaman komik. Begitu ada halaman berisi gambar rawan kami beri tanda. Komik yang ada gambar diberi tanda khusus ini kemudian diberikan kepada tim kedua yang bertugas mengeksekusi halaman bergambar saru dan sadis itu. Ada yang gambarnya diblok pakai tinda hitam, ada yang ditutupi kertas hitam ada yang terpaksa dipotong. Saya waktu itu membayangkan cara kerja orang di lembaga sensor film yang tugasnya memberi tanda bagian dari film yang berisi gambar saru dan sadis lalu gambar semacam ini, yang disebut tidak lolos sensor, dipotong dengan tegas. Karena yang betugas sebagai regu pemberi tanda dan regu aksi sensor ini banyak maka menjelang jam dua pekerjaan selesai. Meski waktu bekerja ini kami sempat ngemil makanan gorengan, ketika tugas selesai perut terasa lapar. Kami pun makan dinihari yang justru membuat kami mengantuk. Semua kakak pengasuh tidur nyenyak sampai orang tua pemilik rumah ini membangunkan kami karena dari Langgar Ngledok terdengar kentongan dipukul orang. Lalu sayup-sayup terdengar orang melantunkan adzan dengan irama Jawa kuno.