CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (36)

Hari-Hari Mergangsan Dua

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 10 menit
Foto: Adin (Dok. Progress)

Pak Sustam Mulyadi, Indra Tranggono, dan saya berjalan santai di jalan setapak di luar kampung Mergangsan Kidul. Kami melompati selokan yang mengalir jernih. Jalan setapak ini dulunya adalah pematang sawah. Kami berjalan ke arah utara. Di sebelah kanan kami, di seberang selokan, rumpun pohon pisang, barisan pohon sente atau talas gatal, rumput, satu dua rumpun bambu dan pohon jambu batu. Sebelah kiri, bentangan sawah dengan air tergenang memantulkan cahaya langit dan matahari senja. Angin nafas alam, berembus pelan menyegarkan tubuh.

Kami berjalan sambil ngobrol tentang puisi, tentang lagu anak-anak yang masih di dalam kepala Pak Sustam, tentang buku bagus yang belum sempat terbeli dan dibaca. Juga obrolan ringan pengalaman hidup. Pak Sustam yang pernah kos di Mergangsan Kidul waktu muda menceritakan keadaan kampung yang belum banyak berubah. Kampung pinggir Code, seperti kampung Keparakan seberang sungai, juga kampung pinggir Code yang menghiasi lembah sungai sampai dekat Kretek Kewek atau bahkan sampai sebelah barat kampus UGM Jurusan Arsitektur sana. Ketidakpastian, juga keterpinggiran hidup menyebabkan banyak yang memilih melarikan diri pada dunia minuman yang memabukkan. Ini dulu lho, tahun awal 1980-an. Kami membahas ini dengan cara sederhana. Andaikata di sepanjang lembah Code banyak masjid, atau setidaknya langgar atau musholla, barangkali keadaan bisa berubah lebih baik lagi. Terutama anak-anaknya. Anak-anak yang sering diajak bernyanyi, mendengarkan dongeng, taraweh, menjelang Lebaran disibukkan merancang dan membuat lampion raksasa dari bambu dan kertas berwarna, diberi lampu yang bisa menyala dengan bantuan aki, sampai bisa memenangkan lomba takbiran di tingkat kecamatan, tentu akan asyik sekali. Anak-anak akan memandang hidup ini mengembirakan dan setelah remaja tidak perlu ikut-ikutan mabuk sebagaimana kakak-kakak mereka.

Hampir di ujung jalan setapak ini ada bendungan kecil dengan air terjun memutih karena busa, di atas bendungan ada jembatan kecil yang sempit yang hanya bisa dilewati orang berjalan kaki, orang naik sepeda, dan naik sepeda motor. Kami melewati jembatan itu dan menegok ke arah utara. Di pingggir sungai ada bong kecil tempat pemakaman komunitas Tionghoa. Sepertinya kurang terawat, di dekat tebing sampah. Pemandangan ke arah selatan berbeda, tampak sungai yang berbelok-belok di antara sawah, kampung menuju ke arah bendungan lagi dan jembatan Tungkak.

Sampai di jembatan, langkah kaki kami buat pelahan. Sementara langit makin jingga. Kami kemudian masuk kampungnya Pak Besut di utara kampung Numbak Anyar, muncul di ujung lorong di depan jalan Brigjen Katamso. Kami menyeberang jalan menuju jalan Yudonegaran dan berhenti di selatan gerbang sebuah Ndalem yang ada plang atau papan nama sekolah menengah kejuruan. Kami mencuci muka kami di tempat wudlu sebuah masjid lama, menunggu adzan maghrib berjamaah di masjid ini dengan wajah dan tangan basah oleh air wudlu. Seingat saya, waktu saya kecil, masjid ini sudah ada, bangunannya tidak berubah dan tidak mungkin diperluas kecuali dibuat bertingkat.

“Seger,” kata Indra Tranggono.

“Ya, berwudlu selalu membuatku segar,” sahut Pak Sustam Mulyadi.

Orang-orang tengah melakukan perjalanan singgah di masjid ini. Warga sekitar juga banyak yang mendatangi masjid lama ini. Ketika seseorang dengan pakaian khas kiai, berbaju koko putih, berpeci hitam dengan selempang sajadah tipis berwana hijau, tangannya memegang tasbih cokelat datang, muadzin segera melantunkan iqomat. Kami berbaris di belakang imam. Bacaan Al-Fatihah dan surat pendek dari imam mengingatkan saya pada masa kecil. Imam ini membaca ayat kitab suci dengan lagu sederhana, mantap, dengan lekukan nada dan irama gaya Wonokromo yang banyak dianut oleh para Imam masjid dan langgar di Kotagede dan Krapayak. Surat yang dibaca favorit saya. At-Tin dan Alam Nasrah.

“Surat kebudayaan,” celetuk saya mengomentari pilihan surag At-Tin, seusai shalat dan kami berjalan menuju Alun-alun utara.

“Surat perjuangan,” sahut Pak Sustam mengomenari pilihan surat Alam Nasrah.

Alun-alun mulai gelap karena lampu penerangan jalan tidak seberapa. Penjual martabak di utara Alun-alun Utara terdengar memukul-pukul penggorengan untuk menarik pembali. Penjual gorengan mengaduk-aduk tahu susur dan bakwan di dalam wajan besar, minyak goreng mendidih. Perut mulai memasuki zona lapar. Kami menyeberang jalan, mampir di warung nasi rames di pojok depan Museum Sonobudoyo. Warung ini, waktu saya kuliah siang hari di FIAD sering saya jadikan tempat mampir. Terutama kalau paginya saya habis mengambil honor cerpen di Mingguan Eksponen. Waktu itu jam kuliah saya siang sampai sore. Kampus saya, sebuah gedung sekolah dasar yang dikenal sebagai sekolah Pawiyatan Putri Kauman. Jadi saya sering berangkat pagi hari dari Kotagede, menuju ke Perpustakaan Negara untuk membaca. Mampir dulu di Shopping Center mengintip koran, mingguan atau majalah untuk memantau barangkali ada tulisan saya dimuat di sana. Kalau ada tulisan saya dimuat di koran, mingguan, atau majalah itu saya beli. Kalau cerpen saya dimuat di Mingguan Eksponen, saya pun merancang strategi mengambil honor. Hari Kamis. Mas Ayu Sutarto arek Jember yang waktu itu menjaga bangku pengambilan honor. Tidak seberapa, terapi amat berguna unuk membiayai makan siang saya sebelum saya masuk ke ruang kuliah.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Hari-Hari Jakarta Satu

Hari-Hari Jakarta Satu

Kereta api Senja Yogya melaju dari Stasiun Tugu menuju Stasiun Gambir.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.
Exit mobile version