CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (36)

Hari-Hari Mergangsan Dua

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 10 menit

Saya tidak selalu bisa menikmati suasana Ramadhan di kampng Mergangsan Kidul ini karena kalau malam saya seringkali piket bekerja di kantor Harian Masa Kini yang kantornya berpindah-pindah. Kalau malam Jum’at saya usahakan pulang ke Kotagede. Di tengah jalan saya sempatkan membeli sate ayam untuk oleh-oleh orang rumah. Mengapa malam Jum’at? Biasanya pekerjaan kantor saya selesaikan sore dan setelah Maghrib saya datang ke sebuah kampung untuk ngobrol dengan calon pendamping hidup saya. Sepulang dari rumah dia itulah saya langsung meluncur ke Kotagede kadang naik becak, kadang jalan kaki, dan zaman itu belum ada ojek karena motor belum banyak. Kadang malam Jum’at saya menginap di rumah kontrakan Cak Dil di Patehan dengan tujuan agar sehabis Subuh bisa mengikuti pengajian di PDHI . Setelah itu paginya bekerja di kantor penerbitan Shalahuddin Press yang dikomandani Pak Fanani. Saya pindah ke penerbitan buku ini setelah pamit dari LP3Y.

Shalahuddin Press menjadi perintis buku-buku alternatif pada zamannya. Jagoan membuat cover buku seperti Pak Ong Harry Wahyu ditempa dan menempa dirinya di Shalahuddin Press. Demikian juga Buldanul Khuri, manusia yang bisa hidup dari ide, ide buku maksud saya yang di kemudian hari membidani Penerbit Bentang (Bentang Budaya), Teplok, Lazuardi, Mata Bangsa yang menginspirasi lahirnya penerbit buku gaya Yogya. Pak Fanani sendiri kemudian kembali ke khittah, sebagai arsitek yang hasil rancangannya menandai kemajuan sebuah tempat, termasuk banguan di Pondok Pesantren Pabelan yang mendapatkan Agha Khan Award dan masjid di Samarinda yang megah. Buku-buku kritis Shalahuddin Press bermunculan, mulai dari karya Ali Syariati, Franz Fanon, Muhammad Asad, Maryam Jamila, Mohammad Diponegoro, Ahmad Syafii Maarif, dan para cendekiawan serta budayawan Muslim lainnya.

Dengan bekerja di Shalahuddin saya bisa memandang Islam secara baru dan hidup berislam secara baru. Ketika sore hari saya kembali terlempar dari dunia ide di Penerbitan buku masuk ke dunia fakta di koran saya menjadi terbiasa memburu hal-hal yang mendasar di balik fakta-fakta berita. Kegiatan pengembangan ilmu dan launching hasil riset lembaga-lembaga penelitian di Kampus atau yang waktu itu populer dengan nama pusat studi saya ikuti yang pelan-pelan membuat hidup saya berubah, menjadi lebih serius serta tidak terpenjara pada kulit fakta yang dirumuskan 5 W 1 H yang sumir. Saya waktu itu merasa kurang puas dengan menulis puisi, cerpen, esai, reportase. Saya bertekad, harus berani menulis novel. Dua novel saya Sepanjang garis Mimpi dan Pergulatan dimuat secara bersambung di koran tempat saya bekerja.

Semua perubahan kualitatif dalam hidup saya ini terjadi ketika saya selama lima tahun kos di tempat penarik becak yang hidupnya sederhana di pinggir Kali Code. Beliau adalah orng Jawa tulen. Dia pernah menasihati saya, ”Mas kalau ingin kaya ya bekerja keras, ingin pandai belajar dan kalau ingin bejo atau beruntung hidupmu, ya harus banyak prihatin.” Nasihat yang waktu itu membuat saya tergetar dan merenung di malam hari ketika saya pulang kerja dan berbaring sendirian di dipan sambil mendengarkan suara alam atau suara peronda memukul kentongan keliling kampung.

Ketika saya merasa kalau pekerjaan saya lumayan mantap, bahkan kadang kalau malam saya mendapat bonus menulis tajuk rencana yang honornya lumayan, saya pun memutuskan menikah. Saya menikah di KUA Pakualaman yang waktu itu kantornya di depan persis Masjid Besar Pakualaman. Dua ‘kepala suku’ dalam keluarga besar saya yaitu Mbah Jumeri Yasir pengawalnya Pak AR. Fahrudiin dari pihak ibu saya dan Kiai Zuhri Hasyim dari pihak ayah saya, menjadi saksi. Hadir orang penting yang ikut memproses perubahan dalam hidup saya, yaitu Pak Fanani bersama Pak Sayuri Rustam, Mas Suwarno Pragolapati yang dengan penuh semangat dan mantap membawakan Al-Qur’an, emas kawin saya, Pak Sukoyo wartawan foto Harian Masa Kini, Pak Moehadi Sofyan Pemimin Redaksi Harian Masa Kini, Pakde istri saya, Pak RT dan Pak RW Kauman Pakualaman dan rombongan keluarga besar Kotagede, keluarga besar istri saya serta tetangga dan kenalan. Mereka hadir di tempat ijab qabul dan di rumah istri saya.

Setelah menikah saya tinggal di Mergangsan, pindah ke rumah berdinding bambu yang pernah disewa pegawai hotel itu. Istri saya yang juga bekerja di Shalahuddin Press, dan menjadi redaksi halaman wanita Harian Masa Kini merangkap mengasuh halaman Anak-anak Masa Kini. Dengan demikian kami berdua sering berangkat dan pulang kerja bersama, kecuali kalau saya piket kerja malam. Kemudian kami memutuskan pindah ke Kauman untuk mendekati kantor Shalahuddin Press yang pndah ke kampung Ngadiwinatan. Saya pun mengucapkan selamat tinggal dengan kampung Mergangsan Kidul yang telah berjasa mengubah hidup saya menjadi lebih asyik.

Ternyata selama lima tahun tinggal di Mergangsan saya melupakan bunyi Surat ‘Abasa ayat 24 tentang perlunya manusia memperhatikan atau menalar apa yang menjadi makanannnya. Waktu hidup sangat sibuk sebagai wartawan dan editor buku saya betul-betul sembrono dalam soal makan ini. Yang penting enak dan bisa cepat dimakan. Ketika awal saya tinggal di kampung ini makanan saya beragam, banyak makan sayur. Kemudian ketika saya makin sibuk, makanan saya menjadi seragam. Bahkan ketika waktu itu saya harus memburu waktu kursus Bahasa Inggris, sering saya hanya makan mie instan rebus lalu kemudian ketika makin sibuk bekerja di koran dan tempat lain, makanan saya juga monoton. Saya dua tahun terakhir tinggal di Mergangsan hampir setiap hari makan nasi dengan lauk rendang. Ganti langganan rumah makan Padang, tetap rendang yang menemani nasi. Ternyata memakan makanan yang monoton dan seragam dalam waktu yang lama membuat kesehatan saya rapuh sehingga setelah saya pindah dari Mergangsan saya pun pernah sakit parah dan dirawat di RS Sardjito karena mengalami penurunan kualitas jasmani. Dan ayat suci tentang anjuran Tuhan bahwa hendaknya manusia menalar makanannya ini saya baca dan saya perhatikan setelah saya sembuh dari sakit. Ini membuat saya di kemudian hari saya berhati-hati kalau makan.

Yogyakarta, 25 September 2021

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Hari-Hari Jakarta Satu

Hari-Hari Jakarta Satu

Kereta api Senja Yogya melaju dari Stasiun Tugu menuju Stasiun Gambir.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.

Topik