Hari-Hari Jakarta Tiga
Sehabis bekerja sebagai pekerja musiman dan mendapat gaji atau honor terakhir, saya kembali masuk ke alam ketidakpastian di Jakarta. Saya hilir-mudik mengunjungi TIM, Sanggar Enam Dua, Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, ngobrol di Warung Poci Bulungan, dolan ke kantor majalah anak-anak Kawanku mengambil honor dan mengirim naskah baru. Juga ke tempat lain. Atau saya iseng ke Pasar Seni Ancol mengunjungi saudara di Cilincing atau mengunjungi bekas pengasuh pengajian di kantor redaksi majalah peternakan di dekat terminal Blok M. Saya terus-menerus gelisah. Untuk apa saya merantau ke Jakarta kalau tidak mendapat pekerjaan yang jelas? Saya sudah berusha untuk mengubah diri saya agar siap mengerjakan apapun yang menantang, asal baik dan benar.
Karena berbulan bulan terombang-ambing oleh kegelisahan dan ketidakjelasan masa depan ini, saya pun protes kepada Tuhan dengan mengurangi intensitas ibadah saya. Protes saya langsung dijawab oleh Tuhan. Saya sakit berat. Gejala tipes dan harus dirawat sebulan penuh di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Selatan. Perut terasa panas. Dalam imajinasi penyair dan Pembina Pramuka saya membayangkan kalau di dalam perut saya ada api unggun yang menyala-nyala. Untung ada dokter yang mempelajari teknik pengobatan tradisional. Dia setiap memeriksa saya selalu mengetuk atau menotok titik tertentu pada perut dan sekitar dada. Dia mengukur jarak titik ketukan dengan ruas jari. Wah ini mirip jurus penyembuhan Shaolin, pikir saya. Dan setelah diketuk-ketuk pada titik tertentu itu perut saya sudah tidak panas lagi.
Waktu saya dalam perawatan intensif dan tidak boleh banyak menggerakkkan tubuh, saya hanya boleh berbaring selama hampir sebulan ini, Ayah dan paman saya datang. Ayah menyalami saya dan mengamati tubuh saya lalu menganguk-angguk. Paman saya bercanda bahwa saya senang dirawat di rumah sakit karena perawatnya cantik, muda, dan halus kulitnya. Saya cuma tesenyum saja. Beberapa jam kemudian Ayah pamit pulang ke Yogya dan mampir dulu ke Cirebon mengunjungi adiknya dan pamannya di Cirebon. Ayah memberi saya oleh-oleh buku skrip dan ballpoint.
“Ini kalau untuk menulis puisi,” katanya sambil tersenyum misterius.
Senyum misterius itu juga muncul saat ayah pamit pulang ke Yogya. Apa-apaan ini? Anak sakit berat kok hanya ditengok beberapa jam lalu pulang? Ayah macam apa ini? Mengapa dia tidak menunggu saya? Pertanyaan itu terus membentur-bentur dinding kesadaran saya berjam-jam sampai malam menjelang tidur saya menemukan jawaban. Ayah pernah bercerita kalau dia pernah mempelajari ilmu firasat. Ketika menyalami saya dan memandang tubuh saya waktu datang ke rumah sakit, sangat mungkin ayah sudah sudah punya firasat baik tentang diri saya. Saya kemudian menfasirkan, kalau Ayah kemudian pamit pulang dia pasti yakin kalau saya akan sembuh. Saya jadi lega. Dan betul, kemudian saya sembuh, belajar berjalan dan bisa ke kamar mandi sendiri, makan banyak dan boleh pulang.
Keluarga yang menampung saya gembira dan bersyukur melihat saya sembuh dan pulang. Saya pun istirahat di rumah untuk memulihkan kesehatan. Mengganti bubur dengan nasi tim dan makanan yang halus serta minum madu. Pada saat saya makin sehat dan ingin berpetualang lagi dengan pergi ke banyak titik di Jakarta, ada berita yang menakjubkan lagi. Ada pergantian menteri. Dan orang yang selama ini menampung saya di Jakarta, dikenal sebagai pejabat yang jujur dan tulus dalam bekerja suatu pagi saat bersiap-siap memakai pakaian baru dan mengenakan sepatu untuk menghadiri pelantikan pejabat eselon, tiba-tba dia mendapat telepon bekas anak buahnya.
“Maaf, Pak, Bapak tidak usah datang ke pelantikan pejabat eselon. Nama Bapak tadi malam masih ada. Entah kenapa tadi ketika saya cek, nama Bapak sudah tidak ada lagi.”
“Saya tidak lagi diberi jabatan?”
“Ya, Bapak. Maafkan.”
“Saya disingkirkan?”
“Maaf Bapak, saya tidak tahu,”
Belliau memanggil semua anaknya, juga memanggil saya. Dengan mata berkaca-kaca beliau memberitahu apa yang terjadi.
Saya takjub dengan Jakarta yang seperti ini dan terpukul batin saya. Sebuah pukulan yang kuat mirip palu godam menghantam dada.
Seminggu setelah itu, saya pamit pulang. Kembali ke Kotagede. Saya pun mengemasi barang saya dan minta izin meminjam beberapa buku berbahasa Inggris yang saya perlukan. Diizinkan. Saya bilang saya ingin memulihkan kesehatan saya di tempat kelahiran. Kemudian saya menulis lagi. Menjadi wartawan dengan tidak melupakan sastra.
Dalam perjalanan pulang naik kereta api dari Stasiun Gambir menuju Stasiun Tugu, saya ingat kembali lagu kebangsaan Persada Studi Klub, Apa ada Angin di Jakarta yang liriknya adalah karya puisi Umbu Landu Paranggi.
Apa ada angin di Jakarta?
Saya tafsirkan: apa ada angin (kejujuran dan ketulusan) di Jakarta?
Tidak ada atau sedikit sekali. Buktinya, orang yang jujur dan tulus dalam bekerja di Jakarta disingkirkan.
Sambil memejamkan mata, terkantuk-kantuk karena gerbong bergoyang-goyang saya ingat sebuah ayat tentang bagaimana Allah tidak akan mengubah nasib sebuah kaum sehingga kaum itu mau memulai mengubah diri-diri pribadinya. Saya juga ingat hadis tentang strategi menghadapi kemungkaran yang isinya bahwa jika melihat kemungkaran maka hendaklah diubah (dilawan) dengan tangan atau kekuasaan, jika tidak bisa, hendaknya kemungkaran itu diubah (dilawan ) dengan lisan, jika tidak mampu, hendaknya kemungkaran itu diubah (dilawan) denga hati. Tapi ingat, ini adalah selemah-lemahnya iman.
Saya sadar bunyi ayat dan dikombinasi dengan pesan dalam hadis ini relevan dan fungsional dengan kehidupan saya yang tengah mengalami kekalahan dan gagal merantau ke Jakarta ini. Setelah sampai kampung halaman, perjuangan melawan kemungkaran bisa dimulai lagi. Begitu niat saya.
Yogyakarta, 10 September 2021.