Hari-Hari Mergangsan Dua
Waktu saya, Pak Sustam, dan Indra Tranggono masuk warung nasi rames, suasana warung masih seperti dulu waktu saya kuliah. Nasi panas, bau lodeh dan gorengan tempe atau tahu bacem belum berubah. Bahkan letak makanan, botol limun, kaleng krupuk seperti setting panggung drama yang statis. Setelah kami memesan teh tubruk panas, bau teh yang harum dan sepet mengalir ke tempat duduk kami.
“Acaranya masih lama. Masih nyandak waktunya,” kata Indra melihat jam dinding tua yang dipasang di dekat pintu masuk ke dapur.
“Ya, makan minum bisa kita nikmati di sini,” sahutku.
Pak Sustam diam. Dia dengan tekun menyantap nasi ramesnya.
Aku melihat sekeliling. Pengunjung warung tidak begitu banyak. Mungkin sebentar lagi ada beberapa penarik becak yang sudah mendapatkan uang dari penumpang mampir ke tempat ini.
Jalur Mergangsan-Senisono ini bisa ditempuh lewat jalan setapak tadi, atau ditempuh dengan naik colt Kampus. Menunggu colt di jalan Tamansiswa, di dekat Masjid Al Jihad Nyutran kalau mau berangkat ke Senisono dari Mergangsan Kidul. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ada colt datang, saya bisa naik, colt meluncur ke selatan menuju simpang empat Lowanu, ke barat lewat Jembatan Tungkak, lewat depan rumah sakit bersalin, bablas menuju Pojok Beteng Timur. Kalau ada penumpang menunggu di utara Pojok Beteng, colt berhenti, kalau sepi penumpang colt melaju ke arah Kantor Pos. Pulangnya, dari dekat kantor colt akan lewat jalan Tamansiswa.
Colt kampus adalah terobosan pertama angkutan kota Yogyakarta. Menghubungkan kampus UGM dengan bagian tengah kota dan berakhir di dekat Kantor Pos. Ongkosnya termasuk murah. Menjadi pilihan mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum. Karena jumlahnya banyak, tidak perlu menunggu lama kalau ingin menumpang angkuran kota ini. Terminal bis yang pindah dari Sriwedani ke kompleks THR pun terhubung dengan colt kampus. Ini memudahkan penumpang yang turun dari bis antar kota untuk pulang ke rumahnya, asal jamnya masih sekitar jam sembilan malam, masih ada harapan untuk naik colt kampus. Di luar itu, kendaraan dalam kota yang tersedia, ya becak. Ini menyebabkan becak kalau habis pemuataran film malam, banyak yang parkir di dekat bioskop. Menungu penonton pulang menonton. Termasuk Pak Birman, yang tempat menanti penumpangnya di dekat bioskop Permata. Sehabis mengantar penonton bioskup Permata, biasanya dia langsung pulang. Kalau ada uang agak banyak, dia sering mengoleh-olehi anak isterinya gorengan. Makan sederhana membuat keluarga sederhana ini bahagia.
Waktu kamar kos saya pindah dekat sumur dan kamar kos saya dengan ruang tengah dibatasi dinding bambu, kalau saya sudah pulang dari kantor, malam hari saya sering mendengar percakapan tukang becak, istri, dan anaknya. Menikmati oleh-oleh dari bekerja sebagai penarik becak. Saya pun merasa makin mengenal kehidupan tukang becak sehingga berani menulis puisi tentang tukang becak. Tidak seperti di Malioboro dulu, ketika saya menyodorkan puisi tukang becak saya ditanya dengan penuh selidik oleh Umbu Landu Paranggi, ”Apa kau betul-betul mengenal kehidupan tukang becak sehingga berani-beraninya menulis puisi tentang tukang becak?”
Waktu itu saya malu karena pengatahuan saya tentang tukang becak minim. Kenalan tukang becak di Prenggan yang hampir membantu kami gelut dengan kakak kelas hanya karena tukang becak tetangga dengan saudara saya. “Wis piye Le, tak ewangi ngajar bocahe pa piye?,” kata dia waktu anak kakak kelas itu diantar orangtuanya meminta damai ke rumah teman saya yang beberapa hari lalu berkelahi langsung dengan kakak kelas. Pengalaman seperti ini jelas sulit diolah dan ditulis menjadi puisi sekalipun kejadiannya dramatis dan menarik untuk ditulis.
