Hari-Hari Jakarta Tiga
Saat saya membaca takbir, kemudian shalat Id dan mendengarkan khutbah Id, saya teringat itu semua. Saya melamun dan ingat bagaimana setelah shalat Id bersama ayah, setelah Ayah mengunjungi Kiai itu, kadang bersama paklik dan pakde keliling ke rumah saudara atau ke rumah para kiai dan tokoh masyarakat Kotagede, termasuk ke rumah Mbah Dulah Komari, kakak Mbah Hasyim. Kemudian pada hari kedua saya diajak ayah dan ibu berjalan kaki dari Kotagede ke Karangkajen. Ke tempat saudara dari pihak ibunya ayah. Selesai shalat Idul Fitri di Jakarta, dilanjut dengan kegiatan berziarah ke makam istri orang yang menjadi induk semang saya. Bersama anak-anaknya. Makamnya di Kebayoran Lama. Setelah itu kami pulang makan masakan yang lezat, lontong khas Betawi dengan sayur opor yang rasa Betawi pula. Siang sampai sore mengaso di rumah. Malamnya nonton film The Massage yang dibintangi Anthony Queen dan Irene Papas dengan sutradara Mustapha Akkad di bioskop besar di Blok M. Sambil nonton film versi Bahasa Arab kami mengunyah cokelat lembut dan harum. Mendengar para tokoh berbicara dalam Bahasa Arab, kadang ada dialog atau penjelasan membuat saya seperti memasuki alam pengajian. Saya dapat sedikit banyak menangkap dialog dalam bahasa Arab itu.
Hari kedua dan ketiga saya dibebaskan saya dibebaskan utuk membuat acara sendiri. Jakarta lengang dan sepi. Saya merasa kesepian. Pada hari kedua saya naik bis kota menuju Taman Mini Indonesia Indah yang ramai pengunjung. Taman Mini ini sangat luas diisi dengan bangunan yang disebut anjungan daerah yang megah berupa rumah adat. Taman yang waktu perencanaan dulu didemo dimana-mana karena ditakutkan menjadi proyek mercusuar ala Orde Lama ternyata ada manfaatnya. Bisa mengenalkan potensi budaya masing-masing provinsi. Dengan mengunjungi taman ini, saya bisa mengenal sudut-sudut Indonesia. Tumbuh rasa cinta tanah air. Saya membaca peta dan tahu kalau mengunjungi semua anjungan daerah diperlukan waktu beberapa hari. Saya memilih anjungan, seperti lirik sebuah lagu kebangsaan, dari Sabang sampai Merauke. Mengunjungi anjungan provinsi Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Irian Barat memerlukan waktu sehari dari pagi sampai sore. Saya berjalan, naik kereta berganti-ganti. Menyaksikan potensi unik bangsa yang kemudian dalam konteks Indonesia menjadi suku banga yang hadir dan berkembang di Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Irian Barat sungguh menyadarkan saya bahwa Indonesia besar dan kaya dengan kekayaan budaya. Tarian, tekstil tradisional, kuliner, dan upacara adat menggambarkan bagaimana suku bangsa itu telah dewasa sebagai suku bangsa dan siap dipersatukan dalam kerangka Indonesia. Saya ingat sebuah ayat bagaiaman Allah Swt menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar bisa saling mengenal. Saya mengunjungi taman ini dalam ikhtiar untuk mengenali semua itu, memahami kebesaran budaya di sana dan bangga menjadi bagian dari Indonesia. Ketika menjelang Maghrib dalam perjalanan pulang naik bis, saya capek tetapi puas dan merasa kenyang di jiwa. Saya ingin suatu hari nanti mengunjungi semua anjungan provinsi ini, atau malah mengunjungi langsung daerah-daerah di pelosok tanah air. Alhamdulillah, di kemudian hari keinginan ini terlaksana meski belum semua pelosok Indonesia saya kunjungi.
Hari ketiga Lebaran saya manfaatkan untuk mengunjungi Bekasi. Saya pamit untuk mengunjungi teman Kotagede yang pernah sama-sama menjadi Pembina Pramuka di Kotagede. Dia lulusan SPG dan dikirim ke Bekasi sebagai guru SD untuk bertugas di sebuah SD Inpres. Beberapa hari menjelang Lebaran kami berbalas surat. Dia mengatakan tahun ini tidak mudik sehingga bisa menerima saya. Dia memberikan alamat tempat dia mengontrak rumah. Turun dari Terminal bus Bekasi saya berjalan kaki menuju rumah kontrakan dia. Sebuah rumah petak yang dihuni oleh beberapa keluarga. Rumah ini terlindungi rumpun bambu dan pohon-pohon besar yang tumbuh di halaman. Dia senang sekali saya kunjungi. Teman saya ini bernama Kang Usman Ahmad. Anaknya Pak Amat, penjaga gedung Aisyiyah Kotagede. Saya akrab dengan dia sebagaimana saya akrab dengan Pembina Pramuka yang lain. Kalau saya spesialis membina Siaga, dia membina Penggalang. Kami senasib waktu ada perkemahan Pandega, usia dewasa sesusia Pembina Pramuka awal dan untuk mengikuti perkemahan ini ada teman yang berbaik hati mengambilkan honor saya di majalah Arena IAIN Sunan Kalijaga. Dari kegiatan lomba dan upacara di perkemahan Pandega ini saya sadar kalau pendidikan kepanduan adalah pendidikan soft militerism yang positif karena membangkitkan jiwa patriotisme yang berani, tulus, dan jujur.
Kang Usman menyambut saya dengan ramah, dikenalkan dengan semua penghuni rumah petak yang beberapa di antaranya adalah juga guru SD Inpres yang berasal dari berbagai daerah. Saya disuguh makan siang nasi sayur dengan sambal terasi yang sedap. Ditambah kerupuk gurih. Dan sebagai ikhtiar lita’arofu saya kemudian mengajak Kang Usman untuk mengawal saya mengunjungi rumah seorang kenalan, IPMwati berwajah apel. Bersih. Karena kealimannya. Rumahnya di sebuah kampung di dekat rel kereta api. Dia kaget, dan menyambut saya dengan sapaan Kak Mustofa, lalu saya dipersilakan duduk di ruang tamu. Saat dia menyiapkan minuman, ayahnya muncul menemui kami. Lelaki berwajah teduh ini menemui saya dan Kang Usman dengan tangan memegang tasbih dan terus membaca wirid. Kami mengobrol dengan kata sepotong-seotong. Matanya yang tajam menatap saya dan Kang Usman. Saya jadi bekeringat dingin. Kalah perbawa dan merasa di hadapan beliau kualitas agama saya seperti dikatakan Pak AR termasuk orang yang beragama secara enteng-entengan. Ayah kenalan saya termasuk orang beragama kelas berat. Ketika teman itu datang menyuguhkan minuman dan asinan buah-buahan saya bilang saya takut melihat ayahnya. Dia malah ketawa. “Abah saya memang gitu sih,” katanya ringan.