CakNun.com
Membaca Surat dari Tuhan (34)

Hari-Hari Jakarta Tiga

Mustofa W. Hasyim
Waktu baca ± 15 menit

Saya pun laporkan perjalanan saya ke Bekasi kepada induk semang saya, atau orang yang menampung saya di Jakarta, Pak Zubaidi Bajuri. Juga saya laporkan tentang pendidikan wartawa yang sudah selesai. Beliau gembira karena saya di Jakarta sudah punya keterampilan yang lumayan. Menulis berita. Kemudian saya diminta untuk mendaftar menjadi pegawai musiman di Kantor Departemen Agama. Pegawai musiman ini diperbantukan pada Diektorat Penyelenggara Haji Departemen Agama. Tugasnya, menyiapkan pemberangkatan jamaah haji, memantau pelaksanaan pemberangkatan dan memantau pemulangan jamaah haji. Kerja yang cukup nerat. Para pendaftar pegawai musiman dikumpulkan dan diberi pengarahan dan menonton film dokumenter penyelenggaraan haji Indonesia. Kami dikondisikan dengan suasana manajemen haji bagi para jamaah.

Saat pertama kali masuk saya berkenalan dengan bagian-bagian dari kantor resmi ini. Nama pejabat dan urusan mereka. Lalu saya disuruh untuk memfotocopy dalam kertas lebar dan panjang, jadwal pemberangkatan haji yang lewat pelabuhan udara Halim Perdana Kusuma. Saya pun jadi mengenal dan menghafal kode-kode penerbangan pemberangkatan dan kedatangan nanti. Kelompok terbang tertentu juga tercantum di situ. Tempat memfotocopy ada di seberang depan Patung Pak Tani, di situ ada deretan tempat jasa fotocopy sampai dan lihdruk. Saya jalan kaki pulang balik dari kantor Departemen Agama di Jalan Kebon Sirih. Saya dibekali uang dengan jumlah tertentu. Dan ketika selesai fotocopy saya ditanya,”Mas ini yang saya tulis di nota berapa?”

“Maksudnya gimana?,” tanya tidak paham.

“Ditulis apa adanya atau gimana?”

“Ya ditulis apa adanya.”

Petugas fotocopy itu manulis biaya fotocopy apa adanya sambil agak heran melihat tampang saya yang naif dan lugu. Baru beberapa jam kemudian saya tahu saya sebenarnya sedang diuji kejujuran saya oleh pejabat yang memerintahkan memfotcopy dokumen itu. Dia melihat jumlah uang yang digunakan untuk membayar fotocopy rasional, tanpa mark up.

“Wah, apik Mus kerjamu. Teruskan. Terima kasih,” kata beliau memuji.

Saya jadi malu dan heran. Untuk apa kerja yang biasa-biasa ini dipuji?

Saya kemudian diberi tugas selanjutnya.

Kerjanya amat berat dan ketat. Kami harus masuk siang malam duapuluh empat jam, libur sehari, dan hari berikutnya masuk lagi selama duapuluh empat jam. Pekerjaan paling rumit dan butuh ketekunan adalah secara manual kami menggarap paspor khusus jamaah haji atau paspor hijau. Pada tahun 1970, paspor itu digarap dengan ditulis tangan. Jumlahnya ribuan. Saya bisa mengenal nama-nama yang unik dari calon jamaah haji yang berasal dari tanah Sunda, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, dan sekitarnya. Sebagai pecinta ilmu antropologi saya membayangkan karakter masing-masing kelompok nama dan bagaimana melayani mereka.

Nama-nama itu masuk dalam daftar manifest penerbangan yang dikelompokkan berdasar kelompok terbang. Penempatan jamaah haji di asrama-asrama berdasar daftar jamaah dalam manifest itu. Manifest penerbangan ini diperbanyak dikelompokkan dan kami jaga sebaimana sebelumnya kami menjaga dengan ketat paspor haji. Pada waktu itu seringkali keluarga jamaah haji datang ke kantor dan meminta informasi tentang keluarganya yang sudah resmi terdaftar sebagai jamaah haji. Mereka ingin mendapat kepastian informasi pemberangkatan keluarganya dengan mengecek ke tempat kami menggarap paspor dan kami menyiapkan manifest penerbangan dan petunjuk penempatan jamaah haji di asrama-asrama haji. Kalau kebetulan tamu yang bertanya itu pas ada saya dan sedang bertugas maka dengan cepat informasi apa yang mereka perlukan saya sampaikan. Saya yang baru saja selesai menempuh pendidikan wartawan merasa ilmu saya ini banyak gunanya. Bisa dipraktikkan sebagai bagian dari kerja kehumasan. Banyak yang mencoba memberi uang ketika informasi sudah saya berikan dan saya tolak dengan halus dengan mengatakan bahwa saya adalah petugas yang sudah dibayar dari kantor untuk pelayanan memberi informasi ini. Demikian juga ketika ada orang yang sepertinya pejabat mau mencari informasi tentang jadwal pemberangkatan haji keluarganya, maksudnya kapan terbang menuju tanah suci. Saya berikan keterangan dan saya bilang kalau saya ini juga wartawan. Orang itu mengurungkan niatnya untuk memberi uang dan meminta maaf. Saya tidak tahu, apakah pegawai musiman yang lain bersedia menerima uang jasa memberikan informasi semacam ini dari keluarga jamaah haji.

Pada waktu agak longgar saya sering berkeliling melihat-lihat cara kerja di bagian lain. Yang cukup sibuk dan unik adalah bagian yang mendata dan menguji barang dari supplier kebutuhan haji. Waktu itu masing-masing jamaah yang akan berangkat selain menerima uang living cost selama di tanah suci juga menerima apa yang disebut paket Arofah. Paket berisi keperluan hidup di tanah suci. Isi paket itu misalnya krim kulit untuk melawan sengatan sinar matahari dengan merk tertentu, bumbu masak tertentu termasuk kecap dan bantal. Paket ini dimasukkan ke dalam tas punggung mirip yang dipergunakan pecinta alam atau turis backpacker. Para supplier ini ketika berunding dengan bagian yang penerima barang-barang selalu pemurah. Mereka membawa oleh-oleh yang asyik. Misalnya jeruk Sunkist yang mahal berkardus-kardus. Juga rokok berpak-pak. Atau lainnya. Ketika supplier itu pergi, kepala bagian penerima supplier kemudian juga ikut bertindak dermawan. Ia membagi-bagikan hadiah dari supplier itu kepada pegawai musiman agar dibawa pulang. Saya yang begitu masuk Jakarta dan menyandang status sebagai perantau, selalu membawa tas punggung atau ransel yang isinya adalah alma (alat mandi) lengkap dengan handuk dan pakaian ganti, selembar sarung. Tas saya cukup untuk menampung barang pembagian dari Kepala bagian penrima barang dari supplier itu. Diisi banyak butir jeruk Sunkist muat. Diisi dengan rokok banyak bungkus juga muat kadang diisi roti pembagian ektsra fooding. Ekstra fooding ini diterima pegawai musiman dua kali. Pagi hari sehabis Subuh dan malam hari setelah isyak. Berupa telur rebus, roti dan susu coklat panas. Ini melengkapi tiga kali makan yang lauknya bergizi. Jadi bagi pegawai musiman tidak ada alasan untuk lapar dan mencari makanan di luar kantor. Selalu ada makanan penambah stamina tubuh bagi pegawai musiman disini. Ini yang bisa mendongkrak gairah kerja kami. Kerja duapuluh empat jam tidak terasa karena gembira dan perut kenyang.

Mustofa W. Hasyim
Penulis puisi, cerpen, novel, esai, laporan, resensi, naskah drama, cerita anak-anak, dan tulisan humor sejak 70an. Aktif di Persada Studi Klub Malioboro. Pernah bekerja sebagai wartawan. Anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta dan Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah DIY. Ketua Majelis Ilmu Nahdlatul Muhammadiyin.
Bagikan:

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM

Topik