Saya kost di Mergangang ini selama lima tahun. Banyak pengalaman saya belangsung di kampung ini. Termasuk pengalaman mengikuti Pemilu di kampung ini, ternyata suara partai Islam banyak sekali. Padahal kampung ini adalah basis kelompok merah dan kuning. Dan saya nekad memasang tanda gambar partai Islam di jendela kamar. Ada orang kampung yang mencurigai saya diam-diam kampanye untuk partai hijau. Saya bantah. Saya katakan saya tidak punya waktu karena pekerjaan saya sebagai wartawan saja sudah kepontal-pontal mengejari berita aktual, khususnya berita kampanye yang seringkali panas, terjadi banyak kekerasan atau bentrok antar pengikut partai yang berbeda. Biasanya kalau keadaan memanas, saya tidak berani pulang tidur di kamar kos. Saya tidur di Kadipaten, di kamar kosnya Cak Dil atau tidur di kantor koran. Kalau pas keadaan memanas, kami tidur dengan lampu kamar dimatikan dan segala alas kaki dimasukkan ke kamar. Mengesankan kalau kamar kos ini sepi atau kosong. Padahal di balik kaca, kami mengamati banyaknya orang bersliweran, bahkan ada yang bersenjata dan membayangkan bagaimana kendaraan tempur keluar dari pintu gerbang beteng Vredeberg menuju tempat kerusuhan. Dan pernah, kami sedang santai berjalan di dekat kantor Pos melihat kendaraan tempur lapis baja itu keluar dari beteng, melaju di jalan raya.
“Nicaragua! Nicaragua!,” terik kami spontan.
Kami teringat keadaan negara di Amerika Latin itu ketika tentara bergerak untuk memadamkan dan mendinginkan suasana kota yang panas oleh konflik poltik. Cak Dil buru-buru mengajak saya menyusup di gang sempit Kauman, berbelok-belok sampai akhirnya sampai di ujung selatan, masuk ke Jagang. Kami makan malam di Gua Hira sambil mengulang-ulang cerita kejadian yang menghebohkan tadi.
Untung saya hanya mengalami Pemilu sekali ketika kos di Mergangsan. Pemilu sebelumnya saya masih di Kotagede dan mencoblos di TPS Karangsudren dan Pemilu sesudahnya saya mencoblos di Gedongkuning. Dan kejadian penting selama di Mergangsan Kidul ini adalah ketika ada teman di Komunitas Insani yang mengajak saya untuk bekerja di Jakarta. Ada pesantren besar baru saja membeli mecin cetak dan ingin menerbitkan majalah untuk remaja Muslim. Karena yang menawari pekerjaan ini adalah pesantren, barangkali banyak angin di sana. Waktu itu penghasilan saya bekerja di harian Masa Kini dan di LP3Y sudah lumayan, sehingga saya sudah punya bayang-bayang untuk mencari pendamping hidup. Dan ternyata setelah seminggu saya di Jakata, tidur di pesantren, merasakan suka duka tinggal di kamar santri dan mencari makan di warung kampung, saya memilih untuk kembali ke Yogyakarta. Masalahnya ada ketidakcocokan gaji atau upah bekerja di majalah remaja yang baru itu. Saya yang pernah mengalami suka duka hidup di Jakarta menginginkan gaji atau upah sekitar seratus ribu rupiah. Ini rasional menurut saya. Tetapi pihak yang akan mempekerjakan saya hanya bersedia membayar di bawah itu, bahkan di bawah gaji atau honor yang saya terima bekerja di Yogyakarta. Saya menolak bekerja di kantor majalah remaja itu dengan baik-baik dan pamit pulag ke Yogyakarta. Sebab saya merasa di Yogyakarta masih lebih banyak menyimpan angin kemungkinan ketimbang di Jakarta.
Saya mantap bekerja di kota Yogyakarta, dan kos di Mergangsan Kidul. Sebuah tempat yang unik waktu itu. Terletak di tengah kota tetapi masih ada bentangan sawah dan sungai panjang. Masyarakatnya masih terasa bernuansa desa. Kalau pas Ramadhan, anak-anak Mergangsan Kidul suka bermain-main dengan meriam bambu atau long bumbung yang mengeluarkan suara dentuman. Meriam bambu ini mendentum ke arah kampung seberang sungai atau kampung Keparakan. Anak-anak Keparakan mendengar serangan bunyi dentumam meriam bambu biasanya panas kupingnya dan membalas menyerang ke arah timur sungai dengan suara dentuman meriam bambu. Suara balas-membalas serangan meriam bambu ini membuat suasana Ramadhan menjadi ramai